Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra dengan agenda pembacaan nota keberatan atau eksepsi. Keseluruhan dakwaan yang telah disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun dibantah.
"Kasus yang membelit terdakwa yang diduga telah menerima suap, memberikan suap, bermufakat jahat, serta pencucian uang didasarkan pada bukti-bukti keterangan yang tidak bersesuaian, ditambah lagi dengan banyaknya opini-opini yang sengaja dibentuk dan digiring oleh sejumlah pihak sehingga mempersalahkan terdakwa untuk hal-hal yang tidak dilakukan," tutur Kuasa Hukum Pinangki di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2020).
Kuasa hukum mengatakan, dakwaan tindak pidana korupsi yang dialamatkan JPU terhadap Pinangki tidak dapat dibuktikan. Dia menegaskan Pinangki tidak menerima uang senilai USD 500 ribu dari Djoko Tjandra.
Advertisement
"Dalam Dakwaan Penuntut Umum menuduhkan terdakwa telah menerima uang sejumlah USD 500 ribu dari Djoko Soegiarto Tjandra, dimana uang tersebut katanya diserahkan oleh Djoko Soegiarto Tjandra melalui Kuncoro yang kemudian diganti menjadi Heriyadi Anggakusuma (adik iparnya) untuk kemudian diberikan kepada Andi irfan Jaya,” ucap Kuasa Hukum Pinangki.
"Anehnya atas pemberian uang tersebut Djoko Soegiarto Tjandra justru tidak pernah mengkonfirmasi apakah Andi Irfan Jaya benar-benar telah menerima uang tersebut dan tidak pernah sekali pun meminta pelaksanaan pekeriaan yang dimintakan kepada Andi Irfan Jaya," lanjut dia.
Kemudian, Djoko Tjandra menyatakan bahwa Hariyadi Anggakusuma sudah meninggal dunia. Namun penyidik tidak pernah mencoba menggali lebih dalam keterangan mengenai proses pemberian uang tersebut untuk memastikan bahwa benar ada uang yang telah diberikan.
"Bahkan sampai saat ini baik dari keterangan Djoko Sugiarto Tjandra dan Andi Irfan Jaya saling bertolak belakang, namun dibiarkan begitu saja oleh penyidik," kata kuasa hukum.
Kemudian terkait dakwaan pencucian uang, penyidik seakan-akan mencari kecocokan perihal adanya uang tersebut dari kegiatan transaksi jaksa Pinangki dengan pengeluarannya yang dilakukan sepanjang November 2019 sampai dengan Juli 2020.
"Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang yang didasarkan pada Pasal 5 (2) juncto Pasal 5 (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, menurut terdakwa sangatlah tidak jelas, karena peristiwa korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa yaitu menerima uang sejumlah USD 500 ribu tidak didukung dengan bukti yang nyata, bahkan sampai saat ini, siapa pemberi dan siapa penerima uang masih tidak jelas," ujar kuasa hukum.
Menurutnya, JPU menarik opini buruk lewat gaya hidup jaksa Pinangki dengan membandingkan gajinya sebagai jaksa. Kuasa hukum pun membeberkan profil jaksa Pinangki yang memang merupakan orang dengan harta yang mencukupi dari almarhum suaminya, Djoko Budiharjo yang merupakan mantan jaksa dan advokat.
"Saat Almarhum berprofesi advokat inilah terdakwa mengetahui almarhum suami menyimpan uang dalam bentuk Bank notes mata uang asing, yang menurut almarhum adalah untuk kelangsungan hidup istrinya, karena almarhum menyadari tidak akan bisa mendampingi istrinya yang terpaut beda usia 41 tahun, sehingga almarhum pun menyiapkan banyak tabungan tesebut," beber kuasa hukum.
Bantahan Proposal Action Plan
Terakhir, JPU mendakwa jaksa Pinangki dengan tindakan permufakatan jahat dalam pengurusan Fatwa MA Djoko Tjandra. Kuasa hukum melihat dakwaan tersebut sangatlah dipaksakan, baik oleh JPU maupun penyidik.
"Faktanya apa yang dituduhkan tersebut tidak jadi dilaksanakan karena Djoko Soegiarto Tjandra telah menyatakan Action Plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal dan memilih untuk menempuh jalur pengajuan Peninjauan Kembali melalui pengacara Anita Kolopaking. Dengan kata lain, Permufakatan tersebut tidak ada kata sepakat dan tidak terjadi," terangnya.
Lebih lanjut, kuasa hukum mengingatkan bahwa jaksa Pinangki bukanlah pembuat proposal Action Plan dan pencatut nama Hatta Ali dan Burhanuddin.
"Karena sejak awal pemeriksaan di penyidikan terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam Action Plan, karena memang tidak tahu dari mana asal Action Plan tersebut apalagi isi didalamnya. Sehingga menjadi pertanyaan besar kenapa terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyatanya tidak terjadi," kuasa hukum menandaskan.
Advertisement