Sukses

Akhir Riwayat Partai Palu Arit di Tangan Orde Baru

Saat PKI lahir, kondisi Indonesia saat itu masih dalam penjajahan, semangat anti penjajahan pun membuncah di kalangan anak muda Indonesia pada zaman itu.

Liputan6.com, Jakarta Partai Komunis Indonesia (PKI) sempat mengecap masa-masa kejayaan sebelum akhirnya dibubarkan saat awal memasuki era Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemilu tahun 1955, menjadi momen yang tak bisa lekang bagi kader maupun simpatisan PKI kala itu.

Pada tahun itu, PKI berhasil meraup suara rakyat hingga 16 persen dari total keseluruhan jumlah suara.

PKI lahir saat momentum yang tepat, partai yang kelahirannya dibidani oleh tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1920 itu muncul dengan prinsip anti imprealisme yang telah menjadi nadi bagi komunisme itu sendiri. Sementara kondisi Indonesia saat itu masih dalam penjajahan, semangat anti penjajahan pun membuncah di kalangan anak muda Indonesia pada zaman itu.

D.N. Aidit dalam bukunya bertajuk "Lahirnja PKI Dan Perkembangannja (1920-1955)", menyebut bahwa PKI yang awalnya bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging(ISDV) itu merupakan anak zaman yang lahir pada waktunya, yakni di tengan-tengah keadaan imprealisme yang tengah mengekang rakyat Indonesia.

Pada perkembangannya, PKI sempat menggelorakan pemberontakan di sejumlah daerah untuk menggulingkan pemerintahan kolonial. Pada 1926, menurut catatan Budiawan yang dimuat dalam Indoprogress.com, ide pemberontakan 1926-27 lahir dari Putusan Prambanan pada Desember 1925.

Sempat terjadi silang pendapat mengenai rencana tersebut antara Tan Malaka, tokoh sentral PKI di Sumatera dengan sejumlah pimpinan PKI. Tan Malaka menolak rencana pemberontakan itu lantaran ia menganggap hal itu akan berujung pada kekalahan.

Benar saja,  pemberontakan itu akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan ditahan, sebanyak 1.308 orang yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan.

Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Buku "Komunisme di Indonesia" yang diterbitkan oleh Pusat Sejarah TNI AD menyebut, kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926-27 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional.

Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan nasional  mengalami masa yang paling suram.

"Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya sendiri, yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban putra-putri Indonesia yang masih  buta politik," sebut Buku Komunisme di Indonesia Jilid I.

Usai kemerdekaan, PKI resmi menjadi partai legal di Indonesia. Namun semangat untuk mendirikan negara komunis di Indonesia seakan tak pernah lekang. Pada 1948, PKI kembali menggelorakan pemberontakan. Kali ini bukan terhadap pemerintahan kolonial, melainkan pemerintahan sah Republik Indonesia.

Kejadian yang dikenal sebagai "Peristiwa Madiun 1948" ini dimotori oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri atas Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia pada 18 September 1948.

Hendri F. Isnaeni dalam artikelnya di Historia.id bertajuk "Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun", mengungkap bahwa peristiwa ini didorong oleh nafsu Musso untuk meleburkan sejumlah partai yang berhaluan sosialis-komunis dalam satu wadah, yakni PKI. Partai ini kemudian akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan front nasional.

Sejak awal September 1948, Musso bersama sejumlah pemimpin PKI bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yakni Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safarinya itulah meletus "Peristiwa Madiun".

Berita peristiwa pemberontakan itu akhirnya sampai ke Yogyakarta. Pemerintah dan militer tak lama langsung mengambil tindakan tegas. Wakil Presiden Mohammad Hatta kala itu menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah).

Diutuslah pasukan Siliwangi ke Madiun usai membabat FDR di Yogya. Pasukan Siliwangi dengan mudah menumpas kekuatan di Madiun. Pada 29 September, sehari sebelum Siliwangi merebut Madiun, sepasukan berkekuatan tiga batalyon bersama tiga ribu orang dan para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun. Musso tewas dalam baku tembak dan sebelas pemimpin pucuk PKI lainnya dieksekusi mati.

Upaya kelompok komunis di Madiun pun layak disebut gagal total. Hal itu disebabkan tak adanya dukungan dari rakyat.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Perlawanan Terakhir

Perlawanan pun kembali dilakukan, partai berlambang palu arit ini kembali melancarkan pemberontakan di tahun 1965. Pemberontakan kali ini mengantarkan partai ini menjadi partai terlarang di Indonesia. Peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30-S) itu hingga kini masih menuai perdebatan ihwal dalang dibaliknya.

Randy Wirayudha dalam tulisannya di Historia.id dengan tajuk "Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S", menjelaskan bahwa terdapat lima versi dalang dibalik peristiwa tersebut. Narasi utama tentu saja yang menyebut bahwa pemberontakan tersebut didalangi oleh PKI.

Narasi ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Belakangan, usai tumbangnya rezim Orde Baru narasi ini mendapatkan banyak tantangan dari sejumlah pihak. Sejarawan John Roosa dalam "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto", mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan.

Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana G30-S yang dimotori Untung itu hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana tersebut.

Sejumlah sejarawan juga mempercayai pemberontakan ini dipicu oleh konflik internal di tubuh TNI Angkatan Darat (AD). Sejarawan Harold Crouch dalam "Army and Politics in Indonesia", menjelaskan menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno.

Kelompok pertama disebut “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto.

Peristiwa G30-S yang dengan alasan menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal disebut hanya dalih perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat.

Versi lain mengatakan bahwa G30-S didalangi oleh Soekarno hingga Soeharto. Bahkan muncul dugaan bahwa peristiwa berdarah itu diarsiteki oleh badan intelijen Amerika Serikat (AS), Central intelligence Agency atau CIA.

Dugaan ini mencuat lantaran masa ini tengah menghangatnya Perang Dingin yang mempertontonkan rivalitas antara blok Barat yang mengusung demokrasi-kapitalis dengan blok Timur yang bernaung di bawah bendera komunisme.

David T. Johnson dalam "Indonesia 1965: The Role of the US Embassy", menyebut bahwa Barat berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia.

Opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih.

Keterlibatan CIA dalam peristiwa ini juga terang diungkap Peter Dale Scott dalam "US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967". Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad). Salah satu perwiranya adalah Soeharto.

AS juga disebut memberikan bantuan dana sebesar Rp 50 juta (sekitar USD 10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.

3 dari 3 halaman

Akhir Riwayat Akhir PKI

Terlepas dari perdebatan tersebut, rezim Orba menghakimi PKI sebagai dalang dibalik G30-S. PKI resmi dibubarkan tak lama setelah Letjen Soeharto menerima mandat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yakni pada 12 Maret 1966.

Soeharto membubarkan PKI melalui keputusan Nomor 1/3/1966. Keputusan itu menyatakan; pertama, membubarkan PKI termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya; 2) PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Tindakan Soeharto tentu atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno.

Pembubaran ini tentu saja terkait pemahaman sejarah kala itu yang menyebut dalang G30-S "hanyalah PKI". Soeharto menyebutkan adanya aksi-aksi gelap yang dilakukan sisa-sisa kontrarevolusi Gerakan 30 September/PKI.

Aksi-aksi gelap itu berupa penyebaran fitnah, hasutan, desas-desus, adu domba, dan usaha penyusunan kekuatan bersenjata. Aksi-aksi gelap itu dianggap membahayakan jalannya revolusi.

Beberapa bulan kemudian pelarangan dan pembubaran PKI dikokohkan dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966. Sejak saat itu PKI secara kelembagaan tak diperkenankan untuk bernafas di Indonesia.