Sukses

Pegiat Antikorupsi Pertanyakan MA yang Kerap Potong Hukuman Koruptor

Selama 2019 hingga 2020 tercatat sebanyak 20 koruptor mendapat pengurangan hukuman setelah melakukan upaya hukum PK yang dikabulkan MA.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Transperancy Internasional Indonesia (TII) Alvin Nicola, turut mengkirik keputusan Makamah Agung (MA) yang kerap meringankan vonis terdakwa korupsi melalui peninjauan kembali (PK). Menurutnya keputusan tersebut bisa membuat citra MA semakin buruk.

"Saya pikir ini selain tidak menimbulkan efek jera sama sekali ke koruptor, tren ini akan terus memperburuk citra MA yang sebelumnya sudah buruk," ujar Alvin saat dihubungi merdeka.com, Rabu (30/9/2020).

Selama 2019 hingga 2020 tercatat sebanyak 20 koruptor mendapat pengurangan hukuman setelah melakukan upaya hukum PK yang dikabulkan MA.

"Publik pasti akan semakin kritis terhadap putusan pengadilan ya. Makanya kita bertanya-tanya MA ini bekerja untuk publik atau untuk koruptor," tambahnya.

Oleh sebab itu, Alvin menagih MA untuk menjelaskan alasan hukum dibalik pengurangan vonis terhadap para koruptor.

"Termasuk, kekuasaan kehakiman yang dimiliki MA dalam memutus perkara saya harap dapat mengkombinasikan tiga hal penting yaitu, kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, sehingga putusan-putusannya tidak menimbulkan polemik di masyarakat," terangnya.

Selain itu, Alvin mendesak agar Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial harus turun tangan mengawasi tren pengurangan hukuman yang kerap dilakukan MA.

"Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial harus terlibat mengawasi tren pengurangan hukuman ini. Serta Pedoman standarisasi hukuman kasus korupsi yang justru dikeluarkan MA harusnya konsisten digunakan," tuturnya.

Usai Ditinggal Artidjo Alkostar

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai tren putusan PK yang kerap kali dilakukan MA beberapa waktu kebelakang, seperti kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi.

"Padahal jika melihat tren saat Artidjo Alkostar masih menjadi hakim agung, tren putusan PK kasus korupsi tidak seperti ini," tuturnya.

Atas hal itu, ia menegaskan bahwa MA harus segera berbenah dan lebih serius dalam mempertimbangkan putusan pemotongan vonis kasus korupsi melalui mekanisme PK.

"Bawas MA dan Komisi Yudisial diharapkan juga bisa lebih aktif dalam melakukan pengawasan kinerja hakim mahkamah agung," katanya.

Sebelumnya hal serupa juga diungkapkan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Menurutnya, maraknya penyunatan hukuman melalui upaya hukum PK setelah MA ditinggal Artidjo Alkotsar. Artidjo diketahui kini bertugas sebagai Dewan Pengawas KPK.

"Terlebih putusan-putusan PK yang mengurangi hukuman ini marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artidjo Alkostar. Jangan sampai memunculkan anekdot hukum 'bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya'," kata Nawawi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Penjelasan MA soal Potongan Hukuman

Pada pemberitaan sebelumnya, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menyebut, vonis yang telah diberikan hakim MA terhadap para terpidana kasus korupsi berdasarkan rasa keadilan.

Menurut Abdulllah, setiap vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim MA dalam upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan para terpidana korupsi tak bisa dipengaruhi oleh siapa pun, dalam kondisi apa pun.

"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapa pun," ujar Abdullah dalam keterangannya, Rabu (30/9/2020).

Abdullah meminta kepada masyarakat untuk menghormati putusan yang dijatuhkan hakim terhadap terpidana korupsi. Abdullah menyarankan agar setiap masyarakat tak mudah terprovokasi oleh hal apa pun terkait vonis majelis PK MA.

"Saya dan siapapun tetap harus menghormati putusan apa adanya. Jika memberikan komentar lebih bijak membaca putusan lebih dahulu. Setelah mengetahui legal reasoningnya baru memberikan komentar, kritik, maupun saran-saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," kata Abdullah.

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka