Sukses

Kejagung Didesak Periksa Pihak yang Disebut dalam Pleidoi Terdakwa Jiwasraya

Pihak-pihak tersebut sempat disebut dalam nota pembelaan atau pleidoi mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo.

Liputan6.com, Jakarta Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) segera memeriksa pihak-pihak yang disebut terlibat dalam praktik manipulasi laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Tbk.

Pihak-pihak tersebut sempat disebut dalam nota pembelaan atau pleidoi mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo. Dalam pleidoinya kemarin, 29 September 2020, Hary mengakui dirinya bersama Mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, telah melakukan manaipulasi laporan keuangan atau window dressing sejak pertama kali ditunjuk sebagai petinggi Jiwasraya pada 2008 silam.

Praktik manipulasi laporan keuangan atau window dressing Jiwasraya ini, kata Hary, diketahui oleh jajaran Kementerian BUMN selaku pemegang saham dan pejabat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas.

"Semoga dari nota pembelaan terdakwa kemarin aparat penegak hukum bisa membongkar secara terang-benderang kasus korupsi Jiwasraya," ujar Boyamin dalam keterangannya, Rabu (30/9/2020).

Terkait pernyataan Hary Prasetyo dalam pleidoi, menurut Boyamin sudah seharusnya terdakwa lain, yakni mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya Syahmirwan juga bisa mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di Jiwasraya.

Pasalnya, kata Boyamin, pada saat mendengar isi pleidoi yang dibacakan Syahmirwan disebutkan bahwa penyebab masalah Jiwasraya adalah kebijakan yang diambil jajaran direksi baru periode 2018-2023. Menurut Boyamin hal tersebut tidak masuk akal karena Kementerian BUMN telah melakukan pergantian direksi sebanyak tiga kali sejak mencopot Hendrisman dan Hary Prasetyo dari kursi pimpinan Jiwasraya.

Pertama, Muhammad Zamkhani pada Januari 2018. Kedua, Asmawi Syam pada Mei 2018 yang mulai berlaku efektif pada Agustus 2018. Ketiga, Hexana Tri Sasongko pada November 2018 yang baru efektif pada Januari 2019.

"Pergantian-pergantian ini menunjukkan bahwa saat itu pemerintah sudah mengetahui kondisi Jiwasraya yang sesungguhnya. Saya yakin jika terdakwa masih di Jiwasraya, tentunya Jiwasraya akan jebol dan gagal bayar juga," kata Boyamin.

Selain praktik window dressing, kata Boyamin, faktor yang menyebabkan Jiwasraya memiliki utang hingga Rp 54 triliun per-Juli 2020 juga dilatarbelakangi keberadaan produk-produk asuransi dengan bunga tinggi.

Menurut Boyamin, masalah Jiwasraya kian bertambah ketika manajemen lama menempatkan portofolio investasi Jiwasraya pada saham-saham gorengan milik terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.

Akibatnya, pada saat nasabah ingin mencairkan dananya, manajemen Jiwasraya sudah tidak memiliki aset yang likuid hingga akhirnya mengalami gagal bayar di era Asmawi Syam pada Oktober 2018 dan mengalami kerugian Rp 16,8 triliun mengacu angka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Di fase inilah letak permasalahan yang menjadi pokok perkara dari dugaan korupsi di Jiwasraya," kata dia.

"Jika mengacu Rilis MA mengenai tuntutan atas kerugian negara dengan angka di atas Rp100 miliar harusnya semua terdakwa dituntut seumur hidup. Begitu juga dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang menikmati uang lebih dari Hary Prasetyo dan Syahmirwan," kata Boyamin menandasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pledoi Harry Prasetyo

Diberitakan sebelumnya, Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya periode 2008 - 2018 Hary Prasetyo mengakui, untuk bisa menjalankan perusahaan selama 10 tahun, dirinya bersama mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim harus melakukan sejumlah rencana atau contigency plan.

Hary menyampaikan hal tersebut saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dirinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/9/2020) malam. Hary sendiri kini berstatus terdakwa kasus dugaan korupsi di perusahaan asuransi plat merat itu.

“Kondisi, yang memaksa kami melakukannya (contigency plan). Suatu diskresi bagi direksi untuk bertindak atas sebuah kondisi keuangan Jiwasraya yang abnormal,” ujar Hary di Pengadilan Tipikor, Selasa (29/9/2020).

Hary mengatakan, sebagai dampak dari pelaksanaan rencana cadangan tersebut, dirinya bersama Hendrisman yang juga berstatus terdakwa melakukan manipulasi laporan keuangan atau window dressing.

Manipulasi laporan keuangan dilakukan dengan menampilkan laporan keuangan yang selalu sehat kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian BUMN. Dia pun memastikan segala tindakannya tersebut diketahui banyak pihak.

Tujuannya, agar manajemen Jiwasraya kala itu dapat melakukan reasuransi, serta menerbitkan produk berskema ponzi yakni JS Proteksi Plan yang akhirnya menjadikan Jiwasraya merugi seperti saat ini.

“Tentunya kondisi Jiwasraya yang sebenarnya diketahui oleh regulator, bahkan oleh BPK. Sangat tidak mudah menjaga laporan keuangan untuk tetap 'solvent' meski sempat dilakukan revaluasi aset pada 2013. Apakah hal tersebut dikatakan semu? Betul, tapi tidak ada pilihan lain,” ujar Hary menjelaskan.