Sukses

Sidang Pleidoi, Terdakwa Sebut JPU Tak Bisa Buktikan Aliran Dana Korupsi Jiwasraya

Joko Hartono juga menyebut JPU tidak dapat membuktikan 13 MI yang mengelola 21 reksadana di PT Asuransi Jiwasraya membeli 117 saham darinya dan juga Heru Hidayat serta Benny Tjokrosaputro.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan terdakwa Joko Hartono Tirto. Sidang digelar dengan agenda pembelaan atau pleidoi.

Dalam nota pembelaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai tidak dapat membuktikan adanya aliran dana dari 13 Manajer Investasi (MI) yang mengelola 21 reksadana yang dimiliki PT Asuransi Jiwasraya kepada Joko Hartono Tirto.

Hal itu membantah dakwaan JPU yang menyebut Joko telah merugikan Jiwasraya Rp 16,8 triliun dengan Rp 12 triliun di antaranya bersumber dari investasi Asuransi Jiwasraya (PT AJS) di reksadana konvensional di 13 Manajer Investasi (MI). Kejaksaan Agung pun telah menetapkan 13 MI itu sebagai tersangka.

“Ke mana uang Rp 16,8 triliun tersebut dan mana alirannya? Bagaimana dapat dikorupsikan jika tidak ada aliran dana kepada saya?” demikian nota pembelaan Joko Hartono Tirto yang dibacakan tim kuasa hukumnya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (1/10/2020).

Dalam pleidoi, Joko menilai JPU juga tidak dapat membuktikan 13 MI yang menerbitkan 21 reksadana itu membeli 117 saham darinya dan juga Heru Hidayat serta Benny Tjokrosaputro.

Selain itu, katanya dalam pleidoi, terdapat sejumah saham-saham BUMN dan pihak swasta lain yang diperoleh dari masyarakat di dalam 21 reksadana tersebut.

“Bahwa proses subscription PT AJS ke 21 produk reksadana tersebut adalah dengan cara membeli (tunai) unit penyertaan yang kemudian uang tersebut dipergunakan oleh MI untuk membeli saham-saham yang menjadi underlying-nya dari masyarakat,” demikian lanjutan nota pembelaan Joko Hartono Tirto.

Pleidoinya itu pun diperkuat dengan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan sebelumnya. Saksi Faisal Satria Gumay, tulis Joko, pada persidangan 6 Juli 2020 menyatakan bahwa dalam reksadana saham yang dimiliki PT AJS terdapat banyak saham lain selain IIKP, SMRU, SMBR, dan LCGP.

Sementara itu, saksi lainnya, Lusiana pada persidangan 15 Juli membeberkan bahwa ada banyak saham lain yang di dalam portofolio reksadana yang dikelola 13 MI selain saham TRAM dan IIKP.

Sejumlah saham BUMN pun dilaporkan masuk dalam portofolio reksadana tersebut.

“Keterangan Saksi Frery Kojongian pada persidangan, yang pada intinya menyatakan bahwa terdapat saham-saham BUMN dalam produk reksadana yang dikelola MNC Aset Management yaitu PPRO, SMBR, WSBP, TLKM dan ADHI,” demikian kutipan dari persidangan 15 Juli 2020 yang dilampirkan Joko Hartono Tirto dalam pledoinya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Nilai Aset Disita Lebihi Kerugian

Selain itu, berdasarkan kajian PVR 31 Desember 2019 ada banyak juga saham BUMN lain di dalam portofolio tersebut yaitu BNI, BRI, BMRI dalam reksadana milik Jasa Capital Aset Management. Informasi itu disampaikan Joko berdasarkan keterangan saksi Rudolfus Pribadi Agung Sujagad pada 16 Juli 2020.

Kendati sampai hari ini JPU gagal membuktikan dakwaannya. Joko Hartono Tirto dalam pledoinya pun mengeluhkan harta pribadinya yang dikorbankan dan disita.

Padahal, sebutnya dalam nota pembelaan, Jampidus Kejagung dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR, menyebut penyidik telah melakukan penyitaan aset sebesar Rp 18,46 triliun. Nilai penyitaan aset itu sudah melebihi nilai kerugian PT AJS yang disebut mencapai Rp 16,8 triliun.

“Lalu kalau memang sudah melebihi kerugian negara kenapa saya masih juga dituntut seumur hidup?” tanya Joko Hartono Tirto dalam pledoi.