Sukses

Cerita Pegiat HAM soal Korban PKI Tak Diizinkan Pulang ke Tanah Air

Gus Dur melalui Menteri Yusril Ihza Mahendra membuat kebijakan memperbolehkan mereka pulang ke Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Yunita Chuzaifah, Pegiat HAM Perempuan yang juga mantan Ketua Komnas Perempuan bercerita soal pengalaman dirinya dengan para korban yang tak diizinkan pulang ke Tanah Air karena peristiwa 1965. Dia menyebut para korban itu enggan menyebut peristiwa G30S/PKI.

Dia mengaku sebagai korban, namun korban dalam perspektif lain. Kakak dari orangtuanya, atau dalam budaya Jawa disebut 'Pakde' pernah hampir dibunuh oleh seorang Kepala Desa yang berafiliasi dengan PKI. Namun Pakde-nya berhasil lolos dari pembunuhan.

"Saya ingin mengungkap beberapa pengalaman atau pertautan dengan para korban yang terhalang pulang karena peristiwa 65. Mereka adalah yang menolak atau mendukung Suharto, belum tentu mereka PKI," kata dia dalam presentasi yang dikutip Liputan6.com dari web Saiful Mujani, Sabtu (3/10/2020).

Dia mengatakan, mereka yang diizinkan pulang ke Tanah Air memang mengikuti semacam training Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom).

"Mungkin seperti P4 begitu lah, tapi mereka memang tidak mendukung Suharto sehingga mereka dilarang untuk kembali ke tanah air," kata dia.

Menurutnya, di Eropa atau di negara lain, mereka seperti berada di sebuah penjara besar, penjara seberang benua lantaran tak bisa kembali ke negara asalnya, Indonesia. Sebagian besar mereka masih memiliki keluarga di sini.

"Bisa terbayang. Saya saja kalau tiga bulan tidak bertemu keluarga saja sudah tersiksa. Mereka ini terhalang tidak boleh pulang," ucap dia.

Di sana, di negara lain yang dia temukan orang-orang yang tak boleh kembali ke Tanah Air adalah mereka yang kebanyakan adalah orang pintar. Dia mengaku bertemu ahli atom, ahli matematika. Mereka di Eropa tersebar menjadi pekerja-pekerja teknis.

"Jadi, orang-orang pintar negeri kita hanya gara-gara perbedaan politik mereka dihalangi, dimasukan ke dalam penjara di lain benua tadi," kata dia.

"Kemudian, mereka juga dihalangi mencintai bangsanya," dia menambahkan.

Bahkan, dirinya mengaku sempat ingin menangis ketika momen Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia pada 17 Agustus yang dilakukan di kedutaan Indonesia di Belanda. Dia mengaku melihat ibu-ibu pakai kebaya merah jambu hendak ikut upacara pengibaran bendera.

Mereka di trotoar kedutaan hanya pegang besi untuk melihat pengibaran bendera.

"Menurut saya, kok begitu ya kita memberlakukan anak bangsa kita. Mereka mencoba mencintai tanah air tapi terhalang karena soal politik tadi," sesalnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Boleh Pulang di Era Gus Dur

Beruntung pada era Presiden keempat Abdurrahman Wahid atay Gus Dur membuat kebijakan luar biasa. Gus Dur melalui Menteri Yusril Ihza Mahendra membuat kebijakan memperbolehkan mereka pulang ke Indonesia.

"Saya ada di sana, saya menyaksikan," kata dia.

Saat itu dia mengaku bertemu dengan Sidik Kertapati, orang yang berjasa untuk proklamasi dan di dalamnya masih ada peluru, tapi kemudian dia terhalang pulang.

"Saya mendapatkan cerita bagaimana pengantin baru yang tidak bisa pulang sehingga mereka, mohon maaf, memotong penisnya, lari-lari di tengah salju. Saya banyak dengar cerita orang-orang yang depresif," kata dia.

Dengan dirinya bergabung dalam Komnas Perempuan, dia mengaku kerap menjain hubungan dengan para korban. Dia bercerita, pernah dia mendengar ada kasus penggeledahan untuk mencari tato palu arit.

Dia mengaku sempat bertemu dengan seorang ibu, dia guru TK di daerah Purbalingga, Cilacap.

"Dia, waktu itu, di penjara, katanya, ditelanjangi dicari palu arit dan dia diperkosa berulang-ulang. Dia guru TK. Dalam interogasinya, dia dipaksa mengaku bahwa dia adalah Gerwani yang ikut menari-nari di Lubang Buaya padahal dia ada di Cilacap. Jadi, ada keajaiban, keanehan," kata dia.

Tak hanya itu, dia juga menemukan adanya korban interogasi dengan perusakan genital. Dia bertemu dengan perempuan yang genitalnya dibakar, dipaksa mengaku. Bahkan hingga alat genitalnya dimasukan sesuatu. Saat hamil, diminta aborsi dan lain sebagainya.

"Belum lagi soal isu penghilangan paksa. Suaminya hilang tanpa pernah tahu ada di mana. Penghukumanan tanpa pengadilan. Kemudian pencabutan hak sipol, stigma, dan isolasi sosial tidak boleh bertemu dengan masyarakat. Sulit sekali," kata dia.