Sukses

Wakil Ketua DPR: Pengesahan RUU Cipta Kerja Sebelum 8 Oktober 2020

Dasco menyatakan hingga saat ini belum ada keputusan tanggal pasti kapan paripurna akan digelar. Dia juga belum mengetahui kabar paripurna akan dimajukan untuk digelar hari ini.

Liputan6.com, Jakarta Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini tengah menggelar rapat pimpinan untuk menetapkan tanggal rapat paripurna penutupan masa sidang VIII. Salah satu agenda paripurna adalah pengesahan RUU Cipta Kerja.

"Kami belum menentukan tanggal pasti, karena hari ini kita baru mau adakan rapat pimpinan tentang paripurna, yang semula memang dijadwalkan tanggal 8 Oktober 2020. Kita jadwalkan itu paling terakhir memang tanggal 8 Oktober 2020," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (5/10/2020).

Dasco menyatakan hingga saat ini belum ada keputusan tanggal pasti kapan paripurna akan digelar. Dia  juga belum mengetahui kabar paripurna akan dimajukan untuk digelar hari ini.

"Belum tahu, karena jadwalnya sampai hari ini masih relatif," ujarnya.

Diketahui, Baleg DPR telah menyepakati RUU Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna pada Sabtu (3/10/2020) tengah malam.  Hanya ada 2 fraksi, yaitu Demokrat dan PKS yang menolak RUU tersebut.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Penolakan Serikat Buruh

Sebelumnya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan, pihaknya masih konsisten untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ada tujuh alasan pihaknya menolak RUU Cipta Kerja. yang pertama adalah UMK bersyarat dan UMSK dihapus, karena setiap daerah nilainya berbeda

"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Said dalam keterangannya, Senin (5/10/2020).

Alasan kedua diklaim KSPI, adalah menolak pengurangan nilai pesangon yang dibayar melalui BPJS Ketenagakerjaan. Dia pun mempertanyakan sumber dananya. "Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru," tutur Said.

Ketiga soal tidak ada batas waktu kontrak, yang menurutnya membebani buruh, yang poinnya juga sama tak mentolelir adanya pekerja outsourching terus menurus. Karena semuanya tak akan mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 % sampai 80 % dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap?," kata Said.

Alasan kelima, Said menjelaskan, buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Kemudian, keenam hak cuti, hak upah atas cuti, cuti haid dan melahirkan hilang, serta hak cuti panjang hilang. Ketujuh, potensinya jaminan pensiun dan kesehatan hilang karena terus menggunakan karyawan kontrak dan outsourching.

"Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” tegas Said.