Liputan6.com, Jakarta - Presiden Soeharto marah besar saat meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung pada 9 Juni 1994. Lewat pidato tanpa teks, dengan keras dia menegaskan bahwa pembelian 39 kapal Jerman adalah idenya, bukan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie.
ABRI juga diminta tidak berkecil hati karena seolah tidak dipercaya dan ditinggalkan dalam proses pembelian kapal itu. Soeharto menjelaskan, negosiasi itu sengaja dilakukan dengan Kanselir Helmut Kohl secara diam-diam atas permintaan pemerintah Jerman.
Baca Juga
Dikutip dari 'Majalah Tempo: Jerman Punya Kapal, Tempo Ketiban Bredel' Edisi: 12 Oktober 1998, insan pers juga tidak luput dari hujatan. Dari atas geladak KRI Teluk Banten, Soeharto memerintahkan agar pers yang telah mengadu domba dalam pemberitaan kapal itu ditindak tegas.
Advertisement
Di sinilah titik awal pemberedelan dimulai. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto menutup Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid DeTIK. Peristiwa 26 tahun lalu itu masih segar diingatan Harjoko Trisnadi, pendiri Tempo.
Harjoko-lah yang menerima surat keputusan dari Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko.
"Tanggal itu saya tidak bisa melupakan," katanya saat dihubungi Tempo, Senin 22 Juni 2020.
Kala itu, Tempo edisi terbaru yang beredar di Jakarta, 7 Juni 1994, memang memuat cover story tentang pembelian kapal. Tulisan utama berjudul Dihadang Ombak dan Biaya Besar mengungkapkan tarik ulur biaya pembelian kapal antara Menteri B.J. Habibie dan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad.
Seminggu sebelumnya, Tempo juga menurunkan tulisan berjudul Jerman Punya Kapal, Indonesia Punya Beban, yang melaporkan bahwa biaya pembelian 39 kapal itu sudah membengkak 62 kali. Kalangan pers di Jakarta percaya bahwa sasaran kemarahan Soeharto itu adalah Majalah Tempo.
Panas Dingin Redaksi Tempo
Di ruang redaksi Tempo, Kuningan, Jakarta Selatan, awak redaksi yang berkumpul menyaksikan pidato Soeharto di televisi langsung panas dingin. Fikri Jufri yang menggantikan Goenawan Mohamad sebagai pemimpin redaksi, mengumpulkan sejumlah wartawan.
Berdasarkan 'Majalah Tempo: Jerman Punya Kapal, Tempo Ketiban Bredel' Edisi: 12 Oktober 1998, Fikri bilang dia merasakan kemarahan Soeharto pasti ada buntutnya.
"Kalau Soeharto sudah ngomong pers akan ditindak, pasti akan ia lakukan. Tindakan minimal, saya sebagai pemimpin redaksi harus pergi. Maksimal, Tempo ditutup," kata Fikri saat itu.
Sehari setelah Soeharto bicara di Teluk Ratai, rapat koordinasi bidang politik dan keamanan (Polkam) digelar di Jakarta. Hasil rapat itu pun makin membingungkan.
Menteri Penerangan Harmoko sebelumnya sudah memberi sinyal kuat bahwa media yang mengadu domba akan ditindak tegas. Sementara Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Sudarman kabarnya tidak setuju jika tindakan tegas itu berupa pemberedelan.
Informasi lainnya menyebut, Harmoko dan Soesilo sepakat memberikan peringatan saja kepada Tempo dan sejumlah media lain. Hal itu akan diumumkan seusai rapat polkam berikutnya pada 30 Juni 1994.
Sambil menanti, sumber lain dari Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengatakan bahwa Menteri Habibie menyiapkan gugatan USD 1 miliar terhadap Tempo sebagai rencana pertama.
Yang kedua, Tempo akan ditutup sementara, pemimpin redaksi diganti, komposisi saham diubah. Jika misalnya Tempo hanya diperingatkan saja oleh Departemen Penerangan, kata sumber itu, gugatan Habibie akan dicatatkan di pengadilan.
Hingga akhirnya pada sore hari 20 Juni 1994, secara mendadak Menteri Harmoko dan Moerdiono dipanggil ke Jalan Cendana, kediaman Presiden Soeharto. Di sana, keputusan sudah diambil yakni Tempo ditutup, juga DeTik dan Editor. Instruksi harus dijalankan secepatnya. Tanpa perdebatan, tanpa pertanyaan.
Komentar Harmoko, "Eee, wah?, kok saya lupa ya. Sudahlah, biarkan itu semua berlalu," katanya kepada Tempo.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tempo Melawan hingga Terbit Lagi
Masuk 21 Juni 1994, Menteri Harmoko sebagai Ketua Dewan Pers memanggil anggota pelaksana harian. Undangan itu disampaikan lewat telepon dengan jadwal rapat dimulai pukul 09.00 WIB di Gedung Dewan Pers di Kebonsirih, Jakarta Pusat.
Jakob Oetama, pemimpin harian Kompas, datang terlambat dalam rapat. Selain Harmoko serta Dirjen Pers dan Grafika Subrata, hadir dalam ruangan Sjamsul Basri dari Suara Karya dan Handjojo Nitimihardjo dari kantor berita Antara.
Jakob Oetama dalam kesaksian di pengadilan kasus Tempo, menyatakan pihaknya tidak merekomendasikan pemberedelan. Dari empat rekomendasi, satu di antaranya adalah mengganti Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi.
Mengalir begitu saja, saran Dewan Pers tampaknya tidak cukup sakti menahan keputusan beredel yang sudah diambil sebelumnya. Sebab, sekitar pukul 13.00 WIB pada 21 Juni 1994 itu, Handjojo Nitimihardjo dipanggil Dirjen PPG Subrata dan diberi tahu bahwa pemerintah hari itu menutup tiga media. Sesuatu yang melenceng dari saran Dewan Pers.
Sore harinya sekitar pukul 16.00 WIB, Dirjen PPG Subrata mengumumkan pemberedelan tersebut.
Pendiri Tempo, Harjoko Trisnadi, mengatakan, media massa era Orde Baru memang wajib mengantongi surat izin terbit dalam bentuk Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Di dalamnya wajib tertera nama pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan pemimpin perusahaan dan harus disahkan di Departemen Penerangan.
Sebab itu, konsekuensinya media massa dapat dicabut kapan saja. Seperti yang pernah dialami Tempo pada pemebredelan pertama 1982, lantaran dianggap terlalu keras mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar, pada Pemilu 1982. Saat itu, izin terbit Tempo dicabut selama tiga bulan.
"Tapi yang kedua kalinya (21 Juni 1994) final. Enggak bisa terbit lagi," ujar Harjoko.
Dengan selembar surat beredel, kapal bernama Tempo itu langsung karam. Walau kemudian terbukti tidak untuk selama-lamanya.
Isi surat beredel dari Departemen Penerangan tanggal 21 Juni 1994 sendiri tidak menunjukkan jelas alasan pemberangusan. Hanya disebut, 'Isi beberapa penerbitan Tempo tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab'.
Juga disebutkan, penertiban terhadap Tempo diambil untuk membina dan mengembangkan pers nasional sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Termasuk demi terbinanya stabilitas nasional di Republik Indonesia.
Tempo yang menolak keputusan pemberedelan itu lantas menggugat pemerintah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tanpa diduga, hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo pada 3 Mei 1995 dan akhirnya dapat kembali terbit.
Namun Majalah Tempo baru bisa terbit kembali pada 6 Oktober 1998, setelah empat tahun mati suri. Edisi kelahiran kembali ini memuat laporan utama sekitar kasus pemerkosaan yang menimpa etnis Cina selama masa-masa kerusuhan bulan Mei 1998.Â
Dilansir dari "Majalah Tempo: Tidak Sekedar Kembali", Edisi: 7 Maret 2011, kala itu ada seorang tokoh yang dekat dengan kekuasaan menawarkan kesempatan agar Tempo bisa terbit lag setelah diberedeli.Â
Lima hari setelah pemberedelan, dia mengundang Pemimpin Umum Tempo Eric Samola dan beberapa pimpinan lain untuk bertemu di sebuah hotel. Dia menawarkan, Tempo bisa terbit lagi tapi dialah yang menguasai hak mengangkat dan memberhentikan redaksi.Â
Tawaran itu ditolak dan Tempo memilih melawan pemberedelan lewat pengadilan dan aksi-aksi demonstrasi. Sebagian yang lain menerbitkan publikasi bawah tanah, hingga internet. Namun, zaman belum berpihak. Tempo terus terbentur tembok kekuasaan yang sedang di puncak kegarangannya.
Hingga akhirnya, berembus angin perubahan pada 1998, bersama makzulnya Presiden Soeharto. Penguasa baru tidak lagi mengontrol pers, dan peluang Tempo terbit kembali terbuka lebar.Â
Dengan sekelumit perdebatan, diputuslah kelahiran kembali Tempo. Urusan selanjutnya adalah modal yang belum ada. Diskusi kembali terjadi dan diputuskan modal awal pinjam dari PT Grafiti Pers.Â
Jumlah awak yang minim tak membuat gentar. Semangat malah kian membara.
Kebebasan pers pun mulai dirasakan setelah kejatuhan Soeharto. Aturan izin terbit sudah dihapus, bahkan Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Advertisement
Pembelaan BJ Habibie
Tatkala pemberedelan terjadi, Menteri Habibie tengah berada di Jepang. Sebuah kabar dari Jepang menyebut, Habibie sempat mengutarakan bahwa dirinya tidak bisa tidur setelah Tempo menulis soal 39 kapal Jerman.
Pernyataan ini dibantah Menteri Habibie dalam jumpa pers di Hotel New Otani, Tokyo.
"Saya tak tahu dari mana khayalan indah itu. Saya tak tahu menahu. Kalau orang lain berkata macam-macam, saya tak peduli," bantah Habibie seperti dimuat harian Bisnis Indonesia, 23 Juni 1994.
Tempo saat itu mencoba melayangkan permohonan wawancara dengan B.J. Habibie yang telah menjadi Presiden Ketiga RI. Namun tidak kunjung menerima jawaban.
Fikri Jufri yang kala itu menjadi pemimpin redaksi Tempo sedari awal mempertanyakan penyebab Tempo diberangus rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto melalui Menteri Penerangan Harmoko.
"Ternyata karena cover story Tempo waktu itu mengenai pembelian kapal bekas dari Jerman Barat ke Indonesia," ujar Fikri saat Peringatan 20 Tahun Pemberedelan Tempo di Kebayoran Center, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Juni 2014.
Dikutip dari tempo.co, Fikri akhirnya mencari tahu alasan pemberedelan itu ke penasihat ekonomi Soeharto, Ali Wardhana.
"Saya bertanya ke Ali, siapa di belakang ini semua sampai Pak Harto setuju memberedel Tempo," tanyanya.
Ali pun lantas menjawab dengan syarat tidak boleh dijadikan berita.
"Pak Ali bilang Habibie. Dan Soeharto memang sangat dekat dengan dia," kata Fikri.
Sementara itu, B.J. Habibie yang hadir dalam acara peringatan HUT AJI ke-19 di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, 29 Agustus 2019 malam, memberikan klarifikasinya. Diawali dengan menjelaskan gagasan proyek pengadaan kapal perang dari Jerman.
"Saya dipanggil oleh Pak Harto, ini ada berita armada Jerman Timur yang terdiri dari peluru kendali dan 36 kapal dijual. Itu baru kata dia. Coba kamu usahakan," terang Habibie seperti dilansir dari Merdeka.com.
Habibie dipercaya menjadi negosiator proyek tersebut dan berhasil mengajak Jerman bekerja sama hingga mau menjual perangkat militernya tersebut ke Indonesia. Padahal, kala itu Jerman enggan menjual kepada negara yang dilanda krisis.
"Waktu saya boleh beli, saya runding seluruh armada dan sparepart dapat USD 12,5 juta. Saya dapat semua dan suku cadang. Saya setor ke Pak Harto," kata Habibie.
Presiden RI Ketiga itu mengklaim hanya mengurusi pembelian sampai di tahapan itu saja. Sementara soal pembayaran dan keuangan, sepenuhnya diserahkan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan.
"Yang implementasi itu Faisal Tanjung. Harga saya sudah serahkan ke Pak Harto yang membawa itu militer Menhankam," jelasnya.
Hingga akhirnya, muncul kabar adanya dugaan mark up harga armada militer itu membengkak berkali-kali lipat. Pemberitaan pun dilakukan oleh Majalah Tempo, Tabloid DeTik, dan Majalah Editor.
Keputusan pemberedelan ketiga media tersebut pun diambil karena dianggap memprovokasi isu. Dalam hal ini, Habibie mengaku langsung menemui Menteri Penerangan Harmoko selaku eksekutor yang mendapat perintah langsung dari Soeharto.
"Kenapa diberedel, lho itu orang-orang pinter kritis. Kita mau bangun SDA Indonesia kenapa ditakut-takutin," ucap Habibie.
Habibie bersikeras dengan menegur Harmoko dan menyuruhnya untuk menyampaikan ke ketiga media tersebut untuk dapat menerbitkan tulisannya kembali. Dia meminta tidak perlu ada pemberedelan, kalau ada kesalahan solusinya cukup berupa teguran.
Namun, Harmoko tidak bisa membatalkan pemberedelan itu. "Soalnya saya sudah tandatangani. Sudah dilaksanakan," kata Habibie menirukan ucapan Harmoko.