Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alex Marwata tak habis pikir dengan langkah Mahkamah Agung (MA) yang memotong vonis puluhan terpidana kasus korupsi. Apalagi, menurut dia, saat ini tak kurang dari 50 permohonan Peninjauan Kembali (PK) tengah diajukan terpidana korupsi ke MA.
Alex melihat, ada semacam fenomena bahwa permohonan PK telah menjadi semacam jalan untuk mengurangi jumlah hukuman yang harus dijalani seorang terpidana kasus korupsi. Sebanyak 23 kasus pemotongan hukuman yang dilakukan MA sejauh ini untuk terpidana kasus korupsi seolah jadi pembenaran untuk dugaan itu.
"Artinya, PK ini dianggap sebagai pintu yang digunakan (terpidana kasus korupsi) untuk menurunkan sanksi pidana. Pimpinan KPK berencana menghadap Mahkamah Agung untuk membicarakan ini, supaya marwah lembaga PK untuk mengoreksi putusan yang sudah inkrah tidak disalahgunakan untuk kepentingan pemotongan putusan yang trennya sudah semakin tampak," ujar Alex di Jakarta, Selasa (6/10/2020).
Advertisement
Kerisauan yang sama juga dirasakan Kurnia Ramadhana, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Dia tak menampik pemotongan vonis terhadap 22 terpidana kasus korupsi sejauh ini sudah menjadi preseden buruk terhadap agenda pemberantasan korupsi.
"Nasib pemberantasan korupsi di masa mendatang akan semakin suram jika Mahkamah Agung tetap mempertahankan tren vonis seperti ini kepada terdakwa kasus korupsi. Menurut data ICW, rata-rata hukuman pelaku korupsi di sepanjang tahun 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara," papar Kurnia kepada Liputan6.com, Rabu (7/10/2020).
Selain itu, lanjut dia, pemulihan kerugian negara dari kasus korupsi juga sangat kecil. Jika ditotal, negara telah rugi akibat praktik korupsi pada sepanjang tahun 2019 sebesar Rp 12 triliun. Akan tetapi, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp 750 miliar.
"Sepuluh persennya saja tidak dapat. Jadi dari total 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada tahun 2019, sekitar 842 orang divonis ringan (0-4 tahun), sedangkan vonis berat hanya 9 orang (di atas 10 tahun). Belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang," ujar Kurnia.
Â
ICW menurut dia juga menyoroti dampak dari tren ini yang memiliki implikasi serius. Yakni menegasikan nilai keadilan bagi masyarakat sebagai pihak yang terdampak korupsi.
"ICW sudah meragukan keberpihakan Mahkamah Agung dalam pemberantasan korupsi. Kesimpulan itu bukan tanpa dasar, tren vonis ICW tahun 2019 menunjukkan bahwa rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara," tegas Kurnia lagi.
Menurut dia, ada dua implikasi serius yang timbul akibat putusan PK tersebut. Pertama, pemberian efek jera yang akan semakin menjauh. Kedua, kinerja penegak hukum, dalam hal ini KPK, akan menjadi sia-sia saja.
"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor? Sebab, putusan demi putusan PK yang dijatuhkan Mahkamah Agung, di antaranya untuk Anas Urbaningrum, sudah terang benderang meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat," ujar Kurnia.Â
Karena itu, ICW menuntut agar Ketua Mahkamah Agung mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi.
"Komisi Yudisial juga harus lebih turut aktif terlibat melihat potensi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim yang menyidangkan PK perkara korupsi," tegas Kurnia.
Dia mengatakan, harus diakui bahwa masyarakat merindukan adanya sosok hakim agung seperti Artidjo Alkostar lagi di Mahkamah Agung, karena kondisi peradilan yang semakin tak berpihak pada pemberantasan korupsi.
"Di sisi lain, KPK juga harus mengawasi persidangan-persidangan PK di masa mendatang, karena bila tren ini berkelanjutan maka akan melululantakkan kerja keras penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi. Serta, menjauhkan pemberian efek jera, baik bagi terdakwa maupun masyarakat," Kurnia memungkasi.
Penegasan ini senada dengan KPK yang melalui Plt Juru Bicara Ali Fikri mengatakan bahwa sejak awal fenomena ini muncul, lembaganya sudah menaruh perhatian sekaligus keprihatinan terhadap beberapa putusan PK Mahkamah Agung yang memperlihatkan kecenderungan menurunkan pemidanaan bagi para koruptor.
"Bagi KPK ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antaraparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," tegas Ali.
Dia mengatakan, sekalipun PK adalah hak dari terpidana sebagaimana yang ditentukan UU, pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim tersebut maupun terhadap MA secara kelembagaan. Apalagi saat ini puluhan permohonan PK tengah diajukan terpidana korupsi ke MA.
"Ini harus dicermati bersama, ada apa sehingga mereka ramai-ramai mengajukan PK," Ali menandasi.
Â
Saksika video pilihan di bawah ini:
Mempertanyakan Kontribusi Komisi Yudisial
Berbeda dengan ICW, pakar hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, apa yang dilakukan MA melalui putusan PK penuh dengan pertimbangan hukum. Kalaupun kemudian ada yang berasumsi bahwa itu preseden buruk, menurutnya tidak serta merta bisa dianggap sebagai kebenaran.
"Saya kira itu perlu dikaji lebih jauh. Karena, mengajukan PK itu adalah hak konstitusional setiap terpidana atau ahli warisnya. Kemudian, ada alasan-alasan demitatif untuk bisa mengajukan atau dikabulkannya PK, pertama ada novum atau kekeliruan serta kekhilafan hakim di bawahnya. Atau ada keputusan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain," jelas Suparji kepada Liputan6.com, Rabu (7/10/2020).
Intinya, lanjut dia, mengajukan PK itu dilndungi oleh norma hukum yang ada, sehingga kalau PK dikabulkan atau putusan hakim sebelumnya direvisi, itu semua berdasarkan pertimbangan hukum.
"Kalau kita pada akhirnya menilai setiap revisi atau setiap perubahan putusan jadi asumsi, misalnya melemahnya pemberantasan korupsi atau jadi preseden buruk di masa yang akan datang, pertanyaanya kalau memang sudah benar putusan di bawahnya ya tidak perlu ada lagi mekanisme PK," tegas Suparji.
"Jadi saya sedikit berbeda pandangan, pertama itu (PK) hak terpidana, kedua dijamin UU, ketiga kalau muncul asumsi (vonis) harus selalu dikuatkan untuk apa? Karena pada faktanya bisa jadi putusan-putusan sebelumnya itu tidak mencerminkan nilai-nilai hukum, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan," imbuh dia.
Karena itu, dia tak mempermasalahkan soal pengajuan PK kepada lembaga tertinggi di bidang yudikatif itu. Di mana salah satu kewenangan MA adalah mengoreksi keputusan lembaga peradilan di bawahnya sesuai mekanisme dalam Pasal 263 KUHAP atau UU MA.
"Misalnya kasus Anas Urbaningrum yang terakhir kan dipotong sampai enam tahun, saya kira itu suatu hal yang wajar mengingat dalam persidangan tidak ada satu pun bukti materiil yang menyatakan misalnya menerima sejumlah uang kemudian dia memberikan petunjuk secara langsung atau tidak langsung untuk orang lain cari duit, nggak ada bukti empiris pada persidangan waktu itu sehingga wajar untuk adanya koreksi," jelas Suparji.
Dia kemudian mempertanyakan, apakah keputusan yang ideal itu mesti menghukum? Sejatinya, menurut dia, hakim tidak untuk menghukum, karena hakim itu untuk mengadili dan memberikan keadilan.
"Jangan sampai, ketika di hadapan hakim seolah itu mesti dihukum, harusnya adalah keadilan yang harus termanifestasikan. Jadi menurut saya, keputusan-keputusan yang kemudian direvisi harus jadi perhatian bagi hakim di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi atau kasasi agar hati-hati di masa yang akan datang dalam mengambil putusan supaya tak dikoreksi di tingkat PK," jelas Suparji.
Sementara itu, lanjut dia, bagi aparat penegak hukum lain seperti KPK atau Kejaksaan Agung, tetap tersedia ruang untuk juga mengajukan PK. Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk koreksi terhadap putusan hakim yang dinilai belum mencerminkan keadilan. Di sisi lain, dia melihat Komisi Yudisial (KY) belum bekerja maksimal mengawasi para hakim.
"Saya kira harus dilakukan perbaikan terhadap KY, karena kontribusinya tak terlalu tampak secara signifikan, karena memang tidak masuk dalam ruang pro-justisia. Apa yang dilakukan kan mengawasi harkat, martabat hakim, supaya kemudian lebih bermoral, itu arahannya seperti itu," jelas Suparji.
"Tapi kemudian kan apa yang dilakukan KY tetap dikembalikan pada MA untuk menindaklanjuti apa yang disebut rekomendasi sanksi dari KY. Itu dilaksanakan atau tidak kan sangat bergantung dari MA. Jadi, pada konfigurasi fungsi seperti itu dapat dimaklumi bahwa KY ini sebagai sebuah lembaga yang besar, tapi kontribusinya tak tampak, sangat kita sayangkan," dia menandasi.
Â
Advertisement
Terpidana Penerima Korting
Berikut nama-nama terpidana kasus korupsi yang hukumannya dikurangi atau dipotong majelis hakim di Mahkamah Agung:
01. Mantan Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud merupakan terpidana kasus suap pengerjaan proyek infrastruktur. Ia divonis enam tahun penjara. Setelah mengajukan PK, dikurangi pidananya menjadi 4,6 tahun.
02. Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangang adalah narapidana kasus suap proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang. Choel dihukum 3,6 tahun penjara kemudian di tingkat PK dipangkas menjadi tiga tahun.
03. Mantan Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun ialah terpidana kasus suap yang melibatkan mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Ia kini hanya menjalani vonis tiga tahun dari sebelumnya 3 tahun 9 bulan penjara.
04. Billy Sindoro merupakan Direktur Operasional Lippo yang menjadi terpidana suap perizinan proyek Meikarta. Ia divonis 3,5 tahun kemudian dikurangi menjadi dua tahun.
05. Hadi Setiawan adalah pengusaha yang membantu pengusaha Tamin Sukardi dalam menyuap hakim ad hoc PN Tipikor Medan. Ia dihukum empat tahun namun dikurangi menjadi tiga tahun.
06. Mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi adalah terpidana kasus suap izin Amdal di kawasan industri Cilegon. Ia dijatuhi pidana enam tahun penjara tapi dipangkas menjadi empat tahun.
07. Pengacara OC Kaligis ialah narapidana suap kepada majelis hakim dan panitera PTUN Medan. Ia dijatuhi pidana 10 tahun tapi kini menjadi tujuh tahun penjara.
08. Mantan Ketua DPD, Irman Gusman, merupakan terpidana kasus korupsi impor gula. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ia dihukum 4,5 tahun. Setelah mengajukan PK, hukumannya dikurangi menjadi tiga tahun.
09. Panitera PN Medan, Helpandi, terlibat dalam penyuapan hakim ad hoc PN Tipikor Medan. Majelis hakim PK sepakat mengurangi hukumannya dari tujuh tahun menjadi enam tahun.
10. Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, merupakan terpidana kasus suap pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta. Ia divonis 10 tahun di tingkat kasasi tapi dikurangi menjadi tujuh tahun di tingkat PK.
11. Tarmizi adalah panitera pengganti PN Jakarta Selatan. Ia menjadi terpidana kasus korupsi penanganan perkara perdata. Ia divonis empat tahun namun dipangkas oleh hakim PK menjadi tiga tahun.
12. Patrialis Akbar adalah mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang terbelit kasus suap impor daging sapi. Ia diputus bersalah dan dihukum delapan tahun penjara dan dipotong menjadi tujuh tahun.
13. Mantan Direktur Utama PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi terjerat kasus suap penanganan perkara di PN Medan. Ia diputus enam tahun penjara tapi kemudian dipangkas menjadi lima tahun.
14. Mantan Bupati Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip, adalah terpidana suap revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo. Semula putusannya 4,6 tahun tapi dikurangi menjadi dua tahun.
15. Mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina, Suroso Atmomartoyo. Pidana uang pengganti dihapus, tapi pidana penjara tetap.
16. Mantan Panitera Pengganti PN Bengkulu, Badaruddin Bachsin, terjerat kasus suap penanganan perkara di PN Kepahiang. Di tahap kasasi, ia divonis delapan tahun. Pada tahap PK, menjadi lima tahun.
17. Mantan Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, merupakan terpidana kasus suap pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari. Ia divonis 5,5 tahun namun dipangkas menjadi empat tahun.
18. Mantan Cagub Sulawesi Tenggara, Asrun, adalah ayah dari Adriatma Dwi Putra yang sama-sama terlibat kasus suap pengadaan barang dan jasa di Pemkot Kendari. Pidana penjaranya dikurangi menjadi empat tahun di tahap PK. Sebelumnya dihukum 5,5 tahun.
19. Mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara, Rohadi, adalah narapidana kasus penerimaan suap dan gratifikasi. Semula ia divonis tujuh tahun penjara tapi kemudian dipangkas menjadi lima tahun.
20. Mantan anggota Komisi V DPR, Musa Zainuddin, ialah narapidana suap infrastruktur yang divonis sembilan tahun penjara tapi dipotong menjadi enam tahun.
21. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, merupakan terpidana kasus suap Hambalang yang dihukum selama 14 tahun dalam persidangan kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar. Tapi pada akhir September lalu, hakim MA memangkas pidana Anas menjadi delapan tahun penjara.
22. Mahkamah Agung memotong hukuman dua terpidana kasus korupsi KTP elektronik, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman menjadi 12 tahun, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto menjadi 10 tahun.