Sukses

Ketua Banggar DPR: Stop Penyebaran Hoaks untuk Provokasi Buruh

Said mengklaim semangat dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR akan memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap para pekerja.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyesalkan banyak kesalahan informasi di masyarakat setelah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan menjadi UU. Dia menduga, pembelokan informasi ini untuk memprovokasi kalangan buruh.

"Stop penyebaran hoaks untuk memprovokasi kalangan buruh. Ini sangat mengganggu produktivitas kita dalam bekerja untuk memulihkan ekonomi sebagai akibat dampak dari pandemi Covid-19," ujar Said di Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Said mengklaim semangat dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR akan memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap para pekerja.

Menurut Said, penyesatan informasi ini sangat berbahaya bahkan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Karena itu, dia meminta semua elemen menahan diri agar tidak menjadi corong penyebaran hoaks soal UU Cipta Kerja ini.

Said memastikan UU Ciptaker memberikan perlindungan yang komprehensif bagi tenaga kerja. Bahkan, untuk pekerja kontrak pun diberikan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia menyebut, ini merupakan bentuk perlindungan kepada para tenaga kerja.

"Saya pastikan, UU Cipta Kerja membuat para tenaga kerja akan banyak terbantu," ujar dia.

Politikus PDIP ini kemudian menyampaikan 10 poin guna meluruskan informasi mengenai UU Cipta Kerja ini.

Pertama, menurut dia, tidak benar bahwa tidak ada status karyawan tetap, dan perusahaan bisa melakukan PHK kapanpun. Ketentuan dalam Pasal 151 Bab IV UU Ciptaker memberikan mandat yang jelas bahwa pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja mengupayakan tidak terjadi PHK.

Bila akan melakukan PHK ketentuannya diatur dengan tahap yang jelas, harus melalui pemberitahuan ke pekerja, perlu ada perundingan bipartid, dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial.

“Jadi tidak serta merta langsung bisa PHK,” kata dia.

Pasal 153 Bab IV UU Ciptaker juga mengatur pelarangan PHK dikarenakan beberapa hal, misalnya berhalangan kerja karena sakit berturut turut selama 1 tahun, menjalankan ibadah karena diperintahkan agamanya, menikah, hamil, keguguran kandungan, menyusui, memiliki pertalian darah dengan pekerja lainnya di satu perusahaan, menjadi anggota serikat pekerja, mengadukan pengusaha kepada polisi karena yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan, berbeda agama, jenis kelamin, suku, aliran politik, kondisi fisik, keadaaan cacat karena sakit atau akibat kecelakaan.

Pasal 154 Bab IV UU Ciptaker mengatur PHK hanya boleh karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan tutup karena kerugian, perusahaan tutup karena force majeur, penundaan kewajiban pembayaran utang, perusahaan pailit, perusahaan merugikan pekerja, pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja ditahan oleh pihak berwajib, pekerja sakit berkepanjangan lebih dari 1 tahun.

Kedua, tidak benar karyawan alih daya atau outsourching bisa diganti dengan kontrak seumur hidup.

"Tidak ada pengaturan seperti ini di dalam UU Ciptaker," kata dia.

Pasal 66 UU Ciptaker menjelaskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja atau buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Bahkan UU Ciptaker mengatur perjanjian kerja tersebut harus memberikan perlindungan kesejahteraan pekerja serta kemungkinan perselisihan yang timbul harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

"Ketiga, tidak benar bahwa hak cuti karyawan dihilangkan," kata dia.

Pasal 79 UU Cipta Kerjamengatur pengusaha wajib memberikan cuti. Cuti yang dimaksud antara lain cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja atau buruh yang bersangkutan bekerja selama dua belas bulan secara terus menerus.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Jam Istirahat hingga Pesangon

Keempat, tidak benar bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Pada Pasal 82 UU Ciptaker memberikan jaminan sosial tenaga kerja bahkan ditambahkan. Jaminan sosial meliputi kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian, dan kehilangan pekerjaan.

"Kelima, tidak benar bahwa libur hari raya hanya di tanggal merah. Tidak ada pengaturan seperti ini di dalam UU Ciptaker. Keenam, tidak benar istirahat salat Jumat hanya 1 jam," kata dia.

Pasal 79 UU Ciptaker mengatur pengusaha wajib memberikan istirahat. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, dan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

Ketujuh, Tidak benar uang pesangon dihilangkan. Ketentuan pesangon tertuang didalam pasal 156 bab IV UU Ciptaker.

"Ketentuan ini mengatur pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, dan dijelaskan dengan rinci pada pasal ini," kata Said.

Kedelapan, tidak benar upah buruh dihitung perjam, tidak ada ketentuan seperti ini di dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Pasal 88 UU Ciptaker mengatur mekanisme pengupahan. Upah meliputi upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, dan hal hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.

Kesembilan, tidak ada penghapusan UMP, UMK dan UMSP. Pengaturan tentang hal ini diatur dalam pasal 88 C bab IV UU Ciptaker. Pasal ini mengatur Gubernur menetapkam UMP, dan menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Pertimbangan penetapan upahnya berdasarkan kondisi ekonomi (ekonomi daerah, inflasi), dan ketenagakerjaan.

"Kesepuluh, tidak benar bahwa pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon," kata Said.

Ketentuan ini diatur dalam pasal 61 UU Ciptaker. Dalam pasal itu mengatur dalam hal pekerja atau buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja atau buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Semoga penjelasan ini memberikan informasi yang jelas, dengan dasar hukum yang jelas pula, sehingga menjernihkan kesimpangsiuran informasi,” kata Said memungkasi.