Liputan6.com, Jakarta - Usai melakukan study tour di Bali, ratusan siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan Yayasan Pembina Generasi Muda (Yapemda) balik kanan menuju kota asalnya, Sleman, Yogyakarta. Suasana riang gembira menyelimuti acara tersebut. Mereka menumpang tiga busa AO Transport yang melaju beriringian tak lama usai azan Isya berkumandang, Rabu malam, 8 Oktober 2003 lalu.
Dalam perjalanan, kecelakaan tragis menimpa salah satu rombongan bus yang mengangkut 54 siswa. Bus tersebut terbakar hebat hingga menghanguskan hampir semua penumpangnya.
Baca Juga
Tragedi itu bermula saat bus melewati sebuah tanjakan di tikungan Jalan Raya Surabaya-Banyuwangi, kawasan Banyu Blugur, Situbondo, Jawa Timur. Sebuah truk kontainer tiba-tiba memotong jalur dan langsung menabrak bagian depan bus. Sejurus kemudian, truk tronton juga menghantam bagian belakang bus nahas tersebut. Bus itu pun terjepit oleh kedua truk.
Advertisement
Tak berselang lama usai ditabrak, api tiba-tiba berkobar di bagian depan bus. Kobaran itu dipicu oleh tangki bahan bakar truk bernomor polisi L 8493 F yang pecah dan terperciki api sekering listrik bus. Kobaran api kian membesar, para siswa pun panik berlarian ke arah belakang sambil berteriak meminta tolong.
Namun nahas, pintu belakang tak bisa terbuka lantaran tertabrak truk tronton dari arah belakang. Selain itu, tak ada alat pemecah kaca yang tersedia di dalam bus. Walhasil, para siswa itu tewas mengenaskan, mereka terpanggang di dalam bus tak jauh dari Pintu PLTU Paiton.
Sejak saat itu, kejadian tersebut dinamakan Tragedi Paiton.
Saat itu, Kapolda Jatim Irjen Heru Susanto sempat memastikan jumlah korban meninggal. "Jumlah korban yang meninggal sudah pasti 54 orang, terdiri dari 51 siswa dan siswi, dua guru dan satu pemandu wisata. Korban luka hanya satu, Budi yang merupakan kernet bus," kata Heru.
Budi Santoso yang merupakan kernet bus selamat lantaran bisa memecah kaca pintu depan. Budi selamat dengan luka bakar di sekujur tubuhnya. Sementara sang sopir, Arwan juga selamat setelah melompat dari bus.
Begitu pula sopir truk trailer, Kozin dan kernetnya, Imam Syafii. Keduanya pun dijadikan tersangka peristiwa memilukan tersebut. Mereka terancam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Kepada polisi, Kozin mengaku tertidur saat kejadian. Sedangkan truk dikemudikan Imam. Karena itu, Kozin mengaku tak tahu menahu asal kejadian itu.
Imam awalnya mengamini keterangan Kozin. Bahkan, dia mengaku baru pertama kali mengemudikan truk di jalan. Namun belakangan Imam membantah keterangannya sendiri.
Polisi juga menetapkan Arwan, sang sopir bus nahas itu sebagai tersangka karena dinilai tidak maksimal menolong penumpang.
Selain faktor kesalahan manusia, daerah Banyu Blugur memang dikenal sebagai kawasan rawan kecelakaan. Jalan di kawasan ini berbelok-belok dan naik turun. Sedangkan penerangan lampu di kawasan ini minim. Sementara kiri kanannya berupa bukit dan tanaman liar.
Saksikan video menarik berikut ini:
Firasat Buruk Keluarga Korban
Berita tewasnya puluhan siswa, dua guru dan satu pemandu ini sangat mengejutkan keluarga korban. Tak terkecuali keluarga Sapto Pamungkas, salah seorang korban. Sulikah, ibunda Sapto, tak pernah membayangkan anak tercintanya pergi untuk selamanya.
Sebelum berangkat ke Bali, Sulikah menuturkan, Sapto sempat berpamitan. Dia sudah berfirasat buruk. Kerena itu perempuan ini sempat melarang anaknya pergi. Tapi Sapto tetap ngotot ikut study tour tersebut. "Dia (Sapto) bilang, ibu tak usah khawatir, Kamis aku sudah kembali kok," kenang Sulikah.
Sulikah mulai resah saat Sapto tak bisa dihubungi lewat telepon selularnya pada malam kejadian, sekitar pukul 08.00 WIB. Keresahan berakhir ketika Sulikah menyaksikan berita kecelakaan lalu-lintas di televisi. Nama anaknya tertera di urutan ke-31 dalam daftar korban tewas.
Nasib serupa dialami Sariyem. Ia tak menyangka bakal kehilangan anaknya, Riyani, secepat ini. Bahkan dia sempat tak sadarkan diri ketika mendengar kabar duka tersebut. Sarijo, suami Sariyem bahkan tak mampu berkata-kata. Hanya diam.
Untungnya Riyanti, saudara kembar Riyani, selamat dalam musibah itu karena berada dalam bus yang berbeda. Menurut Riyanti, sejak berangkat mereka selalu satu bus. Namun, entah kenapa saat pulang, Riyani memohon Riyanti naik bus lain.
Kehilangan juga dirasakan teman-teman korban, baik yang ikut maupun tidak dalam kegiatan tahunan itu. Mereka sedih, tak percaya musibah menimpa rekan-rekan mereka dari kelas dua jurusan akuntansi dan penjualan. Murid kelas itu kini tinggal sembilan orang.
Palupi dan Venda, siswa yang naik bus pertama, sama sekali tak membayangkan seluruh penumpang bus dua kembali ke Sleman tanpa nyawa. Keduanya baru mengetahui rekan-rekannya tewas setelah tiba di Sleman.
"Pas datang, kok banyak reporter. Aku enggak sadar kalau ada kecelakaan," kata Palupi.
Lain kata Endang. Siswa yang juga selamat ini menuturkan, sebenarnya bus ketigalah yang bermasalah. Sering apes. Kaca bus yang pecahlah. Tersangkut kabel listriklah. "Pokoknya ada saja", kata Endang. Bahkan, setelah menyeberangi Selat Bali, kaca bus pecah untuk kedua kalinya.
Duka juga menggelayuti Sri Hayati, istri Zubaidi--guru pendamping yang menjadi korban. Pada malam kejadian, Sri baru saja hendak tidur saat sorang kerabatnya datang dan memberitahu adanya kecelakaan dari tayangan sebuah televisi swasta.
Sri kemudian menyuruh anak keduanya Abid mencari tahu lebih jauh kecelakaan yang terjadi di Situbondo. Kecemasan Sri pun berubah tangis saat Abid membawa berita bahwa Zubaidi termasuk dalam daftar korban tewas.
Banyaknya jumlah korban meninggal memaksa pihak RSUD Situbondo untuk mengawetkan jenazah menggunakan balok es. Jenazah juga hanya ditempatkan di lorong, karena ruang mayat tidak terlalu besar.
Kebanyakan jenazah mengalami luka bakar serius. Ada bagian tubuhnya yang hilang dan beberapa sulit dikenali.
Advertisement
Iringan-iringan 54 Ambulans ke Sleman
Iring-iringan ambulans yang membawa 54 jenazah dari Rumah Sakit Umum Daerah Situbondo Jawa Timur ke Yogyakarta, tiba di Sekolah Menengah Kejuruan Yapemda 1 Brebah Sleman Yogyakarta pukul 04.50 WIB.
Setiap mobil jenazah, ditempeli nomor dan foto ukuran 10 R milik para korban, termasuk 14 korban yang belum diidentifikasi.
Sekretaris Wilayah Daerah (Sekda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saat itu, Bambang S Priyohadi yang mengawal iring-iringan jenazah sejak dari Situbondo, menyerahkan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang ikut menunggu sejak dini hari.
Hadir dalam acara serah terima jenazah itu, Menteri Kesejahteraan Sosial Bachtiar Chamzah. Saat acara serah terima jenazah di lapangan sekitar SMK Yapemda, Sri Sultan membacakan surat bela sungkawa yang dikirim Presiden Megawati, melalui faksimili.
Setelah acara serah terima secara simbolik, warga melakukan salat jenazah. Usai itu, keluarga korban berhamburan menuju mobil ambulans. Suasana amat menyedihkan. Lapangan tersebut dipenuhi hujan air mata. Banyak dari keluarga korban yang meratap dengan mengelus-elus foto keluarga mereka yang wafat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang jatuh pingsan.
Setelah itu, semua jenazah dikirim ke rumah ahli waris masing-masing. Jenazah itu kembali disalatkan serta doa sebelum dimakamkan. Dari 54 korban, semua jenazah diambil oleh keluarganya masing-masing dan tidak ada dimakamkan secara massal.