Sukses

Cerita Mata Elang, Debt Collector Penarik Sepeda Motor di Tengah Pandemi

Sampai dirasa cocok, para mata elang mengejar sepeda motor itu lalu menghentikan sang pengendara.

Liputan6.com, Jakarta - Di pojok warung pinggir jalan raya, sekelompok pemuda duduk sambil memegang ponsel. Melihat angka kemudian mengarahkan mata pada sepeda motor yang lewat.

Berulang-ulang kali hal tersebut dilakukan. Sampai dirasa cocok, mereka mengejar sepeda motor itu lalu menghentikan sang pengendara.

Mata elang alias matel adalah julukan bagi profesi mereka. Keahliannya melihat angka pelat nomor kendaraan dikenal cukup tajam.

Banyak orang mengibaratkan kemampuan penglihatan mereka bak burung elang karena mampu memantau dari kejauhan lalu menyergap mangsa incaran.

Stefen (bukan nama sebenarnya), sudah dua tahun belakangan ini menjalani profesi matel atau mata elang.

Stefen dari kampung di sebuah wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), kemudian bergabung dengan sebuah perusahaan yang mengelola kelompoknya. Niat awal pemuda ini hanya untuk bertahan hidup.

Bukan tanpa alasan Stefen berada di Ibu Kota. Pemuda 21 tahun itu merupakan seorang mahasiswa fakultas hukum. Mimpinya menjadi advokat hebat demi mengubah hidupnya.

Langkah ini dia tiru dari banyak seniornya yang sempat menjalani profesi serupa sebagai mata elang mencari mangsa sepeda motor sebelum akhirnya menjadi seorang pengacara.

Pendapatan menjadi matel sebenarnya cukup besar. Untuk satu sepeda motor yang berhasil diamankan mereka dapat komisi Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta.

Bagi Stefen, penghasilan ini sangat bisa membantu kehidupannya dan meringankan beban orangtua, terutama demi menggapai cita-cita sebagai pengacara.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Dampak Corona Covid-19

Hadirnya pandemi Corona Covid-19 di Indonesia tentu berdampak bagi kehidupan. Tak terkecuali Stefen. Hingga kini Stefen dan kawan seprofesinya sepi pemasukan.

Mereka belum mendapat perintah untuk menangkap para nasabah yang telat bayar angsuran. Meskipun, masih ada saja yang tetap beroperasi.

"Selama ini kalau ada yang di jalan-jalan mereka sembunyi-sembunyi. Sudah banyak (Matel) yang cari kerja lain," ungkap Stefen kepada merdeka.com.

Munculnya imbauan Presiden Joko Widodo agar perusahaan leasing tidak menagih angsuran, membuat penarikan sementara ditiadakan.

Presiden Joko Widodo juga menyebut ada keringanan pembayaran cicilan selama 1 tahun. Dalam situasi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi kredit usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) dengan nilai kredit di bawah Rp 10 miliar.

Melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021, langkah ini sekaligus memberikan stimulus keuangan untuk industri perbankan.

Kemudian, stimulus lain yakni bank dapat melakukan restrukturisasi kredit kepada debitur. Termasuk UMKM yang menyebabkan tunggakan pembayaran angsuran, dengan peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi tanpa batasan plafon kredit.

Belakangan ini Stefen hanya menyambi kerja bantu beberapa kawannya, tetapi kegiatannya lebih banyak di kontrakan saja. Ia hanya mengikuti kuliah secara online atau bersantai dengan para kawan-kawan dari kampungnya.

Bantuan orangtua di kampung memang masih didapat. Tidak seberapa besar memang. Semua tetap disyukuri dan harus bisa bertahan hingga pandemi ini usai.

"Untuk sementara ini saya tidak kerja. Tidak punya pemasukan tambahan," kata Stefen.

 

3 dari 3 halaman

Masih Baru Tapi Tak Minim Pengalaman

Pengalaman Stefen sebagai matel memang masih tergolong junior. Meski masih muda, bukan berarti minim cerita.

Beragam kerasnya dunia jalanan sudah dirasakan. Profesi yang erat dengan kekerasan ini membuatnya sempat hampir dikeroyok massa.

Pernah suatu hari Stefen harus berada di situasi terkepung. Ketika itu dia berhasil mengamankan motor salah seorang kreditur yang menunggak di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Semua proses dilalui dengan cara baik-baik.

Kejadian buruk menimpa justru ketika di jalan pulang. Segerombol warga ternyata telah menunggunya. Stefen tidak bisa kabur ke mana-mana. Kebetulan jalur dilewati saat itu satu arah.

Situasi berat pun dijalani. Kala itu dia seorang diri. Beberapa rekan matel lainnya sudah terlebih dulu pergi.

Tak habis akal, pemuda asli NTT itu atur strategi. Diawali dengan mengajak diskusi seseorang paling dominan dalam gerombolan tersebut. Menjelaskan tujuan dan alasan kenapa motor warga di sana harus ditarik leasing.

Waktu terus bergulir. Silang pendapat masih terjadi di antara Stefen dan warga. Di sini pengalaman betul-betul dipakai.

"Pokoknya suara saya harus lebih besar dari dia. Ngomong, apa saja, enggak jelas," ucap Stefen.

Beruntung dua orang tentara lewat di tengah kerumunan. Kehadiran dua orang tentara itu membuat kerumunan warga seketika bubar. Nasib Stefen terselamatkan. Pas ketika dia sudah kehabisan kata berdebat dengan warga.

"Kalau tentara tidak muncul, saya habis hari itu. Tidak selamat," cerita Stefen.

Bekerja sebagai matel tidak bisa seorang diri. Selama menjalani profesi ini, dia banyak mendapat bantuan dari para seniornya. Secara tidak langsung bahkan dilatih agar lebih kuat dan berani.

Risiko kerjaan yang dilakoni memang berat. Dari berurusan dengan polisi hingga luka pukulan pun pernah didapat. Tapi itu bukan perkara susah.

Bagi Stefen tugas mendapatkan motor dari kreditur yang menunggak tetap tujuan utama. Semua karena kehidupan para matel tergantung di sana.

Stefen yakin profesinya ini benar. Tidak sembarangan seorang matel bisa mengambil motor sitaan. Berbagai prosedur harus dilalui sehingga terhindar dari delik tindakan pidana.

Dirinya justru senang jika seorang penunggak malah menyelesaikan lewat jalur kepolisian. Di situ para matel justru merasa menang. Bukan karena bekingan, melainkan kerjaan dijalani benar.

"Kami berani karena kami benar," kata Stefen mengungkapkan.

 

Reporter : Wilfridus Setu Embu

Sumber : Merdeka