Sukses

Special Content: Pendidikan Indonesia Kala Pandemi, Persoalan yang Lebih Besar daripada Sekadar Kuota Internet

Kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah berlangsung selama nyaris tujuh bulan. Sejumlah kendala dan hambatan masih terjadi dalam prosesnya.

Jakarta - Kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah berlangsung selama nyaris tujuh bulan. Sejumlah kendala dan hambatan masih terjadi dalam prosesnya. Guru-guru dan para siswa di Indonesia terpaksa mengalami perubahan drastis dalam proses belajar-mengajar. Namun, keberlangsungan pendidikan harus tetap dijalankan meski pandemi Covid-19 belum mereda.

Teknologi menjadi solusi di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, mendorong pembelajaran daring (dalam jaringan) selama belum bisa pembelajaran tatap muka di sekolah.

Masalahnya, di lapangan sangat banyak ditemui problem dalam proses pembelajaran daring. PJJ berlangsung dengan banyak hambatan dan tantangan. Masalah bukan hanya soal bagaimana kegiatan belajar mengajar bisa efektif secara daring, tapi penyesuaian terhadap kondisi siswa di rumah.

Saat pembelajaran tatap muka di sekolah, siswa disetarakan kendati memiliki latar belakang sosial yang berbeda. Sekarang, kesenjangan menjadi terbuka, karena ternyata daya dukung siswa untuk mengikuti PJJ berbeda satu sama lain.

Tidak semua siswa memiliki akses ke teknologi digital untuk mengikuti pembelajaran daring. Sebagai contoh; masih ada siswa yang tidak memiliki ponsel pintar. Belum lagi masalah keterbatasan kuota internet yang sanggup dibeli orangtua siswa. Memang ada bantuan subsidi kuota internet, namun pembagiannya masih belum merata.

Selain itu, terdapat kendala susah sinyal saat pembelajaran daring di beberapa wilayah. Bahkan, dalam beberapa laporan, ada siswa yang tinggal di daerah belum masuk listrik. Dengan keadaan yang seperti itu, para guru pun dituntut berinovasi agar aktivitas pembelajaran berjalan efektif dan memudahkan siswa memahami pelajaran.

(Liputan6.com/Fery Pradolo)

Koordinator Perhimpunan Untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menilai banyak kendala bagi siswa dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) selama pandemi Covid-19.

"Ada hampir 68 juta peserta didik belajar dari rumah, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai perguruan tinggi. Siswa yang berada di akses internet bagus dan ditambah memiliki gawai atau laptop, ini relatif lebih terlayani ketimbang siswa yang tinggal di daerah yang susah internet, bahkan tidak ada jaringan, dan tidak punya gawai," kata Satriwan kepada Liputan6.com.

Untuk siswa daring, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membantu dengan pemberian kuota internet. Meski demikian, masih banyak yang belum tersalurkan.

"Menurut catatan terbaru kami, setidaknya masih ada yang melapor dari 14 provinsi, termasuk Jakarta, yang guru dan siswa belum mendapatkan kuota internet. Tapi, ini tidak semua sekolah dari 14 provinsi itu, tapi ada laporan dari beberapa sekolah di provinsi tersebut, seperti di Aceh dan Sumatera Utara."

Sementara untuk sistem luring, pemerintah sudah coba memberikan pelayanan pembelajaran melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Namun, masalahnya masih tetap banyak. Satriwan khawatir bakal terjadi kesenjangan kualitas pendidikan antara siswa daring dan luring selama pandemi. Ia pun menyarankan agar pemerintah memberikan bantuan kepada guru dan siswa yang mengajar di daerah luring.

"Kenapa mereka luring? Karena jaringan tidak ada. Lalu laptop tidak ada dan geografis tidak memungkinkan. Guru mau home visit ke rumah siswa, tapi jarak jauh, akses susah, transportasi tidak mendukung, geografinya sulit, sehingga pembelajaran tidak optimal."

"Butuh sinergi antar lembaga pemerintahan untuk memberikan bantuan kepada peserta luring mulai dari Pemda, Kementrian Pendidikan, Kementrian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait jaringan, Kementrian BUMN terkait operator seluler, dan Kemendes PDTT yang bisa memberikan surat agar menjadikan kantor desa sebagai sentra pembelajaran bagi siswa yang rumahnya tidak bisa internet, tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan. Ini penting agar disparitas kualitas anak yang daring dan luring tidak semakin melebar."

Fenomena ini jelas perlu menjadi perhatian, sehingga butuh dilakukan perbaikan sistem dari Kemendikbud. Sebab, bila tidak, akan terdapat banyak siswa yang tertinggal atau dirugikan dalam kegiatan PJJ. Padahal, seluruh siswa berhak memperoleh pendidikan yang adil dan merata.

Tantangan lain PJJ adalah menjaga interaksi guru dengan siswa. Guru bisa lebih mudah melakukan interaksi kepada siswa yang kesulitan ketika pembelajaran tatap muka. Tapi, tentu saja sebaiknya jangan hanya membebani guru dalam PJJ selama pandemi ini.

Saksikan Video Berikut Ini

2 dari 5 halaman

Kisah Miris Guru di Pedalaman

Ahmad Sutrayadi, seorang guru di SMTK Mamuju di Desa Leling, Kecamatan Tommo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat setiap hari terpaksa menyampaikan materi pelajaran dari puncak Gunung Leling.

Minimnya akses jaringan internet di pedalaman membuat para siswa dan guru di Mamuju, Sulawesi Barat terpaksa harus berburu jaringan ke puncak gunung agar bisa mengakses internet. Sayangnya, meski dengan susah payah berjalan kaki hingga satu jam lebih ke puncak gunung, jaringan kerap lelet dan pelajaran tak bisa disampaikan melalui zoom ke seluruh siswanya.

Sutrayadi menceritakan bagaimana dia harus berjalan kaki lebih dari satu jam dari rumahnya menuju puncak gunung di kawasan kebun sawit demi menyampaikan mata pelajaran kepada semua siswanya. Dia pernah sampai kebasahan diguyur hujan deras lantaran menunggu sinyal membaik agar bisa mengirim materi pelajaran ke murid-muridnya.

Sebagai guru, Sutrayadi merasa sangat kesulitan untuk mengajar, lantaran akses jaringan internet yang tak bisa diprediksi. Upaya berburu jaringan hingga ke puncak gunung di kawasan perkebunan kelapa sawit, untuk mendapatkan jaringan 4G juga kerap tak menolong, lantaran tergantung cuaca.

 

Proses belajar mengajar secara daring harusnya dilakukan rutin sebagaimana layaknya sekolah tatap muka, namun tak bisa berjalan efektif karena masalah sinyal. Sutrayadi menilai kesuksesan belajar menggunakan jaringan internet hanya sekitar 30 persen, yang seharusnya minimal 70 persen untuk meningkatkan kualitas anak didik.

Menurut dia, penyajian materi mampu pemberian tugas pelajaran tidak bisa tepat waktu, karena jaringan di wilayah mereka juga tidak stabil. Dia mengaku sangat prihatin dengan kondisi dan masa depan pendidikan anak-anak saat ini.

Sebanyak 60 siswa yang menjadi tanggungjawabnya setiap hari, sebagian di antaranya juga merasakan hal yang sama. Mereka harus mencari jaringan internet terdekat dari rumah mereka supaya dapat mengakses mata pelajaran yang disampaikan para guru melalui aplikasi zoom.

Para guru memang dituntut mengunakan teknologi di masa pandemi untuk melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan aplikasi seperti zoom dan google meet. Tapi, teknologi canggih di tangan guru juga kerap tidak bisa dimanfaatkan lantaran koneksi internet yang tidak memadai di banyak desa.

 

Sementara itu menurut Satriwan Salim, guru-guru saat ini banyak yang mulai aktif dalam mengikuti pelatihan mengajar melalui webinar. Hal itu sebagai upaya meningkatkan kemampuan menyesuaikan proses pengajaran lewat digital.

"Dalam penelitian kami, guru-guru selama pandemi sangat sering ikut pelatihan bagaimana mengelola pembelajaran selama pandemi, metode apa saja yang efektif yang bisa dipakai guru. Jadi, ada upaya bagus dari guru-guru untuk mengupgrade dirinya," ia menambahkan.

3 dari 5 halaman

Pencerahan Kepada Orangtua

Dalam PJJ, guru tidak lagi menjadi pusat pembelajaran siswa, namun sebagai tumpuan yang menjaga kelangsungan proses belajar-mengajar. Orangtua diminta mengambil peran dalam membimbing anak-anaknya di rumah selama PJJ masih berlangsung.

Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki kondisi yang ideal bagi siswa untuk belajar di rumah. Tidak semua orangtua dapat mendampingi, karena mesti bekerja atau memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Kejadian ibu membunuh anaknya di Tangerang, Banten harus menjadi perhatian khusus bagi Kemendikbud. Tindakan itu bermula dari perasaan kesal sang ibu karena anaknya yang duduk di kelas 1 SD sulit diajarkan ketika belajar daring di rumah.

"Ada tugas Kemendikbud dan Dinas Pendidikan memberikan pencerahan dan pendampingan kepada orang tua. Orang tua harus diberikan edukasi juga. Kemendikbud bisa memberikan Webinar, tapi kuncinya Dinas Pendidikan dan sekolah. Tidak semua orang tua itu paham mengenai Tri Sentra Pendidikan," kata Satriwan.

"Dinas Pendidikan harus bisa memberikan pencerahan kepada orangtua agar tidak stres. Karena orang tua pasti stres, apalagi di perkotaan. Mereka juga harus kerja, tapi juga memberikan mendampingi anak, jadi dilematis."

Sekali lagi, peran guru dibutuhkan dalam kondisi ini. Guru-guru perlu rutin berkomunikasi dengan orangtua siswa demi mengetahui progres sang anak dalam proses belajar dan kendala apa yang dialami. Orangtua juga butuh memperoleh masukan dari guru supaya kegiatan belajar di rumah lebih efektif.

Oleh karena itu, diadakan kunjungan guru ke rumah siswa demi mengatahui kendala siswa dan orangtua selama PJJ. Walaupun waktunya amat terbatas, kunjungan tersebut setidaknya sedikit bisa menjaga interaksi guru dan siswa serta memelihara kesadaran bahwa mereka masih bersekolah.

(Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ramdania El Hida, seorang ibu yang membantu kegiatan PJJ di rumah mengakui butuh perhatian khusus dalam mengajari dua anaknya, yang masih duduk di kelas 2 SD, dan PAUD. Dia juga harus membagi waktu dengan pekerjaannya sebagai jurnalis di media online.

Beruntung kantor tempatnya bekerja memberlakukan work from home sejak Maret lalu, sehingga dia juga bisa menemani anak-anaknya di rumah selama PJJ. Kendati demikian, bukan berarti semua tanpa kendala bagi wanita yang akrab disapa Nia ini.

"Tidak jarang mereka kehilangan fokus dan mood saat belajar. Apalagi ketika merekam video-video tugas mereka. Jika sudah sampai 3 kali take, pasti mood mereka sudah drop. Untuk mengembalikan mood itu, tentu dibutuhkan waktu. Padahal, kerjaan saya pun juga sudah menanti," kata Nia kepada Liputan6.com

"Selain itu, orangtua juga dituntut untuk serbabisa. Hari ini saya bisa jadi guru matematika, besok jadi guru olahraga, guru tari, dan guru vokal. Seumur-umur saya tidak tahu gerakan dasar tari dan harus memberikan contoh kepada anak agar dia mau mengerjakan tugas praktik Seni Budaya dan Prakarya (SBdP)."

Dia juga berharap pemerintah melalui Kemendikbud lebih peka terhadap kebutuhan siswa ketika belajar di rumah. Nia mempertanyakan kebijakan Kemendikbud mengeluarkan aplikasi-aplikasi belajar daring, sedangkan masih banyak siswa yang tidak punya gawai dan di rumahnya tidak mendapat sinyal.

Dalam buku berjudul "Guruku Momster", Nia dan teman-temannya menceritakan pengalaman dalam mengajari anak-anak di rumah saat PJJ di masa pandemi. Dia berharap itu bisa membantu para orangtua dalam membimbing putra-putrinya belajar di rumah.

4 dari 5 halaman

Jawaban Nadiem dan Sikap Kemendikbud

Mendikbud Nadiem Makarim sendiri, menyebut pihaknya sudah mendengar beberapa isu terbesar. Yang pertama, beban tugas menjadi besar sekali karena tidak ada lagi bimbingan yang lebih interaktif. Lalu yang kedua, biaya kuota dan data meledak. Dan yang ketiga, orangtua terbebani dengan kebutuhan untuk harus membimbing dan mencari nafkah secara bersamaan.

Nadiem juga mengakui masih ada banyak tantangan dan kendala lainnya, seperti masalah gawai, kuota internet, dan juga masalah krisis ekonomi yang dihadapi sederet sekolah swasta. Untuk itu, Kemendikbud mengurangi satu per satu permasalahan dan mencari solusi terbaik untuk setiap isu.

"Kita bagi-bagi untuk mencari solusinya. Kebanyakan beban tugas, kita langsung meluncurkan kurikulum darurat. Kurikulum diringkas sehingga hanya berfokus pada yang esensial. Hal itu bertujuan bertujuan untuk mempermudah proses belajar mengajar di tengah pandemi," terang Nadiem dalam sesi IG Live Fimela Talks: Menjawab Tantangan Belajar Daring di Masa Pandemi, Kamis (15/10/20).

"Kurikulum diringkas sehingga hanya berfokus pada yang esensial. Untuk masalah kuota meningkat cost-nya, kita keluarkan Rp 7,2 triliun untuk distribusi kuota terbesar di sepanjang sejarah Indonesia oleh pemerintah. Kita juga keluarkan Rp 2,7 triliun untuk tunjangan profesi guru. (Sementara) dana BOS kami bebaskan untuk bantu dukung guru honorer, membeli gawai, persiapan membuka sekolah, atau tatap muka untuk zona kuning dan hijau," katanya.

Nadiem mengungkapkan, Kemendikbud juga telah menyiapkan solusi untuk masalah belajar di rumah bagi siswa SD dan PAUD yang membutuhkan perhatian dan bimbingan ekstra di rumah. Agar orangtua dapat membantu anak-anak, Kemendikbud mengeluarkan modul pembelajaran yang terfokus untuk orangtua.

Sehingga, guru bisa membina orangtua melalui modul tersebut secara offline untuk mendampingi anak-anak. Masalah kuota dan juga akses internet yang tidak bisa didapat semua masyarakat Indonesia hingga ke pelosok juga dijawab dengan hadirnya TVRI dan Channel Rumah Hari Belajar untuk membantu proses pembelajaran tetap berjalan dengan baik, termasuk dengan diberlakukannya relaksasi di zona kuning dan hijau.

"Untuk anak-anak yang sulit menjalani PJJ, salah satu yang kita lakukan adalah relaksasi di zona kuning dan hijau. Daerah terluar kita mayoritas berada di zona kuning dan hijau. Karena itu, kami membiarkan mereka untuk duluan melakukan tatap muka sehingga mereka tidak tertinggal terlalu jauh. Juga menggunakan TV dan modul-modul yang bisa dilakukan orangtua tanpa internet. Ini solusi bagi mereka yang tidak memiliki akses internet," papar Nadiem.

Terkait sejumlah kendala yang terjadi dalam proses PJJ, Kemendikbud mengakui bahwa hal itu tidak terhindarkan. Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mulyatsyah, mengatakan, itu terjadi karena kita berada dalam kondisi darurat, seperti pandemi sekarang.

Menurut dia, yang penting sekarang adalah bagaimana anak-anak-anak memperoleh pembelajaran. Mulyatsyah menegaskan, dalam proses PJJ, sebenarnya mekanismenya tidak harus dengan daring semua, karena bisa digabung dengan program lain.

"Pada zona-zona yang memungkinkan daring, diatur oleh sekolah. Kemudian zona-zona tertentu sesuai tempat tinggal anak-anak yang mungkin dari sisi infrastruktur internetnya bermasalah, bisa diatur pertemuan-pertemuan terbatas dengan guru, mungkin bukan di sekolah, katakanlah di lingkungan kampung itu ada 15 anak, mungkin bisa diatur pertemuan di sana dengan guru-guru. Nah itu yang sudah kita imbau kepada teman-teman di daerah," ungkap Mulyatsyah kepada Liputan6.com.

"Makanya ada relaksasi tentang kurikulum dalam kondisi khusus. Itu sesungguhnya teman-teman di daerah itu sudah paham semua. Nah, tentu fluktuasinya tetap ada keragaman, karena tidak semua daerah bisa sama ya. Itu sangat tergantung. Kita tetap minta kepada jajaran dinas untuk melakukan bagaimana pola yang lebih efektif. Jadi, semuanya kita kembalikan kepada daerah. Karena esensinya kan sekolah ada pada mereka. Guru juga adalah bagian dari mereka. Kita hanya mungkin memberikan semacam rambu-rambu," jelasnya.

Selain itu, Mulyatsyah menilai, keluhan dari para siswa dari sisi psikis dan sosial adalah hal normal. Dia meminta para guru untuk memberi pengertian kepada anak-anak mengapa kita belum bisa belajar dengan bertatap muka di sekolah.

"Keluhan biasalah dari sisi psikis, sosial, mereka ingin ketemu dan kangen dengan teman-temannya. Ingin ketemu dengan gurunya. Karena dengan pola PJJ tentu pertemuan-pertemuan fisik atau tatap muka tidak terjadi. Tetapi tentu kita harus jelaskan kepada mereka, kalau kita adakan pertemuan tatap muka, maka prinsip keselamatan, kesehatan, keamanan, itu tentu berisiko. Jadi pengertian itu harus diberikan. Inilah teman-teman guru, kepala sekolah, harus menjelaskan itu."

Belum Ada Perkembangan Signifikan

 (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Center of Education Regulations and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji, selama tujuh bulan Indonesia menjalani proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), belum ada perkembangan yang signifikan.

"Kenapa tidak ada perkembangan signifikan? Karena sampai hari ini masih belum juga dilakukan inventaris masalah. Bahkan, untuk pemerintah, mereka langsung memberikan solusinya. Itu dengan memberikan subsidi kuota internet," jelas Indra Charismiadji kepada Liputan6.com.

"Padahal permasalahan dari proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini bukan hanya masalah kuota. Ada masalah gawai, ada masalah sinyal, ada masalah bahan ajar, ada masalah kemampuan guru mengajar, kemampuan orangtua mendampingi anak belajar di rumah, cara siswa belajar sendiri. Jadi banyak permasalahan yang belum dibenahi dan didiskusikan oleh pemerintah."

Indra menerangkan, ada tiga hal yang perlu dipikirkan Kemendikbud dalam perbaikan dan pembenahan PJJ selama masa pandemi. Dia menyebut framework tiga I yakni Pertama adalah infrastruktur, kedua adalah infostruktur, dan ketiga adalah infokultur.

"Infrastruktur itu adalah gawainya, sinyalnya, wifi-nya, dan listriknya. Jadi lebih ke peralatan dan akses internetnya. Kalau infostruktur bagaimana informasinya terstruktur. Learning management system-nya, aplikasi perkantoran berbasis cloud-nya, penyimpanan datanya, bahan ajar yang basisnya multimedia."

"Sementara infokultur adalah kulturnya. Dalam pembelajaran digital ini mengenal pembelajaran sinkronus dan ansinkronus. Mengenal konsep anytime, anywhere, anydevice. Artinya, kalau dalam dunia media broadcasting dikenal dengan on demand, bisa dilakukan kapan saja. Tidak harus sinkronus. Tidak harus tatap muka. Ini hal-hal penting yang belum diperbaiki oleh Indonesia. Saya menyarankan bisa segera dilakukan dengan cara evaluasi dulu, kemudian membuat perencanaannya."

Indra menekankan, baik dalam situasi pandemi atau tidak, Indonesia tetap harus mendidik dan menyiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul, sebab ini era digital dengan industri 4.0. Dia berpendapat, Indonesia masih ketinggalan dalam pendidikan berbasis digital, namun ini masih dapat diperbaiki.

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS