Sukses

Rapor Merah Pemberantasan Korupsi Setahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin

Jokowi-Ma'ruf Amin dinilai menganaktirikan isu pemberantasan tindak pidana korupsi di setahun pemerintahannya, meski juga menorehkan sejumlah prestasi. Mereka pun dapat rapor merah. Begini uraiannya...

Liputan6.com, Jakarta - Tepat setahun lalu, Minggu, 20 Oktober 2019, Joko Widodo atau Jokowi-Ma'ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Usai pelantikan, Jokowi menyampaikan pidato perdananya sebagai orang nomor satu di Indonesia untuk kedua kalinya. Beberapa hal disinggung Presiden kedelapan RI itu dalam pidatonya mulai dari isu ekonomi, birokrasi, hingga SDM.

Namun, pidato tersebut mendapat sindirian dari beberapa pihak, lantaran tak menyinggung isu pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa pihak tersebut berpandangan isu pemberantasan korupsi sudah tak lagi menjadi fokus Jokowi dalam 5 tahun kepemimpinannya.

Meski demikian, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang saat itu memiliki pandangan tersendiri meski Jokowi tak menyinggung pekerjaan lembaganya.

"Lebih baik tidak disebut tapi dilaksanakan, dari pada disebut-sebut tapi tidak dilaksanakan. Jangan skeptical dulu atas pidato itu," ujar Saut, saat dikonfirmasi, Senin 21 Oktober 2019.

Saut mengatakan, pidato Jokowi secara garis besar menyinggung pemberantasan korupsi. Menurut dia, dalam pidato Jokowi menyinggung mimpi NKRI tahun 2045. Tanpa isu pemberantasan korupsi, mimpi itu tak mungkin terwujud.

Menurut Saut, dengan teori apapun, mimpi Jokowi tersebut tak akan terlaksana jika korupsi masih merajalela. Saut mengatakan, mimpi 2045 sudah pasti di dalamnya ada harapan pemberantasan korupsi.

"Jadi saya anggap Jokowi bicara mimpi 2045 itu di dalamnya negara minim korup," kata Saut.

Joko Widodo atau Jokowi memberikan pidato perdana usai dilantik menjadi Presiden RI periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Jokowi dan Ma'ruf Amin resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024. (Liputan6.com/JohanTallo)

Anak Tiri

Salah satu pihak yang menyebut isu korupsi bukan fokus pemerintahan Jokowi-Maruf Amin adalah Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Menurut Donal, jika isu pemberantasan korupsi menjadi prioritas, sejatinya tetap disinggung dalam pidato seperti pembangunan isfratruktur dan SDM.

"Pemberantasan korupsi dan reformasi lembaga penegak hukum akan masih menjadi anak tiri dalam pemerintahan mendatang. Padahal isu ini menjadi titik terlemah kinerja pemerintah selama satu periode sebelumnya," kata Donal Fariz, Minggu 20 Oktober 2019, tak berselang lama setelah pidato Jokowi.

ICW menyatakan demikian bukan tanpa alasan. ICW khawatir isu pemberantasan korupsi benar-benar dilupakan oleh pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Bagaimana tidak? satu bulan sebelum Jokowi-Maruf Amin dilantik, atau pada awal September 2019, DPR RI diam-diam merencanakan revisi UU KPK meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, termasuk lembaga antirasuah yang akan menjalankan UU tersebut.

Meski mendapat tentangan dari berbagai pihak, DPR tetap mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU pada 17 September 2019. Enam hari sebelumnya atau 11 September 2019, Presiden Jokowi telah menandatangani surat presiden (supres) mengenai revisi UU KPK dan mengirimnya ke DPR.

Usai DPR mengesahkan revisi UU KPK, Jokowi tak tak menandatangani UU tersebut. Namun, perubahan tersebut tetap dituangkan dalam lembaran negara sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Kontroversi Ketua KPK

Masih di bulan yang sama, September 2019, pada tanggal 3, Jokowi menyatakan setuju dengan 10 nama calon pimpinan KPK periode 2019-2023, atau pimpinan KPK jilid V. Dari 10 nama yang diloloskan panitia seleksi capim KPK, ada nama-nama kontroversial.

10 nama capim yang diloloskan Yenti Ganarsih, selaku pansel capim KPK adalah

1. Alexander Marwata, Komisioner KPK.

2. Firli Bahuri, Anggota Polri.

3. I Nyoman Wara, Auditor BPK.

4. Johanis Tanak, Jaksa.

5. Lili Pintauli Siregar, Advokat.

6. Luthfi Jayadi Kurniawan, Dosen.

7. Nawawi Pomolango, Hakim.

8. Nurul Ghufron, Dosen.

9. Roby Arya B, PNS Sekretariat Kabinet.

10. Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan.

Dari 10 nama yang paling disorot adalah Firli Bahuri. Firli sempat menjabat Deputi Penindakan KPK. Saat menjabat deputi penindakan, Firli sempat bertemu dengan pihak yang berperkara di lembaga antirasuah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pengawas internal KPK, Firli diduga melakukan pelanggaran etik berat lantaran bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi. Padahal KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kasus divestasi Newmont yang menyeret nama TGB.

Seiring berjalannya waktu, Firli terpilih menjadi ketua KPK bersama dengan Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron.

Pada perjalanan karirnya sebagai Ketua KPK, Firli kembali tersandung kasus dugaan pelanggaran kode etik. Pada 24 September 2020, Firli dikenai sanksi etik ringan berupa surat teguran dua, akibat menumpangi helikopter dalam perjalanan dari Palembang menuju Baturaja.

Dewas KPK menilai Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik terkait gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

3 dari 4 halaman

Corengan dan Torehan Prestasi

Sementara, pada 5 November 2019 atau belum genap satu bulan Jokowi memimpin Indonesia untuk yang kedua kali ini, marwah pemberantasan korupsi langsung tercoreng dengan divonis bebasnya mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.

Tak lama berselang, 26 November 2019, Jokowi memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi. Adalah mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang mendapatkan potongan hukuman dari kepala negara. Jokowi memberikan grasi terhadap Annas dengan alasan kemanusiaan.

Pada awal 2020, pemberantasan korupsi di era Jokowi kembali tercoreng saat KPK tak berhasil menangkap Harun Masiku, politikus partai yang tengah berkuasa, yakni PDIP. KPK sempat mengklaim penyidiknya kehilangan Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Tak berhasil menangkap Harun, penyidik KPK juga tak berhasil masuk ke Gedung DPP PDIP. Alih-alih bisa menyegel salah satu ruangan, para penyidik malah kembali dengan tangan kosong. 

Banner Infografis Harun Masiku Buronan KPK. (Liputan6.com/Triyasni)

Meski demikian, catatan pemberantasan tindak pidana korupsi di era Jokowi tak melulu buruk. Buktinya, Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil mengungkap skandal korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kurang lebih Rp 17 triliun negara merugi atas skandal ini.

Empat terdakwa Jiwasraya divonis hukuman penjara seumur hidup. Mereka adalah mantan direksi PT Asuransi Jiwasraya divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya, Hary Prasetyo, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.

Suasana sidang perdana kasus korupsi pengelolaan dan penggunaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/6/2020). Sidang yang menghadirkan enam terdakwa tersebut menerapkan protokol social distancing. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sementara dua terdakwa lainnya, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman pidana penjara seumur hidup.

Terhadap Heru, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 10.728.783.375.000,00. Sementara Benny Tjokro juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 6.078.500.000.000,00.

Seiring berjalannya waktu, Kejagung juga menjerat Direktur Utama PT Himalaya Energi Perkasa atau PT HD Capital Piter Rasiman.

Tak jauh berbeda dengan Kejagung, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga unjuk gigi soal pemberantasan tindak pidana korupsi. Tak tanggung-tanggung dua jenderal polisi dijerat oleh institusi Bhayangkara itu.

Bareskrim Polri menyerahkan tersangka dan barang bukti kasus hilangnya red notice Djoko Tjandra ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, Jumat (16/10/2020). Mereka adalah Irjen Napoleon Bonaparte, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Tommy Sumardi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dua jenderal tersebut yakni mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo. Mereka dijerat sebagai tersangka dalam kasus surat jalan palsu terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra.

Bersama mereka, Polri juga menjerat Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, dan seorang swasta bernama Tommy Sumardi. Sementara Pinangki Sira Malasari dijerat dalam kasus yang sama oleh Kejaksaan Agung.

 

4 dari 4 halaman

Rapor Merah

Meski Kejagung dan Polri mengungkap kasus dugaan korupsi dengan kerugian negara yang besar dengan nama besar, namun hal tersebut tak membuat Direktur/Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari yakin Jokowi pro pemberantasan korupsi.

"Saya pikir itu tidak dapat menjadi indikator penilaian membaca seluruh kebijakan pro pemberantasan korupsi. Apalagi cuma perkara tertentu," ujar Feri kepada Liputan6.com, Minggu (18/10/2020).

Menurutnya banyak problematika di era pemerintahan Jokowi ditahun keenam ini malah membuat pemberantasan korupsi kehilangan tenaga. Salah satu faktor menurut dia lantaran Jokowi membuat KPK ompong lantaran revisi UU KPK.

"Selain berperan mematikan KPK, Jokowi juga tidak menunjukan langkah real dalam pemberantasan korupsi," kata dia.

Jika diberikan nilai rapor, menurut Feri, dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-Maruf Amin ini patut diberikan rapor merah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Tinggal kelas. (Rapor) merah," kata dia.

"Hidupkan KPK lagi dan jangan budayakan korupsi melalui UU yang buruk," kata Feri menambahkan.

Namun penilaian Feri bersebelahan dengan Guru Besar Bidang Hukum Universitas Krisnadwipayana yang juga mantan Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji. Menurut Indriyanto, selama setahun kepemimpinan Jokowi di periode kedua ini, Jokowi-Maruf Amin justru mendapat rapor hitam.

"Kalau nilai sampai 100, paling-paling nilainya 70 mas, warna sudah memasuki arah warna zona aman. Walau belum aman," kata Indriyanto kepada Liputan6.com, Minggu (18/10/2020).

Menurut Indriyanto, di era Jokowi-Maruf Amin ini, pemerintah lebih mengedepankan pencegahan dibanding penindakan. Indriyanto berpandagan, minimnya penindakan oleh aparat penegak hukum di era Jokowi-Maruf Amin ini bukan sebuah kemunduran pemberantasan korupsi.

"Kualitas pemberantasan korupsi dalam periode satu tahun ini masih dalam batas linear kewajaran saja, mengingat dukungan negara lebih besar terhadap permasalahan korupsi berbasis pendekatan, pencegahan yang tetap diperkuat secara ekualitas dengan pendekatan penindakan," kata Indriyanto.