Sukses

Djoko Tjandra dan Ironi Aparat Penegak Hukum di Tahun Pertama Jokowi-Ma'ruf

Penangkapan Djoko Tjandra telah membuka keterlibatan aparat penegak hukum di level tertinggi dari institusinya masing-masing.

Liputan6.com, Jakarta - Tim Khusus Polri pada 30 Juli 2020 malam menciduk Djoko Tjandra di Malaysia setelah puluhan tahun kabur dan menyandang status buronan kelas kakap. Pemulangan DPO kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut merupakan instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Kapolri Jenderal Idham Azis.

Penangkapan ini telah membuka keterlibatan aparat penegak hukum di level tertinggi dari institusinya masing-masing. Petinggi di Kejaksaan Agung serta sejumlah perwira tinggi kepolisian kemudian jadi tersangka dalam kasus ini.

Diawali saat buronan kasus korupsi tersebut mendadak buat heboh. Meski dicari negara, Djoko Tjandra tampaknya bebas melenggang keluar-masuk Indonesia. Bahkan dia mengurus administrasi dan surat menyurat dengan mudah di Tanah Air berkat bantuan beberapa pihak, mulai dari kelurahan, kejaksaan, sampai dengan jenderal polisi.

Salah satunya, Djoko Tjandra mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atau PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui pihaknya kecolongan informasi soal keberadaan Djoko Tjandra. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi III DPR RI.

"Saya belum mendapatkan informasi apakah hari ini datang di sidang atau tidak. Tapi yang saya herankan adalah, kami memang ada kelemahan, pada tanggal 8 Juni 2020, Djoko Tjandra informasinya datang di Pengadilan Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK-nya, jujur ini kelemahan intelijen kami," kata Burhanuddin, Senin (29/6/2020).

Namun, dia merasa heran, kenapa Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, terlebih lagi dia tidak kena pencekalan.

"Tetapi pemikiran kami adalah bahwa dia ini sudah terpidana. Pencekalan untuk tersangka ada batas waktunya demi kepastian hukum. Tapi kalau ini sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus menerus dan berlaku sampai ketangkap. Ini akan menjadi persoalan kami nanti dengan Imigrasi," ungkap Burhanuddin.

Sementara Menkumham Yasonna Laoly menyatakan, nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam red notice atau buruan Interpol sejak tahun 2014.

Yasonna berandai apabila buronan itu masuk ke Indonesia belum lama ini, maka ia tidak bisa dihalangi karena tidak ada dalam red notice.

"Beliau menurut Interpol sejak 2014 kan tidak lagi masuk dalam DPO. Jadi kalau seandainya pun, seandainya ini berandai-andai, jangan kau kutip nanti seolah-olah benar, seandainya dia masuk dengan benar, dia nggak bisa kami halangi," kata Yasonna di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020).

Dari runut kejadian ini, spekulasi pun bermunculan. Hingga penyidik Polri pun terus bekerja menelusuri dugaan adanya keterlibatan oknum kepolisian dan kejaksaan dalam membantu urusan Djoko Tjandra terlepas dari jerat hukum.

Lurah Grogol Selatan Asep Subhan pun kena incar panggilan penyidik lantaran menerbitkan KTP elektronik kilat Djoko Tjandra yang ternyata dipergunakan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Asep membenarkan hal tersebut. Namun, dia membantah telah memberikan perlakukan istimewa kepada buronan itu dalam mengurus KTP elektronik di wilayahnya.

"Tidak ada yang diistimewakan, kalau data sudah lengkap, jaringan terkoneksi baik dan blanko tersedia, KTP dapat dicetak dalam hitungan jam," kata Asep di Jakarta, Senin (6/7/2020).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakarta Selatan Abdul Haris.

Menurut Abdul Haris, KTP elektronik dapat langsung dicetak seketika jika status kependudukan seseorang dalam sistem kependudukan dan pencatatan sipil sudah siap untuk dicetak (print ready record/PRR).

"Jadi datanya (Djoko) ada dan belum pernah rekam KTP-e. Jadi kenapa bisa satu hari selesai, karena sudah mengurus uji ketunggalan dan itu sudah print ready record (PRR)," kata Haris.

Haris juga memastikan saat Djoko Tjandra melakukan perekaman KTP elektronik hanya diterima oleh petugas PJLP yang tidak mengenal statusnya sebagai buronan Kejaksaan Agung sehingga dilayani seperti warga biasa pada umumnya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 5 halaman

Surat Jalan dan Bebas Covid-19 Palsu

Penyidik juga menelusuri bagaimana Djoko Tjandra bisa keluyuran di Tanah Air dengan mudah. Usut punya usut, nyatanya ada peran jenderal polisi di baliknya.

Buronan kelas kakap itu menerima surat jalan palsu demi masuk ke Indonesia dalam keperluan pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali ke Mahkamah Agung (MA). Dia bekerja sama dengan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan seorang pengacara bernama Anita Kolopaking.

Dalam prosesnya, Brigjen Prasetijo mengesampingkan nama Kabareskrim Komjen Listyo Sigit yang sejatinya mesti menggunakan tanda tangannya. Atas perintah Brigjen Prasetijo, nama Komjen Listyo dicoret.

Di persidangan, JPU membeberkan bahwa awalnya Brigjen Prasetijo memerintahkan Dody Jaya selaku Kaur TU Ro Korwas PPNS Bareskrim Polri untuk membuat surat jalan Djoko Tjandra ke Pontianak, Kalimantan Barat dengan keperluan bisnis tambang.

"Namun di dalam surat jalan tersebut saksi Brigjen Prasetijo Utomo memerintahkan saksi Dody Jaya agar mencantumkan keperluan tersebut diganti menjadi monitoring pandemi di Pontianak dan wilayah sekitarnya," ujar jaksa dalam dakwaannya, Selasa (13/10/2020).

Setelah surat jalan dibuat dan diterima oleh Brigjen Prasetijo, dia pun menyuruh Dody Jaya untuk merevisi surat jalan tersebut. Awalnya surat itu menggunakan kop surat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal menjadi Badan Reserse Kriminal Polri Biro Korwas PPNS.

Perubahan surat jalan itu tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2017 tentang Naskah Dinas dan Data Persuratan Dinas di Lingkungan Polri. Namun, Brigjen Prasetijo disebut jaksa tetap memerintahkan anak buahnya untuk merevisi surat jalan itu.

"Brigjen Prasetijo Utomo perintahkan dengan mengatakan, 'sudah buat saja karena Biro Korwas itu saya yang memimpin'," kata jaksa.

Selain mengurus surat jalan, Brigjen Prasetijo juga turut membantu mengurus surat keterangan pemeriksaan Covid-19 untuk masuk ke Indonesia. Djoko Tjandra, saat itu berada di Malaysia.

Rencananya, Djoko Tjandra akan masuk ke Indonesia melalui Bandara Supadio, Pontianak, kemudian menuju Jakarta menggunakan pesawat sewaan. Meski sudah mengantongi surat jalan, dibutuhkan surat lain karena dalam masa pandemi Covid-19.

"Bahwa guna melengkapi surat jalan tersebut dan dengan adanya pandemi Covid-19, diperlukan Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19. Maka saksi Brigjen Prasetijo Utomo memerintahkan saksi Sri Rejeki Ivana Yuliawati melalui saksi Etty Wachyuni untuk membuat Surat Keterangan Pemeriksaan Covid-19 yang ditandatangani dr Hambek Tanuhita," kata jaksa.

Surat keterangan itu, ungkap Jaksa, dibuat untuk empat orang, di antaranya untuk Brigjen Prasetijo, Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, dan seorang polisi bernama Jhony Andrijanto. Surat-surat tersebut rencananya digunakan untuk menjemput Djoko Tjandra di Bandara Supadio.

Kemudian, Anita, Prasetijo dan Jhony bertemu di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta untuk menjemput ke Pontianak. Tetapi ternyata diperlukan surat rekomendasi kesehatan juga, sehingga Brigjen Prasetijo kembali memerintahkan anak buahnya membuatkan surat yang diperlukan.

Jaksa mengatakan Djoko Tjandra dan ketiganya tidak pernah menjalani pemeriksaan kesehatan apa pun.

"Bahwa surat keterangan pemeriksaan Covid-19 dan juga surat rekomendasi kesehatan baik atas nama saksi Anita Dewi A Kolopaking ataupun atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra yang ditandatangani oleh dr Hambek Tanuhita juga merupakan surat keterangan yang tidak benar karena substansi surat tersebut bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya," kata jaksa.

Dalam kasus yang telah mulai disidang ini, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menetapkan tiga tersangka yakni Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Anita Kolopaking.

"Djoko Tjandra dikenakan Pasal 263 ayat 1 dan 2, Pasal 426, Pasal 221 KUHP dengan ancaman 5 tahun," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, Jumat 14 Agustus 2020.

Sementara Brigjen Prasetijo dipersangkakan dengan tiga pasal berlapis, yakni Pasal 263 Ayat 1 dan Ayat 2 juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatuan E KUHP, Pasal 426 Ayat 1 KUHP dan atau Pasal 221 Ayat 1 KUHP. Sedangkan, Anita Kolopaking dipersangkakan telah melanggar Pasal 263 Ayat 2 KUHP, dan Pasal 223 KUHP.

 

 

3 dari 5 halaman

Penghapusan Red Notice

Dalam pengembangan kasus, penyidik juga mendapati adanya dugaan keterlibatan oknum lain dalam memuluskan urusan Djoko Tjandra terbebas dari jerat hukum. Hilangnya status red notice Djoko Tjandra di Interpol mencurigakan dan lantas menjadi sorotan penyidik.

Lagi-lagi, Brigjen Prasetijo Utomo diduga terlibat di dalamnya. Polri sendiri kemudian menetapkan empat tersangka kasus dugaan suap pengurusan pencabutan red notice Djoko Tjandra.

Mereka adalah Djoko Tjandra, pengusaha Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo, dan mantan Kadiv Hubinter Bareskrim Polri Irjen Napoleon Bonaparte.

"Kami pastikan memang mereka menerima aliran dana itu," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2020.

Hal itu terungkap saat penyidik Bareskrim memeriksa ketiganya selama hampir 12 jam. Awi tidak bisa menyebutkan jumlah uang yang diberikan Djoko kepada ketiga tersangka untuk mengurus penghapusan red notice. ​

"Nominalnya tentu sudah masuk ke materi penyidikan, saya tidak bisa sampaikan. Nanti akan dibuka semuanya di pengadilan," kata dia.

Menurut dia, saat diperiksa Senin 24 Agustus, Djoko juga mengaku telah menyerahkan sejumlah uang untuk ketiga tersangka.

Awi menambahkan terkait uang yang diterima para tersangka ini akan dikonfrontasi dengan alat bukti lainnya.

"Kalau itu berupa transfer atau cash and carry, tentunya nanti semuanya akan didalami oleh penyidik dan itu akan dibuka semuanya di pengadilan. Kami sudah lakukan pemeriksaan dan mereka telah mengakui menerima uang tersebut," kata Awi.

Kasus ini pun segera disidang. Bareskrim Polri telah menyerahkan empat tersangka dan barang bukti kasus hilangnya red notice Djoko Tjandra ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Dalam kasus ini, Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi diduga sebagai pemberi suap. Keduanya dijerat dengan Pasal 5 ayat 1, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

Sementara Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo diduga sebagai penerima suap. Keduanya dikenakan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

 

4 dari 5 halaman

Pengurusan Fatwa MA

Tidak hanya Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung) pun turut beres-beres. Pasalnya, tersebar di sosial media adanya jaksa yang mengadakan pertemuan dengan Djoko Tjandra di Malaysia. Penyidik pun bergegas melakukan penelusuran.

Nama jaksa Pinangki Sirna Malasari pun muncul. Hingga akhirnya, penyidik menetapkannya bersama Djoko Tjandra dan pengacara Andi Irfan Jaya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi atas penerimaan gratifikasi pegawai negeri terkait pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA).

Jaksa Pinangki sendiri telah berhadapan dengan meja hijau. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwanya dengan dakwaan berlapis yakni menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).

Uang tersebut diperoleh jaksa Pinangki dari suap pengurusan mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk Djoko Tjandra. Hal itu agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Awalnya, jaksa Pinangki bertemu dengan Anita Kolopaking dan Rahmat. JPU menyebut Anita merupakan pengacara, sementara identitas Rahmat tidak disampaikan.

Jaksa Pinangki meminta Rahmat memperkenalkannya dengan Djoko Tjandra yang pada akhirnya bermaksud memberikan bantuan pengurusan hukum dan penanganan fatwa MA. Anita Kolopaking pun ikut andil dengan mengaku memiliki rekanan di MA.

"Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Djoko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut," ujar jaksa.

Pertemuan pun dilakukan di The Exchange 106, Kuala Lumpur Malaysia. Jaksa Pinangki awalnya menawarkan proposan 'action plan' pengurusan fatwa MA dengan biaya USD 100 juta. Namun Djoko Tjandra hanya menyanggupi USD 10 juta.

Uang muka sebesar USD 500 ribu pun diberikan ke jaksa Pinangki melalui almarhum Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik ipar Djoko Tjandra dengan perantara Andi Irfan Jaya.

"Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal Djoko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu sehingga Djoko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan," kata jaksa.

Jaksa Pinangki yang telah menerima uang USD 500 ribu dari Djoko Tjandra melalui Andi Irfan Jaya, sebenarnya diminta memberikan USD 100 ribu kepada Anita Kolopaking. Namun nyatanya hanya diberikan USD 50 ribu saja.

Sehingga terdakwa menguasai USD 450 ribu atau setidak-tidaknya sekitar sejumlah itu supaya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku PNS atau penyelenggara negara yaitu sebagai jaksa," ujar jaksa.

JPU kemudian mendakwa jaksa Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsider Pasal 11 UU Tipikor, juga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang.

Jaksa Pinangki juga didakwa terkait pemufakatan jahat pada Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Tipikor.

 

 

5 dari 5 halaman

Janji Versus Realisasi

Pada paruh kedua pemerintahanannya, Jokowi menawarkan lima program di bidang penegakan hukum, yaitu pertama penegakan sistem hukum bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kedua, melanjutkan reformasi sistem penegakan hukum. Ketiga, meningkatkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Keempat, penghormatan dan pemenuhan HAM, dan kelima, budaya sadar hukum.

Hingga pemerintahannya memasuki tahun kedua di periode ini, terlihat Jokowi masih belum bisa mewujudkan semua itu. Alih-alih memberantas korupsi, kasus Djoko Tjandra membuktikan aparat penegak hukum ternyata tidak steril ketika berhadapan dengan koruptor.

Yang lebih membuat miris, aparat penegak hukum lintas instansi itu bekerja sama untuk menabrak hukum demi memenuhi hasrat duniawi. Sementara, untuk aparat hukum yang terjerat dalam kasus Djoko Tjandra, tak ada lagi alasan pembenar untuk ulah mereka.

Para tersangka dari Kejaksaan dan Polri adalah para petinggi di lembaganya masing-masing, sehingga mereka harusnya sudah khatam dalam menahan godaan dari pelaku kejahatan. Faktanya, mereka lebih pintar menyimpan harta haram ketimbang membongkar harta haram para koruptor.

Jaksa Pinangki, misalnya, pada kurun waktu 2019-2020 berupaya menyembunyikan asal harta kekayaannya lewat penukaran uang sebesar USD 337.600 di money changer atau senilai Rp 4,7 miliar. Dia juga meminta suaminya menukarkan mata uang USD 10 ribu atau senilai Rp 147,1 juta melalui anak buahnya.

Nilai total keseluruhan penukaran mata uang yang dilakukan terdakwa pada periode 27 November 2019 hingga 7 Juli 2020 sebesar USD 337.600, menjadi mata uang rupiah sebesar Rp 4.753.829.000.

Penggunaannya adalah untuk pembelian 1 unit mobil BMW X5 senilai Rp 1,7 miliar, pembayaran sewa Apartemen Trump International di Amerika Serikat pada 3 Desember sebesar Rp 412,7 juta, pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat yang bernama dokter Adam R Kohler sebesar Rp 419,4 juta.

Kemudian pembayaran dokter home care atas nama dr Olivia Santoso untuk perawatan kesehatan dan kecantikan serta rapid test sebesar Rp 176,8 juta; pembayaran kartu kredit di berbagai bank, Rp 467 juta, Rp 185 juta, Rp 483,5 juta, Rp 950 juta; pembayaran sewa apartemen The Pakubuwono Signature dari Februari 2020-Februari 2021 sebesar USD 68.900 atau setara Rp 940,2 juta; dan pembayaran Sewa Apartemen Darmawangsa Essence senilai USD 38.400 atau setara Rp 525,2 juta.

Jumlah keseluruhan uang yang digunakan oleh Pinangki adalah sebesar USD 444.900 atau setara Rp 6.219.380.900 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi.

Dari gambaran kasus ini, masih berat agaknya bagi Pemerintahan Jokowi untuk memenuhi janjinya di bidang penegakan hukum. Namun, masih ada waktu empat tahun lagi untuk menjadikan rapor merah ini menjadi hijau. Kita masih menunggu.