Liputan6.com, Jakarta Rabu 23 September 2020, dengan setelan jas biru, dihiasi dasi merah dan kopiah hitamnya, Presiden Jokowi melepas masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Dia lalu berbicara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk pertama kalinya.
Lakon itu tak diberikan lagi kepada pendampingnya, seperti di periode pertamanya menjadi presiden. Lima tahun sebelumnya, dia memberikan panggung internasional tersebut kepada Jusuf Kalla atau JK.
Jokowi tidak menghadiri secara langsung sidang di markas PBB di New York, Amerika Serikat. Pidato disampaikan secara virtual lantaran pandemi Covid-19.
Advertisement
Bukan hanya itu saja. Video yang disampaikan Jokowi juga tapping, dan menggunakan bahasa Indonesia, berbeda dengan JK atau pun seperti Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hadir secara fisik dan menggunakan bahasa Inggris.
Namun, penggunaan bahasa Inggris tak keliru. Hal ini sesuai dengan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang diteken Jokowi pada 30 September 2019. Yang mengatur seluruh penjabat negara untuk berpidato dengan bahasa Indonesia dalam forum internasional.
JK pun di akhir masa jabatannya, yakni di tahun 2019 pernah menyampaikan, Jokowi harus tampil di panggung Sidang Umum PBB tersebut. Karena bagaimana pun juga mereka berbeda, dan banyak kepala negara menanyakan.
"Karena bagaimana pun, Presiden dan Wapres kan berbeda, dia punya tingkatannya," kata JK di New York, Jumat 27 September 2019.
Absennya Jokowi selama lima tahun di forum Internasional sempat menjadi bahan kampanye Pilpres 2019, yang dilontarkan kubu Prabowo-Sandiaga Uno. Namun, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan bahwa ketidakhadiran Jokowi di Sidang Umum PBB lantaran jadwal yang begitu padat.
Sementara, Jokowi beralasan dia dan JK selalu berbagi tugas dalam menjalankan tugas negara. Salah satunya, dalam hal menghadiri Sidang Umum PBB.
Pengamat Hubungan Internasional Dewi Fortuna Anwar menuturkan, memang sudah waktunya Jokowi untuk tampil di panggung dunia tersebut. Terlebih ini dilakukan secara daring.
"Jadi kalau alasan (sibuk) tidak berlaku lagi, karena sidangnya pakai virtual. Malahan akan menjadi sorotan, kok keterlaluan (jika tidak hadir)," tutur Dewi saat dihubungi Liputan6.com, Minggu 18 Oktober 2020.
Senada seperti JK setahun yang lalu, Dewi pun berpandangan, hadirnya Jokowi dinilai dapat membangun persepsi bahwa Indonesia menganggap penting organisasi PBB dan lebih bermakna ketimbang seorang Wapres yang hadir.
Bahkan, menurut dia, dengan hadirnya Jokowi, ini menghilangkan perspektif publik bahwa Jokowi kurang memberikan perhatian kepada organisasi multilateral. Meskipun dinilainya isi pidato masih normatif.
Tapi, ini jelas membawa dampak signifikan bagi Indonesia, terlebih Jokowi sendiri. "Jadi, baguslah Presiden kemarin bisa berpidato," tutur Dewi.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Covid-19 dan Palestina
Secara faktanya, saat tampil, pidato Jokowi dianggap berhasil. Bahkan, pidatonya tampil di laman utama UN News dalam bahasa Inggris saat itu. Adapun, itu merupakan laman resmi PBB.
"PBB bukanlah sekadar sebuah gedung di kota New York, melainkan sebuah cita-cita dan komitmen bersama seluruh bangsa untuk mencapai perdamaian dunia dan kesejahteraan bagi generasi penerus," kata Jokowi saat itu.
Pidato Jokowi bukan hanya itu saja. Ada masalah utama yang disampaikannya, yakni soal pandemi Covid-19. Atau lebih spesifik menyinggung soal vaksin.
Hal ini sejalan dengan tema sidang saat itu, "The Future We Want, the UN We Need: Reaffirming our Collective Commitment to Multilateralism-Confronting Covid-19 through effective Multilateral Action".
Dia pun mendesak semua negara untuk bekerja sama, agar mendapatkan akses setara terhadap vaksin Covid-19.
"Vaksin akan menjadi game changer dalam perang melawan pandemi. Kita harus kerja sama bahwa semua negara mendapatkan akses setara terhadap vaksin yang aman dan harga terjangkau," jelas Jokowi.
Dia juga melihat, momentum pandemi Covid-19 ini sebagai ajang menghentikan selisih antarnegara. Karena menurut Jokowi, semua pihak harus bersatu padu.
Karenanya, perlu ada solusi setiap negara menghadapi virus tersebut. Karena dengan pandemi ini, bukan hanya kesehatan dunia terancam, tapi masalah ekonomi.
"Kita juga paham virus ini tidak mengenal batas negara. No one is safe until everyone is," tutur Jokowi.
Tak lupa, sebagai negara mayoritas Islam tersebar, Jokowi kembali mengobarkan akan semangat untuk kemerdekaan Palestina.
Membawa semangat seperti yang dilakukan oleh Presiden Sukarno saat Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang menghasilkan Dasa Sila Bandung, bahwa prinsip yang menguntungkan semua pihak, tanpa meninggalkan satu negara pun, akan terus dipegang Indonesia.Â
Karenanya, Jokowi mengingatkan, Palestina negara yang hadir dalam Konferensi Asia Afrika, namun sampai saat ini belum bisa merdeka.
"Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina," tegas Jokowi.
Â
Advertisement
Kurang Esensial
Pengamat Politik UIN Syatif Hidayatullah Adi Prayitno memandang, Jokowi sudah banyak menyampaikan gagasan besarnya dalam Sidang Umum PBB tersebut. Namun, terkesan gagal untuk mengelaborasikan dengan apa yang menjadi konsen Indonesia.
Dia mencontohkan, seharusnya Jokowi bisa memberikan informasi atau menyampaikan, di situasi pandemi Covid-19. Indonesia masih mampu menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah secara serentak.
"Tentu misalnya tentang Pilkada Serentak, harus disampaikan bahwa di tengah hujatan publik, cibiran publik supaya Pilkada ini disetop, Indonesia berani melakukan itu semua," ungkap Adi kepada Liputan6.com.
Dia pun memandang, secara subtansi pidato Jokowi tidak terlalu berpengaruh. Meskipun, mengapresiasi kehadiran Jokowi, setidaknya menunjukkan keterbukaan Indonesia berdialog dengan negara lain.
"Secara substansi, memang belum terlampau kelihatan. Tapi, kehadiran Presiden untuk pertama kalinya di sidang istimewa itu luar biasa," pungkas Adi.