Liputan6.com, Jakarta - Sidang lanjutan Djoko Soegiarto Tjandra kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (20/10/2020). Agenda sidang yakni mendengarkan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan tim kuasa hukum Djoko Tjandra. Nota keberatan diajukan atas dakwaan membuat surat jalan palsu.
Pada eksepsinya, pengacara Djoko Tjandra tak terima kliennya disebut melarikan diri dalam proses hukum korupsi hak tagih Bank Bali. Menurut dia, Djoko Tjandra tidak melarikan diri, melainkan tak mau menyerahkan diri.
"Seperti dinarasikan penuntut umum dalam dakwaannya, terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra melarikan diri, sehingga sejak 17 Juni 2009 ditetapkan sebagai buronan oleh Kejaksaan Agung," ujar penasihat hukum membacakan eksepsi Djoko Tjandra.
Advertisement
"Walaupun kejadiannya terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra tidak melarikan diri, melainkan pada saat putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung itu dijatuhkan, terdakwa Djoko Tjandra sudah berada di luar negeri dan tidak mau kembali di Indonesia untuk menjalani putusan yang bertentangan dengan hukum," pengacara Djoko Tjandra menambahkan.
Menurut dia, Djoko Tjandra enggan menyerahkan diri lantaran beranggapan putusan peninjauan kembali terhadap Djoko Tjandra bertentangan dengan Pasal 263 KUHAP dan menganggap peradilan sesat yang menyebabkan ketidakadilan bagi Djoko Tjhandra.
"Terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra menolak menjalani hukuman pidana penjara 2 tahun yang merupakan hasil dari suatu miscarriage of justice, bukan saja karena dirasakan sebagai ketidakadilan bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga bagi siapa pun," kata dia.
Pengacara beralasan Djoko Tjandra merupakan korban peradilan sesat yang bermula dari pengajuan PK oleh jaksa pada 2009 atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 156/Pid.B/ZOOO/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 yang melepaskan Djoko Soegiarto Tjandra dari segala tuntutan hukum.
Apalagi, lanjut pengacara, putusan lepas PN Jakarta Selatan diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1688K/Pid/2000, tanggal 28 Juni 2001 yang menolak permohonan Kasasi penuntut umum Kejari Jakarta Selatan.
"Dari perspektif koreksi atas miscarriage of justice (peradilan sesa dan demi tegaknya keadilan dalam negara hukum, maka berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04/BUA.6/HS/lll/2014 tanggal 28 Maret 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 12 Mei 2016, seharusnya Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung R.I Nomor: 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 atas Terdakwa Joko Sugiarto Tjandra gugur, dan perkara atas diri terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra saat ini serta perkara terkait lainnya, tidak perlu terjadi," kata dia.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dakwaan
Pada perkara ini, Djoko Soegiarto Tjanda didakwa jaksa penuntut umum membuat surat jalan palsu. Jaksa menyebut perbuatan Djoko Tjandra dilakukan bersama-sama dengan Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo dan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking.
"Telah melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak," ujar jaksa dalam dakwaannya, Selasa (13/10/2020).
Jaksa mengurai perbuatan yang dilakukan Djoko Tjandra. Menurut jaksa, pemalsuan surat jalan ini berawal saat Djoko Tjandra berkenalan dengan Anita di kantor Exchange lantai 106, Kuala Lumpur, Malaysia pada November 2019.
Djoko Tjandra saat itu ingin menggunakan jasa Anita untuk menjadi kuasa hukumnya. Terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali itu berencana meminta bantuan pada Anita untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
"Saat itu saksi Anita Dewi Kolopaking menyetujui, untuk itu dibuatlah surat kuasa khusus tertanggal 19 November 2019," kata jaksa.
Kemudian, pada April 2020, Anita mendaftarkan PK Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun permohonan PK Djoko Tjandra ditolak lantaran Anita tak bisa menghadirkan Djoko Tjandra selaku pemohon.
Djoko Tjandra yang saat itu berada di luar negeri dan tidak ingin diketahui keberadaannya, akhirnya, Djoko Tjandra meminta Anita untuk mengatur kedatangannya ke Jakarta dengan mengenalkan sosok Tommy Sumadi.
Tommy kemudian mengenalkan Anita kepada Brigjen Prasetijo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Anita kemudian membicarakan keinginan kliennya untuk datang ke Jakarta dengan Prasetijo. Prasetijo pun mengurus keperluan kedatangan Djoko Tjandra dengan membuat surat jalan, surat keterangan kesehatan, dan surat-surat lain terkait dengan pemeriksaan virus Covid-19.
Djoko Tjandra direncanakan masuk ke Indonesia lewat Bandara Supadio di Pontianak. Dari sana dia akan menuju ke Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta menggunakan pesawat sewaan.
"Bahwa penggunaan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan yang tidak benar tersebut merugikan Polri secara immateriil mengingat terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra adalah terpidana perkara korupsi dan menjadi buronan Kejaksaan Agung sejak tahun 2009," kata jaksa.
Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP. Dia diancam hukuman lima tahun penjara.
Advertisement