Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri mengatakan jika ingin menjadi kepala daerah di Indonesia harus memiliki banyak uang. Menurut Firli, jika ingin menjadi kepala daerah sekelas wali kota/bupati, minimal calon harus memiliki pegangan uang Rp 65 miliar.
Hal tersebut disampaikan Firli saat webinar dengan seluruh calon kepala daerah dengan tema 'Mewujudkan Pimpinan Daerah Berkualitas Melalui Pilkada Serentak yang Jujur Berintegritas' yang digelar hari ini, Selasa (20/10/2020).
Baca Juga
"Jadi ini wawancara indepth interview, ada yang ngomong Rp 5 sampai Rp 10 miliar. Tetapai ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di Pilkada itu, bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp 65 miliar," ujar Firli.
Advertisement
Nahasnya, sang calon kepala daerah ini hanya memiliki uang Rp 18 miliar. Menurut Firli, uang memang masih menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada.
"Maka tidak jarang kita temukan setelah Pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa, ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang," kata Firli.
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Politik Uang Jadi Beban Kepala Daerah Terpilih
Menurut Firli, politik uang yang sangat besar ini yang menjadi beban bagi para kepala daerah terpilih lantaran harus mengembalikan uang yang selama masa kampanye dia keluarkan. Menurut Filri, hal ini yang masih menjadi pekerjaan rumah, tak hanya bagi KPK, namun bagi semua masyarakat.
"Ini PR kita bersama. Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga, dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga, 2017, 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga, 2018, 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," kata Firli.
Menurut Firli, berdasarkan penelitian, pihak ketiga mau membantu lantaran dijanjikan sesuatu oleh para calon kepala daerah jika nantinya terpilih. Kebanyakan janji yakni dengan memudahkan pihak ketiga mendapatkan proyek dalam pemerintahan di daerah tersebut.
"Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya Pilkada. Kalau itu terjadi sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berakhir pada masalah hukum," kata dia.
Advertisement