Liputan6.com, Jakarta Aksi unjuk rasa yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat dalam menyikapi pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja berujung anarkis. Tak hanya menangkap para perusuh, sejumlah fasilitas umum juga menjadi korban tindak anarkis.
Menyikapi hal itu, Teofilus Mian Parluhutan Direktur Eksekutif Generasi Muda Visioner (GEMUVI) menilai kerusuhan yang terjadi secara masif di sejumlah daerah saat kegiatan demonstrasi berlangsung sebenarnya bisa dicegah dengan deteksi dini dan cegah dini gangguan keamanan.
"Jika deteksi dini dan cegah dini gangguan keamanan bisa dilakukan, beban Polri dalam menjaga keamanan di Indonesia tentunya akan lebih ringan. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa intelijen merupakan garda terdepan bagi Polri yang bertugas menjaga keamanan negara Indonesia," ujar Teo dalam di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
Advertisement
Menurut Teo, kegiatan menyampaikan aspirasi dengan aksi unjuk rasa adalah sah di dalam era demokrasi, namun terjadinya kerusuhan saat aksi menodai substansi dari demonstrasi tersebut.
Maka dari itu Teo meminta Kapolri untuk mengevaluasi kinerja Baintelkam Mabes Polri dalam deteksi dini dan cegah dini gangguan keamanan dalam penanganan Aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja.
"Saya berharap Kapolri bisa mengevaluasi kinerja Kabaintelkam ataupun jajarannnya, baik dari segi kepemimpinan, pelaksanaan teknis, maupun anggaran.
Dia menilai kurang maksimaknya kinerja karena banyaknya anggaran yang dialihkan untuk penanganan Covid-19. “Atau mungkin Kabaintelkam memiliki fokus yang berbeda dengan arahan dari pimpinan tertinggi Polri," katanya.
Menurut Teofilus peran intelijen Polri harus ditingkatkan, pencegahan harus dimaksimalkan daripada penanganan gangguan keamanan.
"Meskipun tampak menjadi bagian yang kurang populer dibanding fungsi lainnya, intelijen untuk pencegahan gangguan keamanan harus ditingkatkan. Jangan sampai ada kesan pembiaran sehingga kemudian terjadi kerusuhan dalam aksi demonstrasi beberapa minggu terakhir ini," tutup Teofilus.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tangkap Akun Provokatif
Sebelumnya, polisi menangkap tiga orang pelajar karena diduga menghasut untuk berbuat onar dan kerusuhan saat aksi demo penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengklaim, kepolisian memiliki bukti bahwa tiga pelajar berinisial MLAI (16), WH (16), serta SN (17) mengajak pengikutnya di sosial media berbuat onar saat demo RUU Cipta Kerja.
"Kami amankan tiga orang yang memang memprovokasi, menghasut dan melakukan ujaran kebencian serta menyebarkan berita bohong terkait masalah demo kemarin. Mereka yang membuat undangan-undangan STM itu loh," kata dia, Selasa, 20 Oktober 2020.Â
Yusri menerangkan, peran masing-masing pelaku. Dua orang di antaranya membuat grup Facebook STM se-Jabodetabek. Yusri menyebut pengikut grup tersebut mencapai 20 ribu orang.
"Kedua orang ini adalah admin daripada grup itu," ujar dia.
Yusri menjelaskan, latar belakang kedua orang ini adalah siswa STM di ibu kota. Mereka ditangkap di dua lokasi berbeda.
"MLAI adalah siswa SMK di Jakarta umurnya 16 tahun tempat penangkapan Klender Jakarta Timur. Kedua inisialnya WH juga murid SMK, juga Anarko umurnya 16 tahun juga. Ditangkap di Cipinang Jakarta Timur," ucap dia.
Sementara itu, satu orang lain yakni SN (17) membuat konten bernada provokatif di akun instagram @panjang.umur.perlawanan. SN juga disebut sebagai admin dari akun tersebut.
"SN ditangkap di Cibinong, Bogor Jawa Barat," ucap dia.
Yusri menuduh mereka semua melakukan provokasi kepada pelajar untuk ikut menyusup pada saat unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 dan 13 Oktober 2020. Bahkan, mereka telah membuat undangan untuk aksi 20 Oktober 2020.
"Pelajar yang datang 8 Oktober dan 13 Oktober diundang lagi untuk melakukan kerusuhan bukan demo, ini dihasut kumpul untuk melakukan kerusuhan," jelas dia.
Advertisement