Sukses

Setengah Abad Berdiri, LBH Terus Berada di Sisi Korban

LBH mengembangkan ideologinya sendiri terkait bantuan hukum, yaitu “bantuan hukum struktural”. LBH menggabungkan usaha memberikan wakil atau kuasa hukum dengan berbagai macam aktivitas nonlitigasi.

Liputan6.com, Jakarta Ketika ribuan demonstran ditangkap saat berunjuk rasa menentang Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja awal bulan ini, tidak sulit diduga organisasi mana yang akan turun untuk membela mereka.

Selama puluhan tahun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menjadi pembela andalan dalam kasus-kasus politik paling kontroversial di Indonesia.

Minggu ini, LBH merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Berawal dari satu kantor di Jakarta, sekarang telah ada 16 kantor LBH tersebar di Indonesia di bawah payung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Selama setengah abad, LBH telah mendampingi orang-orang miskin dan marjinal. LBH telah mendampingi mereka yang terlibat kasus politik tingkat tinggi, telah bersuara lantang menentang penyalahgunaan kuasa oleh negara, dan terus memajukan supremasi hukum, demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia (HAM).

‘Lokomotif demokrasi’

Adnan Buyung Nasution mendirikan LBH untuk memperkenalkan jasa bantuan hukum yang gratis di Indonesia. Namun, pada awalnya, LBH didirikan bukan sekadar untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan.

Bahkan sejak hari-hari awalnya berdiri, LBH melihat gerakan bantuan hukum sebagai kunci utama perjuangan konstitusional dan supremasi hukum yang lebih besar.

Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto, LBH dengan cepat menyadari bahwa menyediakan bantuan hukum secara pro bono atau cuma-cuma bagi kasus individu tidak akan berdampak pada akar masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Upaya LBH menyediakan bantuan hukum konvensional dengan kondisi yang ada saat itu digambarkan sebagai “sangat tidak relevan”, tulis akademisi hukum terkemuka Daniel Lev dalam Legal Aid in Indonesia.

Karena itu, LBH mengembangkan ideologinya sendiri terkait bantuan hukum, yaitu “bantuan hukum struktural”. LBH menggabungkan usaha memberikan wakil atau kuasa hukum dengan berbagai macam aktivitas nonlitigasi.

Pengacara dan staf LBH mengedukasi komunitas-komunitas terkait hak-hak mereka dan membantu membentuk komunitas yang bisa mendampingi diri mereka sendiri. Mereka juga mengadvokasikan kampanye media dan hasil penelitian.

Selama tahun-tahun terakhir masa Orde Baru, LBH berkembang menjadi pusat perlawanan masyarakat sipil terhadap rezim Soeharto, menjadi titik perkumpulan bagi para mahasiswa dan aktivis.

LBH melihat diri sebagai “lokomotif demokrasi” untuk menyebarkan pemikiran tentang HAM dan demokrasi serta pada akhirnya “meletakkan fondasi untuk transformasi demokratis”.

 

2 dari 2 halaman

Menentukan posisi dalam demokrasi

Pada 1998, rezim Orde Baru runtuh. Indonesia memulai transisinya ke dalam demokrasi.

Pencabutan pembatasan masyarakat sipil menyebabkan munculnya beberapa organisasi-organisasi khusus, dengan mandat yang serupa dengan LBH.

LBH, secara tiba-tiba, terpaksa merenungkan kembali identitas organisasi dan perannya di dalam Indonesia yang lebih demokratis.

LBH tidak lagi menjadi suara yang dominan di masyarakat sipil pada waktu itu. Dan beberapa organisasi yang baru sudah lebih nyaman berinteraksi dengan pemerintah.

Selama beberapa waktu, LBH kesulitan menemukan perannya. LBH harus memutuskan, apakah mereka ingin berkolaborasi dengan institusi pemerintah atau mempertahankan pendekatan oposisi seperti sebelumnya.

Selain harus menentukan perannya, YLBHI menghadapi kendala keuangan yang besar karena donor asing yang menyediakan bantuan dana operasi mengalihkan fokus dan lebih menekankan fokus mereka pada program pemerintah.

YLBHI juga mengalami kendala kekurangan tenaga ketika pergantian kepemimpinan yang melemahkan organisasi tersebut.

Keputusan kontroversial Buyung untuk mewakili Jenderal Wiranto pada 2000, saat ia dituduh melakukan pelanggaran HAM di Timor Timor pada 1999, juga semakin memberatkan masalah LBH.

Keputusan itu mengucilkan kolega-kolega Buyung di LBH dan masyarakat sipil yang lebih luas.

Buyung mungkin memiliki motivasi untuk mempromosikan budaya hukum profesional, tapi dia bergerak terlalu cepat dibandingkan kolega-koleganya, yang masih menganggap sistem hukum yang ada masih korup dan tidak adil.

Membela orang-orang marjinal

Walau menghadapi tantangan-tantangan ini, LBH terus mendampingi mereka yang paling tersingkirkan dan berada di samping gerakan-gerakan yang paling tidak disukai di Indonesia.

Ketika lebih dari 140 orang homoseksual ditangkap dalam penggebrekan polisi di sauna di Jakarta pada 2017, LBH adalah anggota utama dari koalisi masyarakat sipil yang turun untuk mendampingi mereka.

Ini dilakukan tak lama setelah puncak serangan terhadap hak-hak LGBT secara nasional, ketika 93% orang Indonesia menganggap masyarakat tidak seharusnya menerima homoseksualitas.

LBH juga terlibat dalam hampir semua kasus penistaan agama penting selama era Reformasi.

Seperti yang LBH telah lakukan selama Soeharto berkuasa, lembaga ini melanjutkan pendampingannya terhadap orang-orang urban miskin yang mengalami penggusuran paksa, petani yang kehilangan lahan mereka karena proyek, hak-hak pekerja, dan hak-hak perempuan serta anak.

Sejak jatuhnya Soeharto, organisasi masyarakat sipil, termasuk LBH, telah berada di garis depan untuk mengupayakan adanya tradisi baru terkait litigasi kepentingan publik di Mahkamah Konstitusi.

 

Pengacara-pengacara LBH berperan kunci utama dalam koalisi yang berhasil menantang kuasa Jaksa Agung untuk melarang buku.

Selama era demokratis, LBH mempertahankan pendekatan oposisi dalam berinteraksi dengan pemerintah - suatu pendekatan yang telah LBH kembangkan dalam masa Soeharto.

Beberapa kali, kelompok masyarakat sipil lain mengkritik LBH karena mempertahankan posisi oposisi. Mereka merasa bahwa LBH tidak menggunakan kesempatannya untuk berperan menguatkan institusi dalam masa baru yang lebih demokratis.

Namun, LBH tidak peduli. Seperti kata Febi Yonesta dari YLBHI kepada saya, “selama anggota masyarakat menjadi korban, kami akan beroposisi terhadap pemerintah.”

Seperti banyak pengacara aktivis di berbagai tempat, di seluruh dunia, LBH adalah pengganggu bagi pemerintah, dan “mereka memang seharusnya menjadi pengganggu”.

Oleh karena ini, LBH sering menerima reaksi negatif yang cukup besar.

Pada 2017 contohnya, polisi menggerebek diskusi akademik LBH terkait kekerasan anti-komunis era 1965-66, setelah mendapat tekanan dari demonstran fundamentalis Islam dan anti-komunis.

Karena sejarah dan jati diri LBH, tindakan polisi itu dipandang sebagai serangan terhadap masyarakat sipil itu sendiri.

Bagi banyak orang dalam kelompok masyarakat sipil, diamnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap serangan-serangan itu adalah bukti tambahan yang menunjukkan sikap apatis Jokowi terhadap HAM dan reformasi hukum.

Sejak peristiwa itu, kemunduran demokrasi semakin memburuk. Pemerintah semakin sering banyak menggunakan dalih penistaan agama dan pencemaran nama baik untuk membungkam mereka yang mengkritik pemerintah.

Pembatasan kebebasan berserikat juga menjadi semakin besar. Hak asasi kelompok minoritas semakin tidak terlindungi.

Namun seiring pemerintah menjadi lebih represif, LBH tampaknya telah menemukan fokus perannya yang baru. LBH memutuskan untuk tetap berpihak kepada korban dan dengan berani memperjuangkan kemajuan demokrasi Indonesia.

Selama masa unjuk rasa #ReformasiDikorupsi pada 2019, kantor LBH menjadi pusat berbagai aktivitas. Bahkan istilah Reformasi Dikorupsi itu sendiri muncul dalam sebuah rapat tengah malam antara aktivis-aktivis masyarakat sipil di kantor LBH.

LBH lagi-lagi memainkan peran utama dalam demonstrasi #MosiTidakPercaya yang muncul sebagai respon terhadap UU Cipta Kerja.

Walau LBH tidak lagi menjadi organisasi pro-demokrasi satu-satunya yang berpengaruh, LBH tampaknya menikmati perannya untuk mengumpulkan dan membangun koalisi seperti yang mereka lakukan semasa Orde Baru.

Bagaimana kita menilai pengaruh LBH setelah setengah abad?

Seperti yang dikatakan almarhum akademisi terkemuka dalam bidang profesi hukum Indonesia, Daniel Lev, soal LBH pada akhir 1980-an: “Dampak LBH dalam masalah-masalah sosial, politik, dan hukum seharusnya tidak dibesar-besarkan, tapi dampak itu tidak bisa dilupakan.”

Di kala orang-orang yang mengkritik pemerintah secara vokal ditangkap berdasarkan tuduhan yang direkayasa, di kala kaum homoseksual ditangkap karena melakukan pesta di ruang pribadi, dan di kala DPR melanggar prosedur-prosedur legislatif untuk meloloskan berbagi UU yang sangat kontroversial dengan partisipasi publik yang minim, maka peran LBH dalam demokrasi Indonesia menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya.

 

Tim Mann, PhD candidate and Associate Director, Centre for Indonesian Law, Islam and Society, University of Melbourne

Artikel ini sudah ditayangkan sebelumnya di The Conversation, 27 Oktober 2020.