Sukses

Pesan Lengkap SBY ke Presiden Prancis soal Karikatur Nabi Muhammad

SBY meminta agar pembuatan karikatur Nabi Muhammad hentikan. Karena melukai umat Islam.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut menyuarakan pendapatnya mengenai karikatur Nabi Muhammad dan pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Dia meminta agar pembuatan karikatur Nabi Muhammad dihentikan karena melukai umat Islam.

"Sekali lagi, hentikanlah. Tindakan itu sangat melukai, menghina, melecehkan dan bahkan menantang umat Islam di seluruh dunia," tegas SBY dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin (2/11/2020).

Dia juga berpesan kepada Presiden Prancis Macron, agar bisa menjadi pemimpin yang lebih arif dan lebih bijaksana.

Berikut pesan lengkap SBY tertanggal 1 November 2020 dengan tajuk "Dunia Tak Pernah Damai Jika Kebebasan Didewakan dan Toleransi Diabaikan: Pesan untuk Presiden Macron."

"Akhir Oktober 2020 ini, datang lagi berita buruk (bad news) dari Perancis. Amat disayangkan, benturan antar peradaban yang membuahkan kekerasan terjadi lagi di Perancis. Cerita lama kembali berulang.

Lagi-lagi, atas nama kebebasan (freedom) seorang warga Perancis dan kemudian dibela negaranya, dianggap telah menyakiti umat Islam. Akibatnya, sebagai bentuk perlawanan dari komunitas muslim, lagi-lagi, ada yang melakukan tindakan yang melampaui kepatutannya. Alhasil, siklus kekerasan ~ balas membalas ~ terjadi lagi. Kalau hal begini terus berlangsung, kapan kita bisa ke luar dari lingkaran pertikaian ini? Kapan pula kedamaian dan harmoni benar-benar hadir dalam kehidupan antar bangsa?

Menyusul kejadian di Perancis tersebut, seperti biasanya dunia kembali dibanjiri oleh pernyataan dari para pemimpin dunia. Pernyataan itu ada yang senada, tetapi ada pula yang amat berbeda.

Secara eksplisit, hampir semuanya mengecam pembunuhan guru sejarah Perancis yang mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada para muridnya itu. Juga, beberapa hari setelah itu, dunia kembali mengecam insiden penusukan yang terjadi di Nice, Perancis, yang mengakibatkan jatuhnya 3 korban jiwa dan sejumlah orang luka-luka. Termasuk pula kecaman terhadap penembakan seorang pendeta Gereja Ortodoks Yunani di Lyon. Diduga, aksi terorisme ini dilatarbelakangi oleh penyebaran karikatur Nabi Muhammad secara demonstratif di negara itu.

Saya amati pula, ternyata tidak ada yang membenarkan kekerasan dan aksi-aksi terorisme itu, apa pun alasannya. Kecaman juga datang dari para pemimpin negara Islam. Bukan hanya dari para pemimpin negara Barat.

Pada titik ini, sebagai seorang yang pernah memimpin negara yang kaum Muslimnya terbesar di dunia, saya merasa lega. Alhamdulillah. Ini sungguh penting. Ini modal yang amat berharga bagi pencarian solusi dan jalan ke luar di masa depan.

Namun, di tengah kelegaan hati saya itu... tetap ada yang mengusik dan mengganggu pikiran saya. Apa yang saya maksud?

Setelah sama-sama mengecam terjadinya aksi kekerasan dan terorisme itu, dunia kembali terbelah.

Di satu sisi, para pemimpin negara-negara Barat segera membangun solidaritas dan dukungan terhadap Perancis. Tema besarnya adalah kebebasan itu dijamin oleh negara. Kebebasan harus diterima oleh siapa pun dan tak boleh diganggu. Kebebasan, atau freedom itu di atas segalanya.

Sementara itu, di sisi lain, para pemimpin dan tokoh di dunia Islam kembali mengecam penghinaan terhadap Islam, atau blasphemy, defamation, melalui pembuatan karikatur Nabi Muhammad tersebut. Kemarahan umat Islam makin besar ketika Presiden Macron mengeluarkan pernyataan yang dinilai mendiskreditkan agama Islam (insulting). Protes-protes sosial segera berlangsung di sejumlah negara. Barang-barang produksi Perancis pun ikut diboikot. Sebagaimana yang diteriakkan di Perancis pada awal tahun 2015 dulu... “We are at war”, kali ini, di Timur Tengah, juga dikumandangkan hal yang kurang lebih sama.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Selanjutnya

Kalau ditelusuri, keyakinan dan pandangan dari kedua belah pihak memang secara fundamental berbeda. Bahkan berlawanan.

Yang satu berpendapat bahwa membuat karikatur Nabi Muhammad itu sebuah ekspresi kebebasan. Hal begitu dibenarkan dan mesti dilindungi. Sedangkan, satunya lagi bersikeras bahwa tindakan itu sangat melecehkan dan menghina Islam. Perbuatan seperti itu tak boleh dibiarkan dan harus dilawan. Harus diberikan penalti. Pandangan yang saling berbenturan inilah yang membuat situasi di banyak belahan dunia kembali bergolak. Kembali memanas.

Saat ini, munculnya clash dan pertikaian seperti itu sesungguhnya tidaklah diharapkan. Ingat, semua bangsa sedang menghadapi pandemi corona dan krisis ekonomi global yang sangat serius. Yang diperlukan bukannya permusuhan dan perpecahan, tetapi justru kemitraan dan kerja sama.

Melihat perkembangan keadaan yang ada, berulangnya tragedi seperti itu sebenarnya dapat dicegah. Karenanya, diam-diam saya berpikir apakah dunia ini memang tidak mampu memetik pelajaran dari masa lalu. Apakah manusia itu benar-benar sulit untuk berubah. Juga sulit untuk berbagi rasa dan bersedia untuk saling mendengar. Bukan hanya sigap berperang kata, bersahut-sahutan.

Mestinya, paling tidak harapan kita, para pemimpin dunia bisa menjadi bagian dari solusi dan bukannya bagian dari masalah. Mencari titik temu adalah solusi, sementara saling salah-menyalahkan itu masalah.

Terhadap ini semua, izinkan saya menyampaikan pandangan saya yang bersifat pribadi. Saya hanya ingin urun rembuk untuk kebaikan bersama, baik untuk masa kini maupun masa depan. Pandangan saya ini sekaligus merupakan pesan kepada Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang saat ini sedang mengemban amanah memimpin bangsa Perancis.

Saya mulai dari isu tentang penggambaran karikatur Nabi Muhammad.

Topik ini saya awali dengan sebuah pertanyaan yang sangat sederhana... apakah membuat karikatur Nabi Muhammad, apalagi yang sifatnya mengolok-olok, itu etis atau tidak etis, benar atau salah, serta boleh atau tidak boleh? Jawaban dari pertanyaan ini sungguh penting, karena inilah yang menjadi sumber dan penyebab utama terus terjadinya benturan antara dunia Barat dan dunia Islam.

Saya tahu, Perancis dan dunia Barat umumnya berpendapat bahwa kebebasan itu mutlak dan tak dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Termasuk barangkali kebebasan untuk membuat karikatur Nabi Muhammad SAW, dengan segala olok-oloknya.

Nah, di sinilah saatnya saya harus berkata langsung (to the point). Hentikanlah membuat karikatur Nabi Muhammad. Sekali lagi, hentikanlah. Tindakan itu sangat melukai, menghina, melecehkan dan bahkan menantang umat Islam di seluruh dunia. Ini sungguh serius. Saya tidak mendramatisasi dan melebih-lebihkan.

Jika meminjam terminologi Barat, saya ini seorang muslim moderat dan bukan radikal. Saya juga berpikiran terbuka dan senantiasa membangun toleransi dengan umat agama mana pun, identitas apa pun. Meskipun, sebagai seorang muslim saya tetap teguh pada akidah ajaran Islam.

Ketika memimpin Indonesia dulu, tak pernah lelah saya berjuang, baik di dalam negeri maupun di forum internasional, bagi terbangunnya hubungan antara Barat dan Islam yang lebih teduh dan lebih harmonis.

Saya mengerti teori Huntington tentang Clash of Civilization dan pandangan Dominique Moisi tentang Geopolitics of Emotion, yang menggambarkan adanya masalah yang fundamental dalam hubungan dunia Barat dan dunia Islam. Justru di sinilah saya berpikir dan berpendapat, perlunya membangun jembatan atau dialog antara Islam dan Barat, agar satu sama lain saling memahami. Bukan hanya saling bicara, tetapi juga saling mendengar. Dengan cara itu saya yakin akan lebih terbangun sikap saling hormat menghormati dan saling bertoleransi, sehingga benturan antar keyakinan dan identitas tidak makin menjadi-jadi.

Konkretnya, sekali lagi, hentikanlah menggambar karikatur tokoh yang sangat dihormati oleh umat Islam itu, Nabi Muhammad SAW. Janganlah karikatur Nabi Muhammad justru dijadikan contoh pembenar bagi mutlaknya kebebasan. Sebaliknya, yang bijak dan mendidik adalah bila mengatakan seperti ini... “meskipun kebebasan itu hak yang asasi bagi setiap manusia, namun tak berarti tidak ada batasnya. Contohnya, janganlah kita membuat karikatur Nabi Muhammad karena itu akan sangat melukai umat Islam”. Mestinya begitu yang harus disampaikan, dan bukan sebaliknya.

Tanpa harus terus menggambar, menerbitkan dan mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad, tidakkah ruang untuk mengekspresikan kebebasan itu sangat luas. Bahkan seluas samudra. Ada ribuan kata, gambar dan bentuk-bentuk lain untuk mengekspresikan sebuah kebebasan.

3 dari 3 halaman

Selanjutnya

Khusus kepada Presiden Perancis Macron, Anda bisa menjadi pemimpin yang lebih arif dan lebih bijaksana. Tolong imbangi pandangan dan keyakinan Anda, dengan pandangan dan keyakinan pemimpin lain yang berbeda. Ingat, semua bangsa punya hak untuk tinggal dan hidup di bumi ini. Semuanya setara. Tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran dan selalu mendiktekan pandangan-pandangannya.

Kami di Indonesia, sebagai sahabat Perancis, juga ingin negeri Anda selalu diberikan kedamaian dan kesejahteraan. Saya juga berdoa bangsa Perancis bisa menjalin persahabatan dan kemitraan yang kuat dengan semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Khusus menyangkut keamanan dalam negeri Anda, saya juga berharap Perancis dibebaskan dari berbagai aksi teror dan kekerasan yang kerap terjadi. Terorisme adalah “extra ordinary crimes”, dan sejatinya tak mengenal agama. Radikalisme juga ada di identitas mana pun, agama apa pun.

Saya bukan hanya pandai berkata-kata. Di masa lampau, Indonesia juga mengalami aksi-aksi terorisme yang serius. Kami juga tegas dalam memerangi terorisme. Namun, tidak pernah mengatakan bahwa agama Islamlah yang salah dan bermasalah, seperti nada bicara Anda beberapa saat yang lalu.

Saat ini Anda tengah mendapatkan peluang, untuk mengubah jalannya sejarah. Perubahan ke arah yang lebih baik.

Melalui podcast ini saya ingin menyampaikan pendapat bahwa hak dan kebebasan itu sesungguhnya tidak mutlak. Tidak absolut. Bagaimanapun tetap ada batasnya.

Tidakkah “Universal Declaration of Human Rights” yang diproklamasikan dan diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, di negeri Anda sendiri Presiden Macron, menetapkan adanya pembatasan, atau limitation. Pembatasan itu berkaitan dengan penggunaan hak dan kebebasan yang dimiliki oleh seseorang (the exercise of rights and freedoms).

Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2, dari Universal Declaration of Human Rights, menurut saya jiwa dan esensinya adalah... “penggunaan hak dan kebebasan itu dibatasi oleh pertimbangan, atau jika berkaitan dengan, moralitas, ketertiban dan keamanan masyarakat, serta kesejahteraan umum”. Saya berpendapat, penggambaran karikatur Nabi Muhammad adalah termasuk dalam lingkup pembatasan ini.

Saya juga mengikuti putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia Uni Eropa atas dugaan penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW oleh seorang warga Austria, dalam sebuah seminar di tahun 2009. Diputuskan bahwa tindakan seseorang yang didakwa menghina Nabi Muhammad tersebut tidak dilindungi atau tidak sesuai dengan Pasal 10 tentang Kebebasan berpendapat dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Uni Eropa.

Putusan mahkamah ini menguatkan putusan Pengadilan Kriminal Wina 15 Februari 2011 dan Pengadilan Banding Wina bulan Desember 2011 atas kasus yang saya utarakan tadi. Mahkamah juga mengatakan bahwa putusan kedua pengadilan di Wina tersebut sudah benar dan adil. Benar dan adil, karena telah mempertimbangkan kebebasan berpendapat warga negara Austria tersebut, sekaligus dihadapkan dengan hak masyarakat (khususnya Muslim) di Austria untuk menjaga kehormatan agama mereka, serta hak pemerintah Austria untuk menjaga perdamaian antar umat beragama di negeri itu.

Cerita tentang putusan Mahkamah HAM Uni Eropa ini perlu saya angkat, untuk 2 alasan.

Alasan pertama, hal ini bisa menginspirasi dan menjadi pembanding bagi negara dan masyarakat Perancis, tentang batas-batas sebuah kebebasan. Saya tahu, Perancis adalah negara terkemuka dan punya peran penting di komunitas Uni Eropa, bahkan di Perserikatan Bangsa Bangsa. Saya berharap, jiwa dan esensi putusan Mahkamah HAM Uni Eropa tersebut juga menyiratkan nilai-nilai (shared values) yang dianut oleh Uni Eropa secara keseluruhan.

Alasan kedua, cara yang ditempuh oleh komunitas muslim di Austria tersebut juga bisa menginspirasi komunitas Muslim di negara lain, jika harus menuntut haknya karena agamanya dihina oleh pihak lain. Menurut saya itulah cara yang benar, karena dilakukan secara damai dan konstitusional, ketimbang dengan menggunakan kekerasan dan harus main hakim sendiri.

Saya pikir itu dulu yang mesti saya sampaikan. Ini bukan forum ilmiah buat kita saling berdebat dan berargumentasi. Ini hanyalah forum podcast buat saya menyampaikan hak dan kebebasan yang saya miliki, yang dijamin oleh The Universal Declaration of Human Rights.

Untuk Presiden Macron, harus saya sampaikan bahwa sama dengan Anda, saya juga pencinta demokrasi. Saya menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan. Namun, di sisi lain saya mencintai kedamaian dan perdamaian (peace). Kedamaian mempersyaratkan hadirnya toleransi dan kerukunan antar masyarakat dan bangsa yang berbeda-beda identitasnya. Karenanya, saling menghormati, saling toleran dan saling bertenggang rasa adalah kondisi yang harus dijaga dan dirawat dengan baik.

Maaf, saya hanyalah warga negara dan warga dunia biasa. Saya tak punya kekuasaan (power) sebagaimana yang dimiliki oleh para pemimpin dunia. Namun, hati dan pikiran saya tergerak untuk ikut mencari solusi yang tepat dan bijak atas benturan dan pertikaian yang tak kunjung henti ini. Masalah dan benturan terjadi , sejak penggambaran karikatur Nabi Muhammad di Denmark tahun 2005, penerbitan karikatur yang serupa oleh Charlie Hebdo di Paris tahun 2015, penerbitan ulang karikatur yang dimuat Charlie Hebdo di tahun 2020 ini, dan yang paling akhir adalah dipertontonkannya karikatur Nabi Muhammad kepada publik akhir-akhir ini. Tentu dibarengi dengan berbagai reaksi dan respons dari kalangan umat Islam, yang sebagian dari padanya dinilai melampaui batas dan tak bisa dibenarkan.

Jangan salah sangka, saya juga mengecam aksi-aksi teror dan kekerasan lainnya yang terjadi di Perancis sehubungan dengan kemelut karikatur Nabi Muhammad itu. Atas nama apa pun, tindakan terorisme tak bisa dibenarkan. Kita, dan saya yakin para pemimpin lain di seluruh dunia, berada dalam satu perahu dalam soal ini. Yang saya pikirkan adalah bagaimana aksi-aksi kekerasan dan teror itu tak terus terjadi, baik di Perancis maupun wilayah mana pun di dunia.

Saat ini situasi memang sedang panas. Semestinya pemimpin dari pihak mana pun, Barat maupun Islam, bisa menahan diri serta tidak memprovokasi dan mengagitasi, agar situasinya tidak semakin buruk dan berbahaya. Yang diperlukan adalah kepedulian, tekad dan aksi nyata para pemimpin, untuk mencari solusi agar pertikaian ini tak terus berlangsung.

Atas pertimbangan itu semua, saya hanya ingin menyampaikan pesan dan harapan kepada Tuan Macron, Presiden Perancis, sebagaimana yang telah saya uraikan tadi.

Harapan saya, saya yakin ini juga harapan umat Islam di seluruh dunia, mulailah dari menghentikan penggambaran dan publikasi karikatur Nabi Muhammad. Kalau bisa dilakukan, itu sebuah awal yang menjanjikan harapan (a good beginning, a new beginning). Kalau orang seperti saya berani mengatakan bahwa membunuh dan melakukan aksi kekerasan terhadap yang dinilai menghina Islam itu salah, artinya masih ada cara lain... mestinya Anda juga berani mengatakan bahwa yang membuat dan mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad itu juga salah. Mulailah dari itu dulu. Mari kita putus mata rantai “balas membalas” yang bisa terus terjadi.

Semoga Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Bapak Olivier Chambard, berkenan mengkomunikasikan inti sari dari pesan dan harapan saya ini. Saya juga mengikuti, Presiden Jokowi telah mengeluarkan pernyataan yang resmi, karenanya anggaplah yang saya sampaikan ini merupakan pesan dari salah satu anggota masyarakat Indonesia.

Saya tahu, tak mudah memang untuk mengubah suatu keyakinan dan cara pandang. Seolah tak akan mungkin dilakukan. Bagi para pemimpin politik, sering kali harus berpikir “beyond politics” manakala memasuki “world of wisdom”. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang hebat sering membuat sesuatu yang seolah tidak mungkin, menjadi mungkin. Make the impossible, possible.

Khusus untuk saudara-saudara kami rakyat Indonesia, yang sangat majemuk dan berbeda-beda dalam identitas, jadikanlah isu besar yang saya angkat dalam podcast ini sebagai cermin. Artinya, tidak ada yang lebih baik untuk menjadikan Indonesia yang kita cintai ini sebagai tanah air yang damai, selain dengan senantiasa menjaga persatuan, kerukunan dan persaudaraan di antara kita semua.

Identitas bukanlah untuk memisahkan kita. Keragaman identitas adalah anugerah Tuhan, yang harus kita syukuri untuk menjadikan bangsa kita besar dan kuat. Karenanya, jangan sekali-kali menjadikan identitas sebagai komoditas politik. Itu sangat berbahaya. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang terbelah (divided nation).

Taman kehidupan yang harus kita bangun adalah suasana yang damai dan indah, di mana di antara kita terbangun sikap saling sayang menyayangi, saling hormat menghormati serta saling bertoleransi dan bertenggang rasa. Ingat, para pendiri republik mendambakan negeri ini menjadi rumah besar bagi semua. Rumah besar bagi bangsa yang damai, adil dan makmur. Insya Allah, kita semua tengah menuju ke situ.”