Sukses

HEADLINE: Uji Materi UU Cipta Kerja Disidangkan, Berpotensi Dibatalkan?

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memulai menyidangkan uji materi UU Cipta Kerja, pro dan kontra mewarnainya.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dikenal UU Cipta Kerja. Sidang digelar setelah dua hari Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani undang-undang kontroversial tersebut pada 2 November 2020.

Gugatan yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) adalah yang pertama disidangkan. FSPS mengajukan uji materi 12 Oktober 2020, meskipun saat itu belum bernomor. Menyusul kemudian, MK menjadwalkan sidang gugatan lainnya dengan objek yang sama, UU Cipta Kerja, pada Kamis 12 November 2020, yang diajukan oleh Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas, Novita Widyana, Elin Dian Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito. Lalu selanjutnya oleh Zakarias Horota, Agustinus R Kambuaya, dan Elias Patege.

FSPS dalam gugatannya meminta MK menguji Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Cipta Kerja. Federasi asal Karawang itu menyoal Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaruan perjanjian kerja.

Sementara Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja, Pemohon menyebutkan, menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan yang berdampak terdapat syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja.

Untuk Pasal 81 angka 25, pemohon menyebut menyebabkan upah minimum dari semula berdasarkan produktivitas, inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hanya pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Kemudian angka 29 didalilkan pengusaha tidak diancam sanksi apabila memberi upah lebih rendah dari ketentuan yang berlaku.

Pemohon mendalilkan Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja menghilangkan uang pesangon atau penghargaan masa kerja yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat sempat menekankan agar para pemohon, dalam hal ini FSPS, memperbaiki permohonan untuk disesuaikan dengan perubahan saat undang-undang itu diundangkan.

"Apa yang ada di permohonan awal ini sebetulnya sudah banyak berubah karena Anda sudah secara proaktif meyesuaikan dengan kondisi setelah undang-undang itu diundangkan sehingga sudah ada nomornya UU Nomor 11 Tahun 2020," ujar Arief.

Sementara, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menuturkan, pencantuman pasal yang ingin diuji harus cermat. Pasalnya, terdapat ketidaksinkronan antara objek yang diuji dengan tuntutan pemohon. Untuk itu, ia menasihati pemohon agar mengamati pasal atau nomor ayat dari undang-undang yang diuji, bukan pasal yang terdapat di dalam omnibus.

Wahiduddin juga menasihati agar pemohon membangun logika argumentasi yang kuat untuk meyakinkan majelis hakim. "Ini nanti betul-betul kerja keras, ya," kata dia.

Selain tiga pemohon tersebut, masih ada Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang mengajukan gugatan. Mereka menggugat 2 November 2020 atau bertepatan saat Presiden Jokowi mendandatangani UU Cipta Kerja, dengan nomor tanda terima 2045/PAN.MK/XI/2020.

Dalam beberapa kesempatan, KSPI memaparkan pasal-pasal yang dianggap bermasalah. Pasal 88 ayat (1). Sebab, pasal itu menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Kemudian, Pasal 88C ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. KSPI juga mempermasalahkan soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Sementara, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan, total ada 3 yang sudah diagendakan untuk sidang dalam gugatan UU Cipta Kerja. "Yang sudah diagendakan sidang ada 3, yang baru masuk kemarin itu 1," kata Fajar kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).

Secara teknis, persidangan terkait UU Cipta Kerja akan digelar terbuka. Artinya, publik dan pihak-pihak terkait dapat mengikuti dan memonitor jalannya persidangan secara transparan. "Silakan publik ikut mengawal proses di MK," tutur Fajar.

Soal tanda tanya publik mengenai kabar Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang akan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera dari Presiden Jokowi, Fajar mengatakan, bahwa hal tersebut tidak ada sangkut paut dengan persidangan uji materi UU Cipta Kerja.

"Penghargaan itu diusulkan dan diproses sudah sejak lama sebagaimana lembaga-lembaga lain juga mengusulkan," tegas Fajar.

 

Sesuai Konstitusi

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan, pemerintah sudah siap menghadapi gugatan atau uji materi UU Cipta Kerja ini. Menurutnya, pihaknya sudah menyiapkan argumentasi dalam menghadapi gugatan terkait UU Ciptaker di MK. Apapun keputusan hakim kelak, pemerintah, kata Donny, akan menerimanya dengan lapang dada.

"Apapun keputusannya harus diterima secara legowo oleh semua pihak, termasuk pemerintah sendiri," jelas Donny kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).

Donny mengatakan, pemerintah optimistis dan berkeyakinan bahwa UU Cipta Kerja ini tak ada yang menyalahi konstitusi. "Tapi pada akhirnya pihak yang memutuskan adalah Mahkamah Konstitusi. Dan saya kira ini proses konstitusional yang wajar dan biasa," tutur Donny.

Meski banyak penolakan terkait UU Cipta Kerja, Donny mengatakan bahwa dengan perundangan ini semua orang bisa bekerja dan menafkahi keluarganya. "Itu yang menjadi keyakinan dibuatnya UU ini," jelas Donny.

Terpisah, Menko Polhukam Mahfud Md melalui rekaman video, menuturkan soal kesalahan ketik yang berbuntut kegaduhan, pemerintah akan segera menyelesaikannya.

"Jalurnya, kita akan bicara dengan DPR RI kenapa yang dikirim seperti itu, mana dokumen yang benar, lalu nanti bisa diselesaikan MK, itu kalau yang clerical," jelas Mahfud.

Sementara, untuk yang sifatnya substansi, dia meminta semua pihak menyelesaikannya di MK. "Kalau MK memutuskan sesuatu ini salah, kita nanti ada legislatif reviewnya, tidak menutup kemungkinan untuk legislatif review, perubahan undang-undang untuk pasal-pasal tertentu, sesudah nanti MK memutuskan tentang apa yang harus diubah," tutur Mahfud.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menuturkan, dengan sudah sahnya UU Cipta Kerja ini, maka tinggal menunggu aturan pelaksanaannya. Sehingga dia sangat yakin, bahwa UU ini seusai konstitusi. Bahkan, terkait salah ketik, itu menurutnya tak masalah.

"Terkait salah ketik itu hal teknis dan tidak berpengaruh pada substansi," kata Baidowi kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

UU Cipta Kerja Tabrak Prosedur?

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menuturkan, bukan hanya gelombang penolakan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah dan DPR, namun upaya banyak pihak membawa UU Cipta Kerja ke MK yang serta merta memperoleh banyak dukungan.

Menurut Yusril, ini menjadi penting karena MK dapat obyektif memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur pembentukan undang-undang, termasuk melakukan amandemen terhadap undang-undang atau tidak.

Yusril menuturkan, MK akan menggunakan norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2019 untuk menilainya.

Menurut dia, Omnibus Law adalah sebuah undang-undang yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pembentukannya, Omnibus Law sangat mungkin akan mengubah undang-undang yang ada di samping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.

"Persoalannya kemudian adalah, apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap undang-undang lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?" tanya Yusril.

Karena itu Yusril meminta Pemerintah dan DPR harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggunakan cara Omnibus ini. Karena, bisa saja nanti MK membatalkan undang-undang tersebut.

"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif, karena apabila prosedur pembentukannya bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," jelas Yusril.

Selain uji formil, dia juga melihat masalah terkait prosedur pembentukan UU Cipta Kerja yang menerapkan pola Omnibus Law, uji materiil tentu terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam undang-undang tersebut terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945.

"Mengingat cakupan masalah dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini begitu luas, maka setiap pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka. Kita tentu ingin menyimak apa argumen para pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan Pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materiil tersebut," tutur Yusril.

Dia juga menyinggung soal salah ketik, seperti yang diakui Menko Polhukam Mahfud soal clerical error yang terjadi. Yusril menyadari, semua terjadi karena proses pembentukan undang-undang ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.

Menurutnya, kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam undang-undang itu, maka Presiden atau bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu.

Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi.

"Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," jelas Yusril.

 

3 dari 3 halaman

Pesimistis

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati justru memandang tak tepat jika masalah UU Cipta Kerja ini dibawa ke MK. Salah satu alasannya, karena materinya banyak. Dia mencontohkan bagaimana uji materi Undang-Undang KPK yang sudah sampai setahun belum ada putusan.

"Tidak tepat, Karena materi undang-undang sangat banyak, pihak yang JR (Judical Review) banyak. Jadi pasti waktu sidang akan sangat lama. JR revisi UU KPK saja, sudah setahun belum putusan. Tapi lebih dari itu, pemerintah dan DPR harus tanggung jawab. Masa mereka yang buat masalah, pihak lain yang disuruh bersihin masalahnya seperti orang yang bikin piring kotor, nyuruh orang lain cuci piring," kata Asfinawati kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).

Menurut dia, seharusnya fraksi yang tak setuju dengan UU Cipta Kerja ini seperti PKS dan Demokrat mengajukan RUU inisiatif yang mengusulkan pencabutan UU Cipta Kerja.

"Fraksi yang enggak setuju kan bisa mengajukan RUU inisiatif DPR berupa RUU Pencabutan UU Cipta Kerja. Alasannya karena sudah cacat formil," ungkap Asfinawati.

Dia menegaskan, banyak sekali masalah konstitusi dalam pasal RUU Cipta Kerja. Namun, dirinya memilih untuk tidak menjabarkannya, kaena prosedur pembentukannya sudah cacat.

"Banyak sekali masalah konstitusi di pasal, tapi sebelum ke pasal bicara prosedur pembentukan saja sudah cacat, untuk apa bicara subtansi pasal," jelas Asfinawati.

Dihubungi terpisah,  Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai secara politis persidangan gugatan UU Ciptaker 

"9 hakim itu dipilih dari DPR, 3 dari Presiden. Sudah 6 mayoritas yang memiliki interelasi keterkaitan dengan pembuat undang-undang kan. Kedua, hakim MK itu kan udah dapat hadiah dari pembuat undang-undang berupa kenaikan masa jabatan menjadi 15 tahun. Nah sulit bagi hakim kemudian membangun proses persidangan yang punya marwah," jelas Feri kepada Liputan6.com, Rabu (5/11/2020).

Menurut dia, publik akan mencurigai hal ini. Dan ini yang dipandang, ruang yang akan memberatkan pemohon memenangkan pertarungan ini.

"Apalagi Presiden sangat percaya diri ya, meminta silahkan saja ke MK. Begitu MK menyatakan ini konstitusional maka sulit bagi orang mempertanyakan presiden dan DPR sebagai pembentuk UU," tutur Feri.

Padahal menurut dia, kalau diperdebatkan secara normatif banyak sekali kekhilafan yang ada. "Nah itu harusnya menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang dengan membatalkannya," lanjutnya.

Menurut Feri, ada beberapa yang menyalahi konstitusi dalam UU Cipta Kerja itu. Misalnya, soal penarikan berbagai kewenangan ke pemerintah pusat, itu semuanya dikembalikan ke pemerintah pusat, baik perizinan melalui peraturan pemerintah, misal soal penataan ruang, perizinan usaha. Dalam artian sederhana, ini akan kehilangan konsep otonomi seluas-luasnya.

Belum lagi soal pelanggaran HAM yang perlu diperhatikan yang akan berpotensi timbul di dalam UU ini, misalnya soal pengabaian upah buruh, pesangon, jaminan kerja dan lainnya. "Belum lagi soal perlindungan lingkungan hidup, binatang langka, tumbuhan langka, yang kemudian karena kepentingan bisnis dan pembangunan dapat diabaikan begitu saja," jelas Feri.

Pesimisnya, dia merasa MK akan mengabulkan tapi bukan hal yang substansial dalam di UU tersebut. "Menurut saya ada (yang gugur) tapi bukan pasal utama. Tapi pasal-pasal bermasalah lainakan mereka pertahankan," tutur Feri.

Justru Feri menilai, pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu untuk meninjau ulang terhadap Undang-Undang ini. "Ada peninjauan ulang oleh lembaga eksekutif terhadap undang-undang, dia bisa cabut lewat Perppu itu," tukasnya.