Sukses

6 November 1908: Akhir Hayat Perempuan Tangguh Aceh Cut Nyak Dien di Pengasingan

Makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959 atau setengah abad pascakematiannya.

Liputan6.com, Jakarta - Pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien mengembuskan napas terakhirnya pada 6 November 1908. Tepat hari ini atau 112 tahun silam, perempuan tangguh yang ditakuti penjajah Belanda itu meninggal dalam kesunyian di tempat pengasingannya di Sumedang, Jawa Barat.

Namun makam Cut Nyak Dien tidak serta merta ditemukan. Pusara pahlawan perempuan Aceh itu baru ditemukan setengah abad kemudian atau tepatnya pada 1959.

Pencarian makam Cut Nyak Dien berlangsung lama dan dilakukan berdasarkan dokumen-dokumen yang ditemukan di Belanda.

Pada batu nisannya terangkum riwayat hidup dan juga tertera Surah at-Taubah dan al-Fajr.

Cut Nyak Dien baru diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2 Mei 1964 berdasarkan SK Presiden RI No 106 Tahun 1964.

Mengenang perempuan perkasa dari tanah rencong itu berarti mengenang keberanian rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Berikut kisah singkat perjuangan Cut Nyak Dien saat melawan penjajah dari tanah rencong:

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Lahir dari Keluarga Bangsawan

Cut Nyak Dien lahir dari keturunan Bangsawan Aceh di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada 1848. Ayahnya adalah Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang atau bangsawan. Sementara Ibu Cut Nyak Dien merupakan seorang putri uleebalang Lampagar.

Berasal dari keluarga yang taat beragama, tak heran jika sejak kecil Cut Nyak Dien telah digembleng dengan ilmu agama yang kuat.

Keluarga Cut Nyak Dien tinggal di Aceh Besar, wilayah VI Mukim. Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan pada bidang agama dan juga pendidikan di rumah tangga.

Dikutip dari berbagai sumber, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada pada 1863. Saat itu, usinya baru sekitar 15 tahun. Sang suami merupakan putra uleebalang Lamnga XIII.

Setelah sempat kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Aceh, Belanda akhirnya menduduki wilayah VI Mukim, termasuk Keraton Sultan pada 1874-1880. Masuknya penjajah Belanda memaksa rakyat Aceh, tak terkecuali Cut Nyak Dien dan anaknya mengungsi pada 24 Desember 1875.

Namun, Teuku Cek Ibrahim Lamnga tidak ikut mengungsi dan terus berjuang mengusir Belanda. Sayangnya, suami Cut Nyak Dine tewas di tangan penjajah dalam pertempuran pada 29 Juni 1878.

Kematian Teuku Cek Ibrahim itu menjadi titik awal kemarahan Cut Nyak Dien kepada penjajah. Ia pun bersumpah meneruskan perjuangan suami mengusir dan melawan Belanda dari tanah Aceh.

 

3 dari 4 halaman

Dipinang Teuku Umar

Pascakematian suaminya, Cut Nyak Dien dipinang oleh Teuku Umar pada 1880. Cut Nyak Dien menerima pinangan Teuku Umar dengan syarat dirinya diizinkan ikut bertempur melawan penjajah.

Bersama Teuku Umar yang juga seorang pejuang, semangat perang Cut Nyak Dien dan rakyat Aceh terhadap Belanda semakin membara.

Teuku Umar menggunakan strategi perang berteman dengan Belanda. Lewat cara itu, pasukannya berhasil memiliki perlengkapan perang. Strategi penghianatan itu disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Strategi pengkhiatan itu membuat Belanda sangat berang dan berambisi menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Sayangnya, berbagai serangan tak jua membuat kedua pahlawan Aceh itu tertangkap.

Akhirnya, Belanda mengirim unit “Maréchaussée” yang berisi orang Tionghoa-Ambon yang dikenal susah ditaklukkan oleh orang Aceh.

Perjuangan Teuku Umar pun terhenti pada tanggal 11 Februari 1899. Ia gugur tertembak peluru Belanda.

 

4 dari 4 halaman

Ditangkap dan Diasingkan hingga Wafat

Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dien masih terus bertempur melawan Belanda. Hingga akhirnya pasukannya takluk pada 1901.

Salah satu penyebabnya adalah faktor usia Cut Nyak Dien yang tak muda lagi. Dia juga sering sakit-sakitan dan matanya mulai rabun.

Penangkapan Cut Nyak Dien berawal dari pengkhianatan pengawalnya yang bernama Pang Laot. Ia melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien kepada Belanda. Perempuan tangguh itu ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh untuk selanjutnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Bersama tahanan politik Aceh yang lain, Cut Nyak Dien diasingkan. Namun selama dalam perjalanan hingga di pengasingan, tidak ada yang tahu bahwa ia adalah Cut Nyak Dien. Sebab tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.

Setelah hampir 8 tahun di pengasingan, tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat karena faktor usia. Meski telah wafat, harum jasa perempuan tangguh itu tetap tercium dan dikenang, tidak hanya oleh rakyat Aceh, melainkan seluruh rakyat Indonesia hingga sekarang.