Sukses

Irjen Napoleon Merasa Dizalimi dalam Kasus Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra

Irjen Napoleon menyebut dakwaan jaksa penuntut umum yang menyatakan dirinya menerima suap dari Djoko Tjandra terkait penghapusan red notice adalah rekayasa palsu.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte merasa dizalimi dalam kasus penghapusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

Hal itu disampaikan Napoleon usai pembacaan eksepsi atau nota keberatan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

"Yang Mulia, dari bulan Juli sampai hari ini, saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan-pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," ujar Napoleon di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (9/11/2020).

Namun Napoleon menyadari pernyataan dirinya dizalimi dalam perkara ini tak bisa dipercaya begitu saja. Dia menyatakan siap untuk membuktikannya dalam sidang-sidang selanjutnya.

"Kesempatan ini kami tunggu untuk menyampaikan tuduhan penerimaan uang. Saya siap untuk buktikan, didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," katanya.

Sebelumnya, dalam eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum, Irjen Napoleon menyebut dakwaan jaksa penuntut umum yang menyatakan dirinya menerima suap dari Djoko Tjandra terkait penghapusan red notice adalah rekayasa palsu.

"Bahwa perkara pidana yang melibatkan klien kami, Irjen Napoleon Bonaparte dalam hal penerimaan uang sejumlah SGD 200 ribu dan USD 270 ribu untuk pengurusan penghapusan red notice adalah merupakan rekayasa perkara palsu," ujar Santrawan Paparang, tim kuasa hukum Napoleon di Pengadilan Tipikor, Senin (9/11/2020).

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Dakwaan Terhadap Irjen Napoleon

Diberitakan, mantan Kadiv Hubinter Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima sejumlah uang untuk mengurus status red notice Djoko Tjandra.

"Telah menerima pemberian atau janji yaitu terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte menerima uang sejumlah SGD 200 ribu dan USD 270 ribu," kata jaksa saat pembacaan dakwaan.

Jaksa menyebut, Irjen Napoleon menerima aliran uang tersebut langsung dari terdakwa Tommy Sumardi dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencanan Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Dengan cara, Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI yaitu surat nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.

"Yang dengan surat-surat tersebut pada tanggal 13 Mei 2020, pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi," jelas dia.

Jaksa menegaskan, perbuatan tersebut mengakibatkan terhapusnya status DPO Djoko Tjandra pada sistem ECS Imigrasi. Sebagai polisi, Irjen Napoleon Bonaparte seharusnya melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra jika masuk ke Indonesia.

"Petugas juga mesti menjaga informasi Interpol hanya untuk kepentingan kepolisian dan penegakan hukum serta tidak menerima pemberian berupa hadiah dan atau janji-janji," jaksa menandaskan.