Liputan6.com, Jakarta - Mantan Politikus Nasdem Andi Irfan Jaya merasa tak diperlakukan secara tidak adil oleh Kejaksaan Agung lantaran menahan dirinya di Rumah Tahanan KPK. Terdakwa terkait kasus Djoko Tjandra ini menyampaikan hal tersebut melalui tim kuasa hukum dalam eksepsinya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
"Sejak ditetapkan sebagai tersangka (terkait kasus Djoko Tjandra), kami ditahan di Rutan KPK. Prasangka baik coba kami tegakkan, tapi hati kecil ini terus meronta. Mengapa hanya kami yang ditahan di KPK, mengapa tersangka lain ditahan di tempat berbeda," ujar tim penasihat hukum Andi Irfan Jaya, Andi Syafrani, Senin (9/11/2020).
Tim penasihat hukum merasa penahanan terhadap kliennya di Rutan KPK membuat kliennya sulit untuk dikunjungi oleh kerabat. Sebab, penerapan protokol Covid-19 di Rutan KPK sangatlah ketat.
Advertisement
"Tersirat, ada nuansa ketidakadilan menggurat di sini. Begitu yang terdakwa rasakan. Sejak 3 bulan lalu, tak sekalipun terdakwa bertemu fisik dengan orang-orang terdekat walau sekadar melihat selintas wajah mereka. Namun samar-samar terdakwa mendengar di tempat lain, keluarga boleh menemui tahanan," kata dia.
Selain soal penahanan, tim penasihat hukum juga menyebut Andi Irfan Jaya merasa tertekan dengan pemberitaan soal penanganan perkara atas kliennya akan dilimpahkan ke KPK.
"Apa lagi tersiar kabar tentang pressure media agar kasus ini disupervisi langsung oleh KPK," kata dia.
Tim penasihat hukum berpandangan, perlakuan tak adil terhadap kliennya lantaran kliennya bukan seorang penegak hukum seperti terdakwa lainnya dalam kasus ini.
"Terdakwa menyadari sepenuhnya, bahwa kami bukanlah siapa-siapa, bukan penegak hukum, juga bukan orang yang punya status kelas ekonomi tinggi. Di antara semua pihak yang dianggap terlibat maupun jadi tersangka dalam perkara ini, terdakwalah yang memiliki ketimpangan relasi ke kelompok elite kekuasaan dan ekonomi," kata dia.
Diberitakan sebelumnnya, Andi Irfan Jaya didakwa menjadi perantara suap yang diberikan terpidana korupsi Hak Tagih Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra atau Djoko Tjandra kepada Pinangki Sirna Malasari. Suap yang diberikan Djoko Tjandra sebesar USD 500 ribu.
Uang tersebut diterima Andi Irfan Jaya untuk turut membantu Pinangki Sirna Malasari mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA).
"Menerima USD 500 ribu dari USD 1 juta yang dijanjikan Djoko Tjandra dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat sesuatu dalam jabatannya, yaitu dalam kapasitas Pinangki Sirna Malasari mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung," ujar Jaksa Rachdityo Pandu dalam dakwaannya, Rabu (4/11/2020).
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengurusan Fatwa MA
Pinangki Sirna Malasari sendiri merupakan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI.
Jaksa menyebut, pengurusan fatwa MA bertujuan agar Djoko Tjandra tak dieksekusi atas korupsi Bank Bali.
"Sehingga terdakwa Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana," kata Jaksa.
Selain menjadi perantara suap, Andi Irfan juga didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama-sama Pinangki dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
"Terdakwa (Andi Irfan Jaya) telah melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Djoko Soegiarto Tjandra untuk melakukan tindak pidana korupsi," ujar Jaksa Didi Kurniawan dalam dakwaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (4/11/2020).
Andi, Pinangki, dan Djoko Tjandra bermufakat jahat memberikan suap sebesar USD 10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA. Suap bertujuan agar pejabat Kejagung dan MA memberikan fatwa MA Kejagung agar Djoko Tjandra tak dieksekusi atas kasus korupso hak tagih Bank Bali.
"Sehingga, Djoko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana," kata Jaksa.
Advertisement