Sukses

Sederet Alasan yang Bikin Trump Kalah Pemilu AS 2020

Calon Presiden Amerika Serikat atau Capres AS petahana yang diusung Partai Republik, Donald Trump dikalahkan Joe Biden dari Demokrat.

Liputan6.com, Jakarta - Calon Presiden Amerika Serikat atau Capres AS petahana yang diusung Republik, Donald Trump dikalahkan Joe Biden dari Demokrat.

Joe Biden mengantongi lebih dari 280 suara elektoral, melampaui 270 yang menjadi syarat melenggang ke Gedung Putih.

Presiden AS terpilih Joe Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris akan dilantik pada Januari 2021.

Keduanya pun tampil pada Sabtu malam, 7 November 2020 di kampung halaman Biden di Wilmington, Delaware untuk menyampaikan pidato kemenangan.

Meski begitu, Trump masih ngotot mengklaim kemenangannya pada Pemilu AS 2020 ini. Ia lantas menuding ada kecurangan walaupun tak berdasar.

Trump mengklaim saksi-saksinya tak diizinkan memasuki ruang rekapitulasi suara. Dia pun mengatakan meraup 71 juta suara sah, suara tertinggi yang pernah diraih capres petahana.

Masa jabatan kepresidenan Trump diwarnai sejumlah skandal dan kontroversi. Dia menolak menghadapi akar perpecahan rasial dan justru melipatgandakan keluhan warga kulit putih.

Salah satu kecenderungan politik paling dominan selama masa jabatannya ialah eksodus pemilih pinggiran kota, perempuan kulit putih, sarjana dan pemilih independen dari Partai Republik.

Prospeknya untuk terpilih kembali untuk periode kedua dihalangi kegagalannya dalam menangani pandemi virus corona. Bahkan di puncak masa kampanye, Trump masuk rumah sakit karena positif Covid-19.

"Jika presiden tak pernah terkena Covid, dia menang pemilihan. Survei kami menunjukkan penurunan signifikan saat itu terjadi, khususnya di kalangan warga pinggiran kota, pendidikan sarjana, warga non-liberal," kata konsultan atau ahli strategi Partai Republik, Brad Todd dikutip dari TIME, Minggu, 8 November 2020.

"Trump terkena Covid memberi tanda ke orang-orang tersebut bahwa gaya penanganannnya memiliki konsekuensi bahkan untuk dia pribadi dan oleh karena itu tak mungkin berubah," sambung dia.

Berikut sederet alasan yang mungkin menjadi penyebab kegagalan Trump pada Pemilu AS 2020 untuk kembali menjadi Presiden:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 5 halaman

Gagal Terhubung dengan Pemilih

Beberapa hari sebelum pencoblosan, saat kasus virus Corona Covid-19 di AS mencapai puncak terburuknya sejak awal pandemi, Trump mengejek sebagai sebuah konspirasi media.

"Media berita palsu akan penuh dengan Covid, Covid, Covid," kicaunya di Twitter pada 27 Oktober 2020.

Tetapi pemilih lebih paham. Lebih dari 235 ribu warga Amerika meninggal dunia karena virus corona, dan kasus infeksi lebih dari 9 juta.

Krisis ini menyerukan agar Presiden Trump bisa lebih tegas dan berempati, menyusun rencana konkret dan ikut berduka bersama keluarga yang kehilangan orang yang dicintainya.

Pendiri Pemilih Republik Lawan Trump (RVAT) Sarah Longwell mengatakan Trump kalah karena kegagalannya terhubung dengan hal-hal yang menjadi perhatian utama para pemilih yaitu virus corona.

"Apa yang Trump lakukan adalah memutuskan berpura-pura bahwa virus corona itu bukanlah hal dominan dalam hidup masyarakat," kata Longwell.

 

3 dari 5 halaman

Salah Pilih Tim Kampanye

Salah satu kesalahan utama gagalnya Trump terpilih kembali terjadi tiga tahun lalu, ketika dia mengangkat Brad Parscale sebagai manajer kampanyenya.

Seorang ahli digital Parscale beriklan di Facebook yang membantu Trump menang pada 2016. Tapi Parscale juga seorang politikus pemula yang tidak pernah menangani kampanye, apalagi untuk seorang capres petahana.

Parscale menghabiskan ratusan juta dolar. Ketika mantan Walikota New York City Michael Bloomberg membeli iklan Super Bowl untuk mempromosikan kampanye kepresidenannya yang singkat, tim Presiden Trump mengeluarkan USD 10 juta untuk Trump sendiri.

"Brad tak pernah melakukan kampanye apapun sebelumnya," kata pensiunan ahli strategi Republik, Mike DuHaime.

"Tiba-tiba menempatkannya dalam operasi berdana miliaran dolar menurut saya tak wajar dan sebuah keputusan buruk," sambung dia.

Parscale mengatakan, dana kampanye dan pengeluarannya telah disetujui beberapa pemimpin kampanye senior lainnya.

"Anda bisa tak setuju dengan strategi atau anggaran saya, tapi mengatakan saya tidak punya itu konyol. Itu benar-benar bohong," kata Parscale, yang awalnya tidak menanggapi permintaan komentar, kepada TIME, Sabtu, 7 November 2020.

"Saya memiliki anggaran yang jelas dan ringkas yang disetujui oleh banyak orang," sambung dia.

Pada Juli 2020, Trump mengganti Parscale dengan wakil manajer kampanye Bill Stepien. Stepien mengontrol dana kampanye dan memotong anggaran televisi dan perjalanan. Tetapi dana besar pesaingnya Joe Biden melumpuhkan upaya Trump untuk menutup celah tersebut.

 

4 dari 5 halaman

Abaikan Rasialisme Sistemik

Pada pemilihan 2016, Trump kalah dalam suara populer (popular vote) hampir 3 juta, tapi tak pernah berupaya memperluas dukungannya di luar basis pendukung utama.

Namun dia mencoba mencari pemilih baru, dari kalangan pria kulit putih yang bukan lulusan sarjana, yang tertarik dengan gayanya yang rasialis dan memecah belah.

Biden menang di Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania, tiga negara bagian yang mengantarkan Trump menuju kemenangan pada 2016. Trump kalah di Arizona, setelah berseteru dengan putra mantan Senator mendiang John McCain.

Saat meluasnya protes rasisme sistemik, Trump mengabaikan isu itu. Dia tak pernah mencoba mempersatukan negaranya.

Jajak pendapat menunjukkan mayoritas pemilih tidak setuju dengan penanganan Trump terhadap unjuk rasa Black Lives Matter, memprotes kebrutalan polisi yang menewaskan seorang pria kulit hitam, George Floyd.

Hal itu juga yang membuat sebagian besar pemilih Trump dari kalangan kulit putih beralih.

 

5 dari 5 halaman

Gagal Perbaiki Perekonomian

Saat awal tahun, para penasihat presiden melihat perekonomian adalah faktor kuat yang bisa membuat Trump bisa terpilih kembali.

Saat perekonomian terguncang karena pandemi virus Corona Covid-19, para penasihat ini menggambarkan Trump sebagai orang terbaik yang bisa mengembalikan ekonomi.

Namun dengan tingginya angka pengangguran dan 12,6 juta masih menganggur sampai September, menjadi tugas berat bagi Trump.

Sejarawan Universitas New York, Timothy Naftali, pandemi virus corona yang berdampak pada angka pengagguran itu menghancurkan Trump.

Di akhir-akhir masa kampanye, Trump melontarkan serangkaian keluhan —- melawan media, melawan Dr Anthony Fauci, melawan 'kecurangan' pemungutan suara melalui pos, melawan kenyataan pahit meningkatnya jumlah kasus Covid-19.

Dia menolak untuk melihat kenyataan tapi justru menyebarkan tuduhan tidak berdasar adanya kecurangan pemilih yang meluas.

Trump merekrut agen federal sebagai pasukan kampanyenya, menekan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk mengubah rekomendasi Covid-19 mereka dalam upayanya meremehkan pandemi. Dia mengandalkan Departemen Kehakiman untuk membantu sekutunya dan menyelidiki musuh politiknya.

Mulai Juli, Kepala Kantor Pos, Louis DeJoy, menerapkan perubahan besar yang memperlambat pengiriman jutaan pemilih yang memberikan suara melalui pos.

Trump menggunakan agen federal untuk membersihkan pengunjuk rasa keadilan rasial dari Lafayette Square di Washington, D.C., menghadapi unjuk rasa di Portland dan ditempatkan di kota-kota "yang dikelola Demokrat" untuk menggambarkan anarkisme.

"Trump secara teratur ingin menggunakan otoritas penegak hukum kami dengan cara yang menurutnya akan bermanfaat secara politik baginya dan terutama merusak negara bagian dan kota biru (wilayah yang didominasi Demokrat)," kata Miles Taylor, mantan kepala staf di Departemen Keamanan Dalam Negeri.

 

Reporter : Hari Ariyanti

Sumber : Merdeka