Liputan6.com, Jakarta - Pada 12 November 1945 gedung peninggalan Belanda di daerah Gondokusuman, Yogyakarta menjadi saksi bisu sejarah TNI di Indonesia. Para pemuda komandan divisi dan resimen se-Jawa dan Sumatera berkumpul.
Mereka menyelenggarakan konferensi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk memutuskan pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang. Saat itu, kongres dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR, Urip Sumoharjo.
Saat Presiden Sukarno mengumumkan maklumat pembentukan TKR pada 5 Oktober 1945, lembaga tersebut belum memiliki pemimpin tertinggi. Sebenarnya Sukarno telah menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun hingga waktu yang telah ditentukan tak kunjung datang.
Advertisement
Kota Pelajar tersebut merupakan markas TKR, karena saat itu Jakarta telah diduduki oleh sekutu. Dalam kongres tersebut terdapat agenda untuk pemilihan panglima besar TKR. Untuk menentukan pimpinan tertinggi itu, dilakukanlah pemungutan suara.
Proses pemilihan yang berlangsung sangat sederhana itu akhirnya memenangkan Sudirman dengan suara terbanyak. Lalu, Urip mendapatkan suara terbanyak kedua dan diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum.
Kala itu, Jenderal Sudirman masih sangatlah muda, yakni baru berusia 29 tahun. Berdasarkan buku "Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir" oleh tim buku Tempo mencatat, Soedirman sudah terkenal di kalangan pimpinan divisi, terutama Jawa berkat kecakapan dan karismanya.
Sebulan setelah pemilihan itu, Sudirman memimpin TKR untuk memukul mundur pasukan Inggris yang membonceng Belanda di Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa tersebut kini dikenal sebagai pertempuran Palagan Ambarawa.
Tiga hari usai peristiwa tersebut atau pada 18 Desember 1945, Sudirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR oleh Presiden Soekarno.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tentara Berlatarbelakang Guru
Sudirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya Karsid Kartawiraji merupakan seorang pekerja di pabrik gula Kalibagor Banyumas dan ibunya Siyem merupakan keturunan Wedana Rembang.
Sejak kecil Sudirman diasuh oleh seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo. Sudirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai dirinya berusia 18 tahun.
Saat berusia tujuh tahun, Sudirman terdaftar di sekolah pribumi hollandsch inlandsche school (HIS). Kemudian dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah.
Lalu, pada tahun kedelapan, Sudirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.
Sudirman kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tetapi tidak sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, dia pun turut serta dalam kegiatan organisasi pramuka Hizbul Wathan.
Sebelum menjadi tentara, dia sempat berprofesi sebagai guru di lembaga pendidikan Muhammadiyah di Cilacap pada tahun 1936. Selain itu dia juga bertugas sebagai pemandu di organisasi pramuka Hizbul Wathan.
Sudirman seringkali mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Beberapa tahun kemudian, dia menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.
Lalu pada zaman penjajahan Jepang tepatnya 1944, Sudirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Karena posisinya di masyarakat, dia dijadikan sebagai komandan (daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama.
Usai Indonesia merdeka, dia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Kemudian Sudirman diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya setelah menyelesaikan pendidikannya.
Advertisement
Meninggal Diusia Muda
Meski dalam keadaan sakit, Jenderal Sudirman tetap ikut bergerilya melawan penjajah. Saat itu Belanda menguasai Yogyakarta yang berkedudukan sebagai Ibu Kota Indonesia.
Setelah memimpin perang gerilya dari akhir 1948 hingga pertengahan 1949, kesehatan Sudirman makin menurun. Presiden Sukarno juga sempat melarang dia untuk melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Karena penyakit TBC yang semakin parah, Sudirman semakin harus dirawat di rumah sakit. Sang Panglima Besar ini akhirnya meninggal pada 29 Januari 1950. Usianya baru 34 tahun.
Kematian Sudirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman.
Kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di Radio Republik Indonesia (RRI). Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Sudirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut.
Keesokan harinya, jenazah Sudirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan.
Jenazah Sudirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman dan kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki. Sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer mengiringi di belakang.
Sudirman dimakamkan di sebelah Urip Sumoharjo sambil diiringi upacara militer. Sudirman merupakan Panglima Besar pertama. Pada 1997, Sudirman dianugerahi pangkat Jenderal Bintang Lima karena jasa-jasanya sebagai Bapak TNI.