Sukses

Perbaiki Kualitas Jurnalistik, AMSI Tawarkan Ide Berita Berbayar

Wens menilai, algoritma pada mesin pencarian di internet begitu mengganggu kualitas berita.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut menawarakan ide berita berbayar. Hal itu muncul lantaran semakin menurunnya kualitas berita disebabkan mengikuti algoritma mesin pencarian dan media sosial.

"Mengapa kita enggak paywall, kenapa kita enggak berbayar? Seperti Washington Post, seperti New York Post, Time, lain-lain lah," kata pria yang akrab disapa Wens itu dalam acara  Konferensi Nasional  Komunikasi Humanis, Kamis (19/11/2020).

Mekanisme ini, disebut Wens, cenderung lebih ramah karena tak terpengaruh harus berebut pembaca, dan harus mengikuti pakem-pakem algoritma ala mesin pencarian dan media sosial yang memancing wartawan untuk membuat konten berita yang terkadang mengabaikan kualitas penulisan.

Akan tetapi, hal itu bukan tanpa hambatan. Masalahnya adalah karena suplai berita banyak, maka masyarakat akan sulit untuk mau membayar demi berita.

"Problem di kita itu satu ini over supply. Jumlah medianya terlalu banyak sehingga menyulitkan. Jadinya banyak (media) yang gratis, akan susah orang (mau) membayar," katanya.

Wens pun menilai algoritma pada mesin pencarian di internet begitu mengganggu kualitas berita. Pasalnya konten berita yang ditulis oleh seorang wartawan supaya dapat mudah ditemukan pembaca harus mengikuti pakem-pakem algoritma yang telah ditentukan.

"Yang kita bayangkan orang datang ke Google, bawa dengan keyword. Google bilang supaya berita anda itu ada di halaman pertama atau paling atas, itu keyword yang dicari itu harus ada di judul. Supaya berita itu ada di atau halaman pertama, keyword itu sesering mungkin muncul di body tulisan anda. Lebih bagus kalau keyword itu nongol dua kali di judulnya,” ucap Wens.

“Kan kacau sekali judul berita kalau mengikuti semua syarat dari si algoritma itu. Algoritma ini jelas mengganggu kualitas berita," ujar Wens.

Menurut Wens, hal ini akhirnya memaksa para wartawan untuk belajar search engine optimizer atau SEO. Di mana sebagai rumusan-rumusan dalam menulis agar dapat ditemukan pembaca di mesin pencarian.

"Sekarang juga wartawan harus belajar soal itu, SEO itu. Tidak cukup hanya belajar menulis, dia harus belajar SEO, dia harus belajar cara pikirnya Google, dan juga harus belajar cara pikirnya Facebook. Kalau tidak, enggak akan ketemu dengan pembaca tulisan dia," ujar Wens.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Titik Berat pada Comment, Share, Like

Wens juga mengatakan, algoritma dalam Facebook yang menitikberatkan pada 'engagement' misalnya, seperti comment, share, dan juga like, juga berpotensi mengamplifikasi ujaran kebencian ataupun hoaks.

"Bayangin aja, kalau hate speech, kalau hoax itu tinggi engagement-nya, maka daya sebenarnya akan semakin cepat menggunakan rumusan algoritma seperti ini," ucap mantan jurnalis Majalah Tempo itu.

Jika mekanisme ini dilanggengkan, maka menurut Wens, dalam jangka panjang akan mempengaruhi sikap wartawan dalam membuat konten berita. Imbasnya mereka akan tergoda membuat berita dengan kualitas rendah asalkan dapat meraup banyak pembaca.    

"Eh agar berita itu viral, gini loh caranya. Engagement-nya harus diperhatikan. Mereka tergoda untuk bikin clickbait. Mereka tergoda untuk bikin berita menimbulkan polemik dan mengorbankan kualitas, karena ada algoritma engagement ini salah satunya," papar dia.

Muaranya, lanjut Wens, jurnalis akan disetir oleh publik, bukan malah yang seharusnya yakni jurnalisme yang dikontrol oleh standar jurnalisme yang berlaku.

"Pada akhirnya justru media atau jurnalisme disetir oleh publik, bukan disetir oleh rumusan jurnalisme. Yang makin disukai diklik banyak orang, dikonter banyak orang, makin tinggi di-share itu yang diproduksi oleh media," ucap Wens.

Dan media akhirnya menulis apa yang disukai publik ketimbang apa yang seharusnya.