Sukses

Kemendikbud Bangga, Banyuwangi Punya Sekolah Adat

Konsep pendidikan adat menarik diadopsi karena mengajarkan anak-anak untuk kreatif membuat aneka kerajinan bambu, menguatkan karakter serta kepemimpinan anak lewat permainan tradisional dan seni budaya suku Using.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud, Samsul Hadi mengunjungi sekolah adat yang ada di Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi.

Dalam kunjungan tersebut, Samsul ingin mendukung keberlangsungan sekolah adat di Banyuwangi yang memiliki peran penguatan kearifan lokal adat suku Using. Saat ini, katanya, terdapat 50 sekolah adat di Indonesia, salah satunya ada di Banyuwangi bernama Kampoeng Baca Taman Rimba (Batara).

"Menggerakkan masyarakat untuk nguri-nguri budaya adat ini sudah jarang. Banyuwangi termasuk hebat ada ini," kata Samsul saat berkunjung ke Kampoeng Batara, Kamis (19/11).

Saat berkunjung, Samsul berharap ada sinergi dan penguatan dari Pemerintah daerah untuk sekolah adat. Bila tercatat secara legal di bawah dinas pendidikan, Pemerintah bisa mudah membantu untuk menguatkan keberadaan sekolah adat.

"Harapannya bisa tertata lebih bagus, rencana tahunannya apa saja. Bisa dibantu oleh dinas lewat surat keputusan kalau di Banyuwangi ada sekolah adat," katanya.

Tahun 2021, kata Samsul, Dirjen Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus memiliki program pemberdayaan masyarakat adat. Lewat program tersebut, Kemendikbud akan mengadopsi model penguatan kearifan yang bisa diserap secara umum dan dirapkan di pendidikan formal Indonesia.

"Ada 50 sekolah adat, kami akan identifikasi semua, ambil simpul simpulnya. Misal di Jabar ada edukasi tanam bibit, mempertahankan bibit unggul padi, ekosistem setelah panen ditaruh di lumbung. Jadi tidak sama. Saat ini sudah ada 10 sekolah adat yang terpilih, nah saya ingin Kampoeng Batara jadi yang ke 11," katanya.

Banyuwangi sendiri, kata Samsul, menarik untuk diadopsi konsep pendidikan adatnya karena mengajarkan anak-anak untuk kreatif membuat aneka kerajinan bambu, menguatkan karakter serta kepemimpinan anak lewat permainan tradisional dan seni budaya suku Using.

"Ada sekolah adat murni, yang tidak ikut sekolah formal. Ada juga yang ikut sekolah formal nanti pulangnya belajar tentang kearifan lokal budayanya. Jadi dia bisa tumbuh mengakar, sehingga saat tumbuh dewasa dia tidak lupa dengan akar budayanya," terangnya.

Samsul berharap, di Banyuwangi wilayah wilayah yang sudah kuat melestarikan tradisi adat, harusnya juga memiliki sekolah adat agar lebih memperkuat wawasan dan kebanggaan adat suku Using kepada generasi muda.

"Jadi wawasan adat adat Suku Using harus diperkuat. Seperti di Kemiren itu bagus, harusnya di sana juga ada sekolah adat," katanya.

Sementara itu, pendiri Sekolah Adat Kampoeng Batara, Widie Nurmahmudy mengatakan bahwa selama ini, anak-anak yang belajar di sana diharapkan bisa tumbuh rasa percaya diri, tidak malu meski tinggal di perbatasan hutan KPH Banyuwangi Utara.

Oleh karena itu perlu untuk memperkuat karakter, kreativitas, kepemimpinan dan rasa bangga terhadap potensi sosial, budaya dan ekonomi di kampungnya.

"Kurikulum kampung Batara lebih ke kesepakatan yang dibangun diinisiasi oleh anak-anak sendiri. Tujuannya mandiri berfikir, berkreasi, aksi dan tanggung jawab. Poin tanggung jawab mereka tidak hanya ide tapi langsung eksekusi. Sistemnya selain teori langsung praktek," kata Widie.

Lebih lanjut, kata Widie, fokus kearifan lokal yang diperkuat sesuai potensi di kampungnya yakni bambu. Selama puluhan tahun warga di Papring menjadi perajin anyaman bambu, dia menginginkan generasi bisa bangga terhadap potensi tersebut, dan bisa menguatkan ragam kreativitasnya.

"Kemudian menguatkan kemampuan seni tradisi lokal, seperti belajar tari Gandrung, Pencak Silat Padepokan Satya Wirananggala yang merupakan seni bela diri lokal Banyuwangi," ujarnya.

Sejak 2015 berdiri, saat ini puluhan anak-anak yang tinggal di pinggir hutan mulai percaya diri untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, dan angka pernikahan dini juga menurun.

"Jadi memperkuat kearifan lokal di kampung, mengikat untuk kembali ke kampung. Walaupun sekolah keluar, karena secara karakter kuat dia akan memperkuat posisi kampung. Orientasi kembali ke kampung, dan tangguh menghadapi berbagai tantangan," jelasnya.

Dari segi penguatan ekonomi masyarakat, kata Widie, Kampoeng Batara juga tidak hanya menguatkan ragam kerajianan bambu.

Sektor lain seperti kopi juga menggandeng generasi muda untuk proses panen hingga pasca panen kopi yang tepat, pengemasan, hingga penjualan mandiri untuk meningkatkan harga jual.

"Kami juga coba menguatkan pangan lokal dengan mengajak warga mengaktifkan kembali lumbung jagungnya. Jadi lebih berdaya, tidak langsung dijual. Dan bisa mandiri bibit juga," katanya.

 

(*)