Liputan6.com, Jakarta - Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab menolak mengumumkan hasil pemeriksaan virus corona atau Covid-19 ke publik. Rizieq juga menolak upaya penelusuran kontak yang dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19.
Sikap tertutup Rizieq Shihab mendapat respons serius dari pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyesalkan sikap pemimpin FPI itu yang dinilai tidak kooperatif terhadap upaya Satgas Covid-19.
"Kami sangat menyesalkan sikap Saudara M Rizieq Shihab yang menolak untuk dilakukan penelusuran kontak, mengingat yang bersangkutan pernah melakukan kontak erat dengan pasien Covid-19," kata Mahfud Md, Minggu (29/11/2020).
Advertisement
Dia meminta Rizieq Shihab bersikap kooperatif terhadap upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19. Dia menyatakan bahwa pemerintah akan bersikap tegas serta memproses hukum pihak-pihak yang melanggar ketentuan dan membahayakan keselamatan masyarakat.
"Pemerintah akan melakukan langkah dan tindakan tegas bagi siapapun yang melanggar ketentuan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat," ujar Mahfud.
Tenaga Ahli Ketua Gugus Tugas Covid-19 sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia, M Nasser mengatakan, pemerintah berhak melakukan penelusuran terhadap orang-orang yang dicurigai terpapar corona. Dia menyatakan, masyarakat tidak boleh menolak upaya pemerintah tersebut dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.
"Jelas tidak boleh, karena ada banyak aturan yang mengatur, ada peraturan pemerintah (PP), ada peraturan menteri kesehatan. Saya mulai dengan PP yang sangat jelas yang menyatakan bahwa itu wajib, itu tidak boleh menolak Pasal 13 dan Pasal 14 PP Nomor 40 Tahun 1991 (tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular)," kata Nasser kepada Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Pasal 13 PP/1991 berbunyi:Â Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap masyarakat yang mempunyai risiko terkena penyakit wabah.
Sementara Pasal 14 berbunyi: Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dilakukan dengan atau tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan.Â
"Jadi pemerintah mau swab seseorang boleh ini dimungkinkan pada pasal 14. Bahkan juga kalau pemerintah mau seluruh kampung ini harus divaksin, 'oh saya tidak bersedia' itu tidak boleh. Pemerintah punya kewajiban, punya hak, atau wewenang," ucapnya.
Dia juga menyoroti penolakan Rizieq Shihab menyampaikan hasil tes usap atau swab test Covid-19 yang dilakukan secara mandiri. Rizieq mengklaim telah dites usap oleh tim kesehatan dari Lembaga Medis dan Kemanusiaan, MER-C.
Senada dengan pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md, Nasser menjelaskan bahwa pada prinsipnya semua pasien mendapatkan hak proteksi kerahasiaan tentang diagnosa, hasil pemeriksaan, obat-obatan, terapi, hingga prognosis. Namun kerahasiaan tersebut bukan berarti tidak bisa dibuka berdasarkan dalil lex specialis derogat legi generali.
"Alasan yang paling kuat adalah alasan kepentingan umum. Dalam kepentingan umum itu apabila ada sesuatu yang dapat berdampak terhadap umum, maka itu (kerahasiaan) bisa dibuka untuk kepentingan umum. Termasuk soal wabah ini, bisa dibuka," kata Nasser.
Hal tersebut, kata Nasser, diatur dalam Pasal 48 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, kemudian Pasal 57 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, lalu Pasal 38 UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Pasal 73 UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.Â
"Keempat UU ini, walaupun kalimatnya berbeda satu dengan yan lain, tapi isinya sama bahwa kerahasiaan medik itu bisa dibuka untuk umum. Saya kasih contoh pada Pasal 57 UU Kesehatan yang tadi saya sebut bahwa, ketentuan mengenai rahasia kondisi kesehatan pribadi tidak berlaku dalam hal apabila ada perintah UU, ada perintah pengadilan, apabila ada izin yang bersangkutan, dan apabila ada kepentingan masyarakat di sana," ujarnya menjelaskan.
Â
Nasser menegaskan bahwa pandemi corona merupakan kepentingan umum, berdasarakan Kepres No 11 Tahun 2020 tentang Covid-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Karena itu, hasil pemeriksaan tes usap Rizieq Shihab bisa dibuka.Â
Kendati begitu, bukan berarti hasil tes tersebut boleh diumumkan ke publik secara luas. Dia menyebutkan, hasil tersebut boleh disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Satgas Covid-19 baik di level nasional maupun daerah.
"Bukan untuk diumumkan ke publik, tapi disimpan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat untuk penanggulangan Covid-19. Pokoknya dia harus sifatnya kebijakan, bukan untuk dipublikasikan lagi kepada umum," ucap Nasser.
Lebih lanjut, Nasser juga menyinggung soal penolakan Rizieq Shihab terhadap swab test yang akan dilakukan Satgas Covid-19, karena berdalih telah dites usap oleh tim medis dari MER-C. Namun rupanya MER-C tidak memiliki laboratorium yang terdaftar sebagai tempat pemeriksaan sampel Covid-19.
Nasser menyatakan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 413 Tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dengan jelas mengatur standar laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan terkait virus corona. Tidak semua laboratorium bisa memeriksa Covid-19.Â
"Kemudian hasilnya itu dilaporkan melalui sebuah sistem pelaporan yang disebut all the record. Jadi kalau saya periksa, hasil swab saya itu dilaporkan ke nasional. Semua orang, bukan hanya saya. Dan itu tidak bisa seorang pun lari dari situ. Itu ada Permenkes yang mengikat. Jadi enggak bisa kita itu diam-diam memeriksa di rumah, enggak bisa," ucap Nasser menandaskan.
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bisa Disanksi?
Nasser menuturkan, pihak-pihak yang menutup hasil tes Covid-19 dan menolak penelusuran pemerintah bisa disanksi pidana sesuai Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, tindakan tersebut dianggap menghalang-halangi upaya penanggulangan wabah. Â
"Jadi kalau memang polisi ada maksud untuk menjerat seseorang ya dia pakai itu. Tapi ada yang salah dalam penggunaan itu. Itu ultimum remedium adalah pilihan terakhir. Biasanya itu tidak langsung pidana, harus dimulai dengan sanksi-sanksi hukum administrasi, pendekatan-pendekatan yang kira-kira menyadarkan masyarakat. Pidana itu terakhir. Saya juga mengecam polisi semuanya pendekatan pidana, tidak boleh itu," katanya.
Berbeda dengan Nasser, Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir mengatakan, Rizieq Shihab tidak bisa disebut melakukan penghalangan berdasarkan Pasal 93 Jucto Pasal 9 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, di Indonesia tidak ada satu pun wilayah yang menerapkan karantina wilayah alias lockdown.
Baik Provinsi DKI Jakarta maupun Jawa Barat yang merupakan lokasi Rizieq Shihab dirawat, hanya menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), bukan karantina wilayah. Dia menegaskan, PSBB berbeda dengan karantina wilayah.
"Jadi tidak ada produk hukum yang mengatakan Jakarta sebagai kota karantina. Berarti hukum kekarantinaan tidak berlaku, maka rujukan pasal tadi harus ada hukum kekarantinaan, karena Jakarta tidak memenuhi itu, maka pasal itu tidak berlaku," kata Mudzakir kepada Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Lebih lanjut, menurut dia, sikap Rizieq Shihab yang menolak tes usap atau swab test Covid-19 dari pemerintah tidak bisa dijadikan sebagai pelanggaran menghalang-halangi petugas dalam menanggulangi pandemi corona.Â
"Kan enggak ada orang wajib swab atau tidak. Sesungguhnya yang dilarang adalah orang terkontaminasi terus pergi ke mana-mana, sehingga kalau orang itu di dalam kota karantina lalu keluar dari kota itu, nah itu yang dipidana. Tapi kan Jakarta hanya PSBB, bukan karantina, jadi tidak ada keharusan mengikuti aturan seperti kota karantina," kata Mudzakir menjelaskan.
Guru besar hukum pidana UII ini juga menyinggung soal sikap tertutup Rizieq Shihab terhadap hasil tes usap Covid-19 yang dilakukan secara mandiri.Â
"Kalau orang mau tes jadi data pribadi, karena kehendak sendiri, tidak bisa diuber-uber kaya maling. Karena dia suka rela pergi untuk tes sendiri, kaya orang mau berpergian aja tes rapid, itu kan pribadi hasilnya, kalau non-reaktif ya berangkat, kalau reaktif ya enggak berangkat. Tapi kalau dia reaktif juga kan bukan berarti harus dikejar-kejar (untuk tes usap) karena itu kan sukarela," ucap Mudzakir.
Karena itu, Mudzakir menyimpulkan bahwa Rizieq Shihab tidak bisa disanksi berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan. Sebab, tidak ada wilayah di Indonesia yang menerapkan karantina wilayah dalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini, termasuk DKI Jakarta.
Lebih lanjut, dia juga menyinggung pernyataan Menko Polhukam yang menyatakan, bahwa pihak-pihak yang menghalangi tugas pemerintah dalam pengendalian pandemi Covid-19 dapat disanksi berdasarkan Pasal 212 dan Pasal 216 Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP).
Adapun Pasal 212 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Sementara Pasal 216 KUHP ayat (1) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000.
"Menurut saya tidak pernah ada ucapan dan perbuatan yang menghalang-halangi yang dilakukan oleh Habib Rizieq. Pengalihan Pasal 212 dan 216 KUHP tersebut menunjukan bahwa penegakan hukum dalam masa Covid-19 tidak objektif, lebih ditujukan kepada orangnya dari pada kepada perbuatannya," kata Mudzakir.
Mudzakir menyebut, cara penanganan hukum seperti itu telah ditinggalkan sejak era reformasi 1998. Dia pun menyesalkan pernyataan tersebut yang justru keluar dari mulut Menko Polhukam.
"Seharusnya, dalam masa Covid-19 ini temanya kebijakan Covid-19, jangan dialihkan kepada pasal lain. Penegakan hukum pidana itu harus objektif, independen, dan merdeka dari kekuasaan manapun. Jika melihat orangnya, berpotensi melanggar UUD RI 1945," ujarnya.
Advertisement
Masalah Kecil
Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menyatakan, bahwa setiap kasus mempunyai hak kerahasiaan. Menurut dia, penelusuran Covid-19 terhadap Rizieq Shihab tidak perlu terlalu diumbar ke publik.
"Jadi setiap kasus, itu punya hak confidential. Confidential-nya Habib Rizieq juga ada, menurut saya dihargai. Kemudian jangan diekspose terlalu banyak. Kalau pemerintah mau melakukan sesuatu ya lakukan saja, tapi diam-diam, jangan diumbar ke media. Buat apa tujuannya diumbar ke media," kata Tri Yunis kepada Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Menurut dia, pemerintah tidak perlu tahu soal hasil tes Covid-19 Rizieq Shihab. Kata dia, yang boleh tahu adalah Satgas Covid-19 untuk menentukan langkah lanjutan.Â
"Satgas (Covid-19) Jakarta tahu menurut saya, Dinas (Kesehatan) Jakarta ada dapat laporan tapi dia tidak akan umbarkan. Jadi ada confidential, kalau dia bilang enggak tahu ya itu konfidensialitasnya. Satgas itu tidak boleh membuka, karena itu confidential. Bahwa Pak Rizieq positif atau negatif itu rahasia. Satgas enggak akan bicara. Satgas tahu kalau dia diperiksa," ucapnya.
Tri Yunis sependapat bahwa upaya 3TÂ (testing, tracing, treatment)Â penting dilakukan untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Namun upaya tersebut harus diberlakukan sama kepada semua masyarakat, bukan hanya untuk orang-orang tertentu.
Kendati, dia tak mempermasalahkan jika ada masyarakat yang menolak upaya pemeriksaan, penelusuran, hingga pengobatan Covid-19.
"Masyarakat menolak silakan saja. Emang ada UU-nya di Indonesia? Engak ada. Yang ada Perda doang satu dan itu hanya Perda Jakarta, di provinsi lain enggak ada. Ya kalau kooperatif itu kalau masyarakatnya mau, kalau enggak ada UU-nya enggak dipaksa. Orang boleh bekerja sama boleh tidak," kata Tri Yunis.
Dia menambahkan, Satgas Covid-19 DKI Jakarta bisa melakukan pemeriksaan ulang Covid-19 terhadap Rizieq Shihab atau meminta laporan hasil tes usap jika telah dilakukan di laboratorium berstandar. Jika menolak, Rizieq bisa didenda Rp 5 juta sesuai Perda DKI No 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19.
"Bisa (didenda). Ada perdanya. Ya kalau pun dia mau bayar kan berarti dia mengatakan 'saya udah periksa, saya denda ajalah'. Perdanya bilang denda, ya boleh," ucapnya.
Sebagai epidemiolog, Tri Yunis berharap semua masyarakat patuh terhadap upaya pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Bukan hanya kepada Rizieq Shihab, dia meminta semua masyarakat bersedia diperiksa, ditelusuri, hingga dirawat, di samping juga harus mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Lebih lanjut, dia berharap pemerintah tidak terlalu membesar-besarkan kasus Rizieq Shihab ini. "Kalau menurut saya jangan digembor-gemborkan lah. Habib Rizieq cuma satu orang, masih banyak kasus lainnya. Mari kita konsentrasi pada masyarakat, bukan satu orang. Jangan fokus ke satu orang dong penanggulangannya. Jangan dicontoh yang salah," ujar Tri Yunis.
Hal serupa juga disampaikan Epidemiolog UI, Pandu Riono. Menurut dia, pemerintah terlalu sibuk mengurus masalah kecil seperti penolakan Rizieq Shihab terhadap penelusuran kontak yang dilakukan Satgas Covid-19.Â
"Itu kan kasus kecil, kenapa repot-repot pemerintah ngurusin," katanya kepada Liputan6.com, Senin (30/11/2020).
Menurut Pandu, Rizieq Shihab berhak merahasiakan hasil tes usapnya. Rizieq juga dinilai bebas melakukan tes Covid-19 di tempat yang ia pilih.
Dia mengakui bahwa bersikap kooperatif terhadap upaya Satgas Covid-19 melalui 3T penting. Namun dia mengingatkan bahwa kenaikan kasus positif Covid-19 ini bukan karena kerumunan massa, melainkan akibat libur panjang. Â
"Sekarang itu kenaikan kasus bukan karena kerumunan, jangan terdistraksi. Karena liburan panjang. Itu yang harus diurus, ngapain ngurusin yang enggak penting. Ini kan cuma satu kasus aja, enggak ada pengaruhnya. Urusin yang penting yang fokus. Kalau enggak mau ya diedukasi. Diajak kerja sama dari awal. Jadi pemerintah itu harus mengajak kerja sama semua elemen masyarakat. Tidak ada kewajiban untuk testing, tidak ada kewajiban untuk vaksinasi," kata Pandu.
Pandu menilai, sejak awal Covid-19 masuk ke Indonesia, stigma dan diskriminasi terhadap virus tersebut begitu luas. Jika stigma negatif terhadap Covid-19 bisa diatasi dengan baik, dia yakin penanggulangan pandemi akan lebih mudah.
"Sehingga, orang kalau tidak ada stigma tidak ada diskriminasi, enggak halangan dia dites. Mungkin ada sebagaian orang yang enggak mau, ya enggak apa-apa kalau enggak mau," katanya menandaskan.
Pentingnya Keterbukaan Data Covid-19
Keterbukaan data pasien Covid-19, menurut Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) merupakan hal penting untuk kebutuhan penelusuran kontak (tracing). Data tersebut akan membantu penanganan Covid-19, seperti soal pengambilan kebijakan.
Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih menjelaskan, data pasien Covid-19 harus dibuka, terutama ditujukan kepada pihak yang berwenang dalam penanganan pandemi corona, bukan dibuka untuk publik.
"Yang dimaksud data pasien dibuka itu bukan kepada publik. Tapi dibuka dan dilaporkan pada pihak-pihak yang berwenang demi kepentingan tracing dan penanganan pandemi," jelas Daeng saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (30/11/2020).
"Kalau enggak diketahui sebenarnya seperti apa hasilnya. Ya, gimana mau men-tracing orang-orang yang sudah kira-kira berkontak erat dengan pasien yang bersangkutan."
Permintaan keterbukaan data pasien Covid-19 sudah disuarakan IDI bersama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) saat kejadian temuan pasien positif Covid-19 pertama kali di Depok, Jawa Barat beberapa bulan lalu.
"Yang jelas, keterbukaan data ini kepentingan bersama. Terus terang, kami dari (organisasi) profesi tidak melihat orang per orang (soal keterbukaan data). Kami melihat ini untuk kepentingan umum," lanjut Daeng.
Untuk pelaporan data pasien Covid-19, fasilitas kesehatan (faskes) atau rumah sakit mempunyai sistem All Record atau All Medical Record. Seluruh data pasien yang masuk, baik berisi gejala, penanganan, dan kontak erat dimasukkan ke dalam All Record.
"Jadi, seluruh hasil penanganan dan pemeriksaan yang terkait dengan Covid-19 harus dilaporkan ke sistem dan di-upload, supaya data yang masuk itu bisa dipakai untuk tracing, penanganan, dan kebijakan. Mestinya seluruh rumah sakit yang berkaitan dengan Covid-19 menggunakan sistem tersebut. Tidak memandang orang per orang, tapi siapapun orangnya, data itu dimasukkan ke sistem," kata Daeng.
Lantas apakah rumah sakit atau faskes yang tidak terbuka data pasien Covid-19 kena sanksi? Daeng menjawab, tergantung aturan yang diberlakukan. Kalau aturan mewajibkan dan mengharuskan, maka seluruh rumah sakit wajib melaporkan hasil pasien yang diperiksa.
"Tinggal dilihat bunyi aturannya, seperti apa," ucapnya.Â
Advertisement