Jakarta - Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh KPK di Bandara Soekarno-Hatta terkait kasus izin ekspor benih lobster pada 25 November lalu, terus jadi sorotan. Politisi Gerindra itu pun telah mengundurkan diri dari jabatannya di pemerintahan.
Dari hasil penyidikan KPK, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan juga USD 100.000 (Rp 1,4 miliar) dari Suharjito (Direktur PT DPP) terkait izin ekspor benih lobster atau benur. Tujuannya agar perusahaan Suharjito ditetapkan sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Baca Juga
PT ACK memonopoli forwarder ekspor benih lobster, karena mereka satu-satunya yang direstui Edhy Prabowo, sehingga sederet perusahaan eksportir benih lobster mesti memakai jasa PT ACK, yang memasang tarif Rp 1.800 per benih. PT ACK ditunjuk oleh Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi), yang diduga berada di bawah komando tersangka lain dalam kasus ini, Andreau Pribadi, yang merupakan Staf Khusus Menteri KKP Edhy Prabowo. KPK mensinyalir Edhy Prabowo memiliki saham di ACK melalui nominee atau pinjam nama.
Advertisement
Berdasarkan keterangan pers Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, kasus ini dimulai saat Edhy menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (due diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020. Edhy menunjuk dua staf khususnya, Andreau dan Safri, sebagai ketua dan wakil ketua pelaksana tim. Kedua bertugas memeriksa kelengkapan administrasi yang akan diajukan calon eksportir benur.
Pada Oktober lalu, Safri bertemu Direktur PT DPP Suharjito di lantai 16 kantor KPP. Dalam pertemuan itu disebutkan bahwa ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK. Setelah terjadi kesepakatan, atas perintah Edhy, Tim Uji Tuntas memberikan hak ekspor benur kepada PT DPP. PT DPP mentransfer duit Rp 731.573.564 ke rekening PT ACK dengan pengiriman yang dilakukan sebanyak 10 kali.
Total ada 17 orang yang diamankan dan diperiksa KPK, termasuk Menteri KKP Edhy Prabowo dan istrinya yang juga merupakan anggota DPR, serta dua orang dirjen di KKP, serta sejumlah staf khusus Menteri Edhy, staf istri menteri Edhy, juga pengusaha. Dari 17 orang itu, KPK akhirnya menetapkan tujuh orang tersangka.
Pro-Kontra
Urusan ekspor benih lobster belakangan memicu pro dan kontra. Indonesia diketahui merupakan pemasok benih lobster untuk negara seperti Vietnam dam Filipina, yang merupakan negara pembudidaya lobster. Lalu, Vietnam dan Filipina menjual lobster yang siap konsumsi untuk pasar ekspor mereka.
Pada periode KKP sebelumnya yang dipimpin Susi Pudjiastuti, aturan ekspor benih lobster dilarang melalui Permen (Peraturan Menteri) KP nomor 56 tahun 2016. Dengan aturan itu, ternyata penyelundupan benur tetap marak.
Seperti dilansir The Conversation, dari Tahun 2015 sampai Juni 2019, terdapat 263 kasus penyelundupan benih lobster yang digagalkan pemerintah. Sebanyak 9.825.677 ekor benih lobster yang diperkirakan bernilai Rp 1,37 triliun berhasil diselamatkan.
Setelah Edhy Prabowo menggantikan Susi, aturan ekspor benih lobster itu direvisi dengan menerbitkan Permen No 12 Tahun 2020. Edhy mengklaim Permen KKP No 12/2020 yang terkait ekspor benih lobster menguntungkan bagi nelayan, pembudidaya, pelaku usaha, dan negara.
Legalisasi ekspor benih lobster diatur dalam Permen KP No 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia, yang ditetapkan pada 4 Mei 2020.
Selain itu, alasan mengeluarkan Permen 12 Tahun 2020 adalah karena KKP mengaku menerima keluh kesah ribuan nelayan penangkap lobster yang kehilangan mata pencaharian sejak terbitnya Permen KP 56/2016 pada periode kepemimpinan Susi Pudjiastuti di KKP. Dalam situs KKP pada 23 Juli lalu juga menyebut Permen 12 Tahun 2020 diterbitkan agar "Everybody happy" - nelayan, pembudi daya, eksportir dan negara mendapat keuntungan.
Edhy Prabowo sempat menyatakan, kesejahteraan nelayan yang selama ini hidupnya bergantung pada benih lobster juga menjadi alasan lain mengeluarkan Permen tersebut. Dia juga mengaku sudah mempertimbangkannya secara ilmiah, meski tidak menyebut lebih rinci.
Tapi, alasan itu kemudian pernah ditanggapi Susi dengan keheranan, karena menurutnya banyak sumber daya laut yang bisa diambil oleh nelayan, bukan hanya benih lobster, sehingga tidak mungkin nelayan tidak punya pekerjaan. Menurut Susi, hanya Indonesia, negara yang mengizinkan ekspor benih lobster.
Sejumlah negara seperti Australia, Filipina, Kuba, hingga Sri Lanka tidak mengambil benih lobster untuk diekspor. Malah, Australia melarang penangkapan lobster dengan jenis kelamin betina, supaya agar keberlanjutannya tetap terjaga. Di sisi lain, permintaan benih lobster terbanyak datang dari Vietnam.
Kala itu, Susi juga menyebut, apabila tidak bisa menangkap benih, nelayan masih boleh menangkap lobster yang setidaknya ukurannya mencapai 100 gram. Harga lobster ukuran konsumsi biasanya mencapai ratusan ribu rupiah, tergantung dari jenis dan ukurannya. Sementara harga benih lobster sendiri berada di kisaran Rp 5.000 sampai Rp 10.000, terbilang turun setelah keran ekspor benur dibuka Menteri KKP Edhy Prabowo.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi, menilai ada dua kerugian besar bagi Indonesia jika melakukan ekspor benih lobster.
"Pertama, kerugian dari sisi kepentingan jangka pendek. Kalau benih lobster hilang, maka lobster (dewasanya) makin sulit didapat. Padahal, lobster itu memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi manakala diurus alamnya secara baik dan tidak dilakukan eksploitasi secara besar-besaran. Itu bisa dilihat dari nelayan Pangandaran dan Sukabumi saat ini sudah sulit mendapatkan lobster dewasa," kata Dedi kepada Liputan6.com.
Kedua, kata Dedi, Indonesia melakukan kesalahan dengan mengirim lobster ke Vietnam yang menjadi kompetitor dalam perdagangan perikanan laut.
"Dampaknya adalah Vietnam oversupply dan kemudian mereka memiliki lobster dewasa yang semakin banyak. Akhirnya nilai ekspor lobster mereka ke Tiongkok semakin tinggi, sementara kita mengalami penurunan."
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Kontroversi Permen KP No 12 Tahun 2020
Sekretasi Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, merasa ada keanehan ketika yang direvisi Menteri Edhy Prabowo adalah Permen lobster dan malah memperbolehkan ekspor benur.
"Ini yang jadi permasalahan, Permen sebelumnya direvisi dengan menjadi Permen nomor 12 tahun 2020 yang memperbolehkan ekspor benih. Kalau narasi yang dibangun bahwa ini untuk kepentingan nelayan tradisional, saya rasa tidak sepenuhnya benar-benar jujur," kata Susan ketika dihubungi Liputan6.com.
"Karena kan untuk lobster ada dua subjek, yang pertama penangkap lobster, yang kemarin teriak-teriak ketika dilarang menangkap dan mengekspor benih pada era Susi. Yang kedua, nelayan pembudidaya, yang notabene mendukung untuk tidak ada lagi ekspor. Kalau mau ekspor, mereka ingin dibenahi dulu tata kelolanya. Ini yang menarik, di Permen nomor 12 Tahun 2020, ada banyak catatan. Seperti, boleh ekspor, tapi syaratnya perusahaan eksportir harus pernah dua kali melakukan budi daya. Artinya, kalau sekali budi daya lobster memakan waktu setidaknya 6 bulan, maka kalau minimal dua kali, berarti baru setahun boleh melakukan ekspor."
Namun, penelurusan KIARA menemukan beberapa perusahaan yang belum satu tahun melakukan budi daya lobster, tapi malah sudah bisa ekspor. Susan meminta ada pengecekan lebih rinci dan ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi syarat untuk bisa ekspor benur.
KKP dituntut untuk lebih sungguh-sungguh dalam menegakkan aturan agar tidak terjadi manipulasi dokumen perusahaan eksportir. Susan pun menganggap alasan Edhy Prabowo menerbitkan Permen nomor 12 Tahun 2020 untuk kesejahteran nelayan, hanya pemanis.
"Ada aturan yang disusun, tapi pada saat bersamaan seperti pemanis saja. Kalau ngomongin keberlanjutan, ruang hidup, kedaulatan, itu pemanis saja. Di situ kemudian, Eddy terjebak. Kemudian ada monopoli dari pemilihan Cargo. Dia (Edhy Prabowo) menunjuk satu orang, dan harganya mahal sekali. Ini yang menjadi sengkuratnya masalah lobster ini."
Susan mengungkapkan, setelah melihat dinamika terakhir, publik seperti diperlihatkan wajah paling real bagaimana pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dia menilai pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang yang menjadikan ruang laut sebagai komodifikasi.
"Jadi proyek bancakan segelintir orang. Ini belum lagi ngomongin partai politik tertentu ya, ada orang partai tertentu yang dapat banyak sekali kuota (ekspor benur)," beber Susan.
"(Permen KP No 12/2020) Itu yang diuntungkan ya oknum-oknum, partai politik, dan oligarki itu sendiri. Kalau ngomong untuk nelayan, itu bohong sih. Kecuali memang relasi yang kita lihat dari lobster ini, relasinya hanya sebatas, eksportir dengan buruh. Itu saja. Kalau ngomongin keuntungan, tidak bisa dilihat dari ekonomi saja. Kerugian yang ditimbulkan oleh penangkapan lobster besar-besaran ini, itu kerugiannya lebih banyak."
Kerugian Ekologi
Penangkapan lobster secara berlebihan dapat menyebabkan kerugian ekologi, di mana apabila lobsternya terlalu banyak diambil, tentu akan ada rantai makanan di laut yang terancam. Susan berpendapat, hal tersebut tidak dilihat oleh para pemangku kebijakan.
Sementara itu, sosok yang ditunjuk sementara menggantikan Edhy Prabowo di KKP, Luhut Binsar Panjaitan, terang-terangan menyebut tidak ada masalah dengan Permen KP nomor 12 Tahun 2020. Dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Luhut mengatakan sudah mengecek Permen tersebut dan menurutnya program itu semua hasilnya dinikmati rakyat.
Luhut hanya mengakui terdapat mekanisme yang keliru dalam pengangkutan benih bening lobster dari Indonesia ke negara tujuan ekspor. Hal ini membuat KKP kemudian memilih menghentikan sementara kebijakan ekspor benih lobster.
"Jadi, Pak Sekjen (KKP) dan tim sedang mengevaluasi, nanti Minggu depan dilaporkan ke saya. Kalau memang kita lihat bagus kita teruskan, karena sekali lagi tadi Pak Sekjen menyampaikan ke saya, itu memberikan manfaat ke nelayan di pesisir selatan. Di mana situ juga harus diperhatikan siklusnya, harus nebar sehingga jangan seperti over-fishing," ujar Luhut.
Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI, Anta Maulana Nasution, menilai, Permen KKP tersebut memberikan pembaharuan ke arah pengelolaan sumber daya lobster, namun untuk sisi kebijakan ekspornya, perlu dikaji ulang.
"Tidak perlu dicabut, kalau dicabut menurut saya jangan karena dengan Permen ini membawa pembaharuan untuk pengelolaan sumber daya lobster tetapi yang jadi masalah adalah kebijakan ekspor benurnya," terang Anta dalam diskusi LIPI Sapa Media #6, Senin (30/11/2020).
Anta berpendapat, Permen KP nomor 12 tahun 2020 bukan produk kebijakan yang buruk, sebab didalamnya diatur mengenai pengelolaan, budidaya, dan penangkapan lobster yang baik untuk nelayan. Yang harus dilakukan, menurut dia adalah revisi dan kajian ulang terkait ekspor benur di pasal 5 terkait eksportir.
"Saya setuju, tapi hilangkan monopoli harga, kargo, pengepul, pokoknya hilangkan dahulu semua monopoli dan oligarki, ini penyakit utamanya adalah monopoli, nelayan hanya dapat uang Rp 5 ribu, sedangkan ekspor dapat untung hingga ratusan ribu, ini kan monopoli,” kata Anta.
Menurut Anta, jika monopoli dihilangkan maka nelayan lobster akan sejahtera, selain itu Pemerintah perlu untuk mengkaji ulang pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 terkait ekspor.
“Saya sangat mendorong revisi permen KKP Nomor 12 tahun 2020, mendorong untuk dievaluasi dan dikaji ulang bukan hanya di stop ekspor benur, tapi benar-benar dievaluasi secara keseluruhan, intinya kalau ingin mensejahterakan nelayan buatlah kebijakan yang mensejahterakan nelayan,” pungkas Anta.
Advertisement
Lobster Komoditas Seksi
Berdasarkan data BPS, setelah pemberlakukan Permen KP 12/2020 oleh Edhy Prabowo, ekspor benih lobster mencapai USD 15,16 juta untuk 6.024 kg benih selama September 2020. Angka ini meningkat dari Agustus 2020 yang hanya menyentuh USD 6,43 juta untuk 4.215 kg.
Bukan rahasia lagi bahwa krustasea atau udang-udangan jenis lobster merupakan komoditas yang sangat seksi. Dari jaman ke jaman, selain udang, lobster memiliki market demand yang sangat tinggi.
Permintaan terbanyak lobster yang siap dikonsumsi biasanya datang dari Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Ini mengapa ekspor benih lobster menjadi praktik yang diincar banyak pengusaha. Dari data yang dihimpun KIARA, terakhir saja ada 60 perusahaan yang terdaftar sebagai pengekspor benih lobster.
Namun, di awal setelah dikeluarkannya Permen KP nomor 12 Tahun 2020, baru ada 27 perusahaan yang mendapat kuota ekspor benih lobster. Menurut Susan Herawati, untuk satu perusahaan bisa mendapat kuota 20 sampai 25 juta benih lobster.
"Itu ada perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo (Adik Prabowo). Ada milik Fahri Hamzah. Ada punya adiknya politikus siapa atau anaknya politikus siapa," ungkap Susan.
"Kalau kemarin kasusnya Edhy, ini baru monopoli kargo, dia kenakan biaya Rp 1.800 per benih. Nah Rp 1.800 dikali 25 juta benih lobster, berapa tuh? Jadi, untuk melihat kasus ini, jangan melihat OTT-nya. Rp 4,8 miliar itu kecil. Tapi, kemudian lihat rantainya, dari mulai keluar izin. Siapa-siapa yang dapat kuota berapa, nanti kan di ujungnya dilihat dari kargo. Kargonya yang main cukup besar, Rp 1.800 lho per lobster, taruh lah dia kenakan fee Rp 800 per lobster, Rp 1.000 untuk perputaran oknum-oknumnya, untuk izin ini, izin itu, berapa itu duit yang berputar di situ?"
Menurut analisa tim KIARA, terpublikasi dan terbongkarnya kasus suap ekspor benur ini tidak lain karena adanya persaingan bisnis antara perusahaan-perusahaan. Banyak masuknya orang politik ke bisnis ekspor benih lobster dinilai Susan menyulitkan perusahaan lain yang lebih dulu berkecimpung.
"Ini dulu ada perusahaan yang di periodenya Susi sakit hati karena dilarang total ekspor benih lobster, dan di periode ini melakukan lobi. Diubahlah aturan sama Menteri Eddy. Tapi, kok menterinya kenapa malah kasih izin (ekspor) paling banyak ke orang politik. Ya sekali lagi, ini persaingan bisnis seperti biasa, kalau saya analisa ya seperti itu," jelas Susan.
"Sedari awal sejak (Edhy Prabowo) terpilih, memang kami tahu bahwa dia 'Membuka menu'. Dia bilang akan memperbaiki Permen-Permen atau aturan yang bermasalah. Wah itu angin segar. Dan belum lagi di dalam timya dia sebenarnya, untuk tim ahli ya, ada yang pada periode sebelumnya sakit hati lah sama Susi. Saya tidak membela Susi ya. Saya merasa dua-duanya bermasalah. Sekarang, masuk ya dikasih ruang."
Susi pun ketika melarang ekspor benur lewat Permen KP nomor 56 tahun 2016 dinilai tidak menyiapkan dengan matang integrasi untuk para nelayan penangkap benih lobster dan para eksportir. Kala itu, aturan Susi juga memperoleh banyak sekali penolakan, terutama di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Ketika aturan ini dikeluarkan Susi, yang notabenenya betul-betul melarang (ekspor benur), hal itu tidak dibarengi dengan peralihan atau transisisi. Orang yang kemudian dilarang total mengekspor benih lobster, lalu negara ini memberikan apa untuk mereka yang penghidupannya hilang setelah aturan larangan tersebut. Susi tidak menyiapkan skema itu. Walaupun kemudian dia menyiapkan, itu tidak terlalu matang. Ini kan permasalahan perut," papar Susan.
Solusi Untuk Nelayan
Menurut Dedi Mulyadi, nelayan Indonesia sebenarnya melakukan budidaya lobster sendiri. Namun, mereka butuh subsidi dari pemerintah Indonesia.
"Nelayan kita ini terjebak dalam kepentingan jangka pendek. Dia harus dapat uang per hari. Dengan dibukanya ekspor lobster, maka beberapa nelayan mungkin di Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa mendapatkan uang tunai setiap hari, karena mendapatkan baby lobster itu mudah."
"Bagaimana caranya agar dikembangkan budidaya lobster oleh nelayan? Negara kan bisa memberikan subsidi bagi karyawan industri yang penghasilannya di bawah Rp 5 juta, disubsidi dulu juga para nelayan untuk memelihara lobster selama lobsternya belum dewasa."
Selain itu, lanjut Dedi, pemerintah juga bisa mendorong pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengembangan lobster.
"Negara harus berperan dalam menjaga regulasi laut dan menjaga kelangsungan hidup nelayan. Bagaimana konservasi terjaga, ekosistem utuh, pengelolaan pembangunan sumber daya kelautan yang berkesinambungan berhasil, ya nelayannya harus diintervensi," ucap politisi Golkar tersebut.
"Kalau kita ekspor benih lobster, yang paling diuntungkan ya Vietnam. Mereka kompetitor kita dan dikirimin benih, dan bisa jualan lobster dewasa. Kemudian lobster itu di antaranya makannya ikan rucah, dan itu berada di perairan Indonesia, diambil juga oleh Vietnam lewat pencurian ikan menggunakan troll," ujarnya.
Butuh Tata Kelola Lebih Baik
Setali tiga uang, menurut Susan Herawati, nelayan Indonesia juga sesungguhnya mampu menjual lobster sampai ukuran yang lebih besar. Tapi, memang butuh tata kelola yang lebih baik. Para pembudidaya lobster bukan tidak bisa bertahan untuk tidak panen cepat, tapi mereka sudah terbiasa dengan pola cepat, karena kebutuhan ekonomi sehari-hari yang cukup tinggi.
"Negara harus menyiapkan satu skema lewat mekanisme koperasi nelayan misalnya, di situ ada bantuan program pemberdayaan. Di situ kemudian nelayan-nelayan pembudi daya ini diajak bekerjasama, menahan supaya tidak menjual lobster dalam ukuran yang lebih kecil. Bukan teknik budidayanya yang jadi masalah, tapi fasilitasnya. Mengubah kebiasaan. Mereka yang biasa panen cepat, menahan mereka untuk tak cepat panen dan menjual lobster yang masih kecil. Dan ini butuh modal yang lebih besar," ucap Susan.
"Kalau Luhut bilang ekspor saja, ya ekspor enak, mereka tidak butuh anggaran besar. Langsung saja jual murah dengan kondisi lobster seadanya. Urus lobster itu bukan kita tidak mampu, ini soal negara mau tidak. Soal political will-nya, mau enggak ngurusin begitu. Itu yang berat."
"Akan berbeda kalau kita hanya mengekspor benih atau mengekspor lobster yang siap dikonsumsi. Dengan mengekspor lobster siap konsumsi, kita akan menguasai teknologi dan kemampuan budidayanya dan memiliki posisi tawar lebih besar ketimbang ketika kita hanya dianggap sebagai ladangnya saja. Dan dari sisi penerimaan pajak, akan dirasakan sekali oleh negara," imbuhnya.
Susan menjelaskan, sebenarnya mekanisme koperasi bisa membantu nelayan pembudi daya lobster, setelah itu bisa diatur periode tebar benihnya agar perputaran siklus ekonominya tetap jalan. Jadi, nelayan pembudi daya lobster tidak panen dalam satu momen bersamaan.
"Bantuan kepada nelayan bisa berbentuk modal usaha di koperasi. Simpan pinjam untuk kapital pertama, karena untuk mengubah pola itu sepertinya butuh satu effort yang luar biasa. Karena biasanya mereka satu bulan dapat uang, ini perlu waktu lebih lama lagi. Ini yang kemudian harus dorong."
"Di sisi lain, teknologinya seperti fasilitas budidaya, mulai dari tempat-tempat untuk lobsternya dan yang lainnya. Tapi, sebenarnya yang paling dibutuhkan yakni menjadikan para nelayan ini lewat mekanisme koperasi sebagai eksportir lobster sesungguhnya. Itu yang perlu diajari ke nelayan, soal manajemen keuangan," pungkasnya.
Advertisement