Sukses

Respons Muhammadiyah, PBNU, MUI hingga JK soal Seruan Azan Berisi Ajakan Jihad

Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengatakan lafaz azan yang diganti dengan seruan berjihad merupakan hal yang keliru.

Liputan6.com, Jakarta Viralnya video seruan 'azan jihad' yang diduga dikumandangkan oleh tujuh orang warga Desa Sadasari, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, kini menuai polemik dari berbagai kalangan.

Dalam video yang beredar mereka terdengar memelintir penggalan 'hayya alash shalah' menjadi 'hayya alal jihad'.

Menanggapi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat langsung menggelar pertemuan dengan sejumlah perwakilan ormas Islam tingkat Jawa Barat di Kantor MUI Jawa Barat, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat, 4 Desember 2020. 

Adapun yang menghadiri pertemuan tersebut di antaranya, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Ummat Islam (PUI), Mathla'ul Anwar dan Syarikat Islam (SI).

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Erdi A. Chaniago sempat menyampaikan, Forkopimda Kabupaten Majalengka, MUI Kabupaten Majalengka serta pihak Kemenag setempat telah melakukan rapat koordinasi di Polresta Majalengka.

Hasilnya, kata Erdi, pertemuan menilai bahwa azan jihad itu tidak sesuai dengan syariat Islam.

Berikut deretan respons JK hingga MUI terkait seruan azan berisi ajakan jihad yang dihimpun dari Liputan6.com:

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 6 halaman

Jusuf Kalla

Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengatakan lafaz azan yang diganti dengan seruan berjihad merupakan hal yang keliru.

Ia menegaskan bahwa DMI menolak seruan jihad yang dilakukan sekelompok orang di masjid dan viral di sosial media tersebut.

"Azan hayya alal jihad itu keliru, harus diluruskan. DMI menyatakan secara resmi menolak hal-hal seperti itu. Masjid jangan dijadikan tempat untuk kegiatan yang menganjurkan pertentangan," ujar Jusuf Kalla dalam rapat webinar pengurus DMI se-Indonesia, Selasa, 1 Desember 2020. 

Diketahui, pada rapat virtual itu dihadiri Wakil Ketua Umum DMI yang juga mantan Wakapolri Syafruddin, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Masdar Masudi, Wakil Sekjen MUI Manan Abdul Ghani, Sekjen DMI Imam Addaruquthni, dan Ketua Umum BKPRMI Said Al Idrus.

Kemudian, Jusuf Kalla meminta pengertian jihad jangan disalahartikan, apalagi mengarah ke hal-hal yang negatif.

"Jihad memang tidak selamanya bermakna negatif. Karena menuntut ilmu atau berdakwah bisa diartikan berjihad. Sehingga kalau mau berjihad dapat dilakukan dalam menuntut ilmu atau berdakwah," kata Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI itu.

 

3 dari 6 halaman

Muhammadiyah

Tak hanya JK, Pimpinan Pusat Muhammadiyah pun dibuat geram akan video lafal azan yang diganti dengan ajakan jihad tersebut.

Maka dari itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti meminta aparat keamanan menyelidiki video tersebut serta menghapusnya agar tidak meresahkan masyarakat.

"Aparat keamanan dapat melakukan penyelidikan dan memblokir supaya video azan tersebut tidak semakin beredar dan meresahkan masyarakat," kata Mu'ti dalam keterangan tulis pada Selasa, 1 Desember. 

Menurutnya selama ini ia tidak pernah menemukan hadis yang menjadi dasar hayya 'alal-jihad tersebut. Apalagi menemukan dalilnya.

"Saya belum menemukan Hadis yang menjadi dasar azan hayya 'alal jihad. Saya juga tidak tahu apa tujuan mengumandangkan azan dengan bacaan hayya 'alal jihad," kata petinggi Muhammadiyah ini.

 

4 dari 6 halaman

PBNU

Selanjutnya, Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menyinggung terkait beredarnya video azan berlafaz ajakan jihad tersebut.

Menurutnya, Jihad harus di artikan dengan benar bukan malah memprovokasi.

"Jihad harus dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasional. Jangan terpengaruh hasutan, apalagi terprovokasi," kata Robikin dalam pesan tertulis yang diterima, Selasa, 1 Desember 2020. 

Robikin melanjutkan, kesungguhan jihad di dalam sebuah bangsa yang merdeka seperti Indonesia, adalah dengan mewujudkan perdamaian dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, ekonomi warga serta menciptakan tata kehidupan yang adil dan beradab.

"Karena itu, di tengah kehidupan yang plural seperti di Indonesia ini, kita harus memperkuat toleransi," yakin dia.

Toleransi yang dimaksud bukan hanya menghargai baik sesama individu, tetapi juga antar semua golongan.

"Kita perkuat persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan kemanusiaan, karena agama jelas melarang keterpecah-belahan," tandas Robikin.

 

5 dari 6 halaman

Wamenag Zainut Tauhid

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengaku hingga saat ini, ia belum memahami konteks dari pembuatan video tersebut. Apakah untuk menyampaikan pesan perang atau seperti apa.

Ia menambahkan, jika azan itu dimaksudkan untuk menyampaikan pesan perang, maka kata seruan jihad dalam pengertian perang sangat tidak relevan disampaikan dalam situasi damai seperti di Indonesia saat ini.

"Jika seruan itu dimaksudkan memberi pesan berperang, jelas tidak relevan. Jihad dalam negara damai seperti Indonesia ini tidak bisa diartikan sebagai perang," jelas Zainut dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 30 November 2020. 

Melihat ini, Wamenag mengajak pimpinan ormas Islam dan para ulama untuk bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak terjebak pada penafsiran tekstual tanpa memahami konteks dari ayat al-Qur'an atau hadits.

Dia menilai, apapun motifnya, video tersebut bisa berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat.

"Di sinilah pentingnya pimpinan ormas Islam, ulama, dan kiai memberikan pencerahan agar masyarakat memilik pemahamaan keagamaan yang komprehensif," tutur Zainut. 

 

6 dari 6 halaman

MUI

Menanggapi video ihwal seruan 'azan jihad' ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat pun menggelar pertemuan dengan sejumlah perwakilan ormas Islam tingkat Jawa Barat di Kantor MUI Jawa Barat, Jalan LLRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat, 4 Desember kemarin. 

Ketua Umum MUI Jabar, Rahmat Syafei menegaskan, yang dilakukan tujuh orang itu tidak benar. Mereka harus dihentikan, karna jika dibiarkan hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman antar umat.

"Karena kondisi di Indonesia negara damai dan persatuan maka kata-kata azan yang mirip dengan azan walau bukan untuk salat, meresahkan dan menimbulan kegaduhan di masyarakat. Bahkan bisa mengguncang keributan atau bertempur jika salah paham," katanya seusai melakukan musyawarah di Kantor MUI Jabar, Jumat, 4 Desember kemarin.

Menyikapi kondisi tersebut, pihak MUI menitikberatkan pada tindakan persuasif yakni melakukan pembinaan terhadap mereka yang diduga menyimpang dari aturan tersebut. Terlebih jika dilakukan atas dasar ketidaktahuan.

"Maka mereka bisa ditindak tapi sifatnya edukasi rehabilitasi, dikasih tahu mereka salah," jelas Rahmat. 

Namun, menurutnya hukum negara bisa saja tetap ditegakkan. Mereka dapat diproses hukum bila ketersediaan bukti dianggap memenuhi unsur-unsur hukum yang berlaku.

"Walaupun disengaja, (dalam pandangan agama) barangkali dia tobat dan menyadari itu salah, (maka) itu sudah selesai. Tapi kalau masalah hukum yang berlaku, jika unsurnya melecehkan, dia itu harus diberikan edukasi. Kami sepakat harus ditindak karena itu salah," katanya.

 

(Fifiyanti Abdurahman)