Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial (Bansos) Covid-19.
Juliari diduga telah menerima suap sebesar Rp 17 miliar dari fee rekanan proyek Bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
"JPB (Juliari P Batubara) selaku Menteri Sosial menunjuk MJS (tersangka) dan AW (tersangka) sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee komisi dari setiap-setiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS (tersangka)," kata Irjen Firli di Gedung KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Advertisement
Sebelumnya, empat pejabat di Kementerian Sosial (Kemensos) telah diamankan lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Jumat, 4 Desember hingga Sabtu dini hari kemarin. Yaitu Matheus Joko Santoso, selaku pejabat pembuat Kesepakatan di lingkungan Kemensos, Adi Wahyono pejabat di lingkungan Kemensos, AIM (Ardian I M) selaku pihak swasta, dan Harry Sidabuke.
"Dari hasil tangkap tangan ini ditemukan uang dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing, masing-masing sejumlah sekitar Rp 11, 9 Miliar, sekitar USD 171,085 (setara Rp 2,420 Miliar) dan sekitar SGD 23.000 (setara Rp243 juta)," jelas Firli.
Sementara itu, Juliari Batubara memilih untuk menyerahkan diri usai namanya diumumkan sebagai tersangka. Juliari mendatangi Gedung KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari tadi. Politikus PDIP tersebut hanya diam saat awak media melontarkan pertanyaan.
Berikut sejumlah fakta dugaan korupsi di Kementerian Sosial terkait Bansos Covid-19 yang menjerat Mensos Juliari Batubara dan empat pejabat Kemensos lainnya:
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Awal Mula Kasus Terendus
Firli menjelaskan, kasus bermula dari informasi adanya dugaan aliran uang dari Ardian IM dan Harry Sidabuke kepada Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono.
Mensos Juliari diduga menerima aliran dana melalui Matheus Joko Santoso dan Shelvy N selaku sekretaris di Kemensos. Penyerahan uang akan dilakukan pada hari Sabtu 5 Desember 2020.
"Sekitar jam 02.00 WIB di salah satu tempat di Jakarta," kata Firli.
Ardian dan Harry menyiapkan uang itu dalam tujuh koper, tiga tas ransel dan amplop kecil yang jumlahnya Rp14,5 miliar. Tim KPK langsung mengamankan Matheus Joko Santoso, Shelvy N dan beberapa orang di berbagai tempat di Jakarta.
"Pihak-pihak yang diamankan beserta uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 Miliar dibawa ke KPK untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata Firli.
Dalam OTT ini, KPK menemukan pecahan mata uang rupiah dan asing. Yakni Rp 11,9 miliar, USD171,085 atau setara Rp 2,420 miliar dan 23.000 dolar Singapura atau setara Rp 243 juta.
Advertisement
Tetapkan 5 Orang Tersangka
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan lima orang tersangka. Tiga orang diduga sebagai penerima yakni Mensos Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso sebagai pejabat pembuat komitmen di Kemensos dan Adi Wahyono. Dua orang lainnya sebagai pemberi yakni Ardian IM dan Harry Sidabuke. Keduanya dari pihak swasta.
Hal ini berdasarkan penyidikan yang dilakukan berdasakan operasi tangkap tangan kemarin di Bandung dan Jakarta.
Ada pun jerat pasal yang disangkakan kepada para tersangka antara lain, Mensos Juliari, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara, untuk pemberi suap, yaitu Ardian dan Harry disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 4 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dana Korupsi Bansos untuk Keperluan Pribadi
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut dana korupsi paket bansos Covid-19, untuk membiayai keperluan pribadi Mensos Juliari Batubaran. Total akumulasi dana korupsi yang dinikmati Juliari Batubara tersebut mencapai Rp 17 miliar.
"Pemberian uang (diduga hasil korupsi) tersebut dikelola oleh EK dan SN selaku orang kepercayaan JPB (Juliari P Batubara) untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB," kata Firli saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020).
Akumulasi Rp 17 miliar didapat dari fee pengadaan bantuan sosial penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai kontrak Rp 5,9 triliun. Terdapat dua periode dalam pemberian tersebut, dengan total 272 kontrak.
"Untuk fee tiap paket Bansos disepakati sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket Bansos," jelas Firli.
Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama, KPK menduga JPB menangguk Rp 8,2 miliar. Kemudian di periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar.
Advertisement
Konstruksi Perkara
Ketua KPK Firli Bahuru merinci, dalam konstruksi perkara, diawali adanya pengadaan Bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun.
Mensos Juliari pun menunjuk MJS dan AW sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) untuk melaksanaan proyek tersebut.
KPK menduga, pihak swasta dijadikan rekanan dalam proyek ini ditunjuk dengan cara langsung, dengan dugaan kesepakatan fee dari tiap-tiap paket bantuan dan harus disetor para rekanan kepada MJS.
MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan, seperti AIM, HS dan juga PT RPI. Diduga, PT RPI adalah milik MJS.
"Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," Firli menandasi.
Ada Fee Rp 10 Ribu per Paket Bansos Covid-19
Ketua KPK Firli Bahuri memaparkan, perkara yang menyeret Juliari Batubara diawali adanya pengadaan Bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.
"JPB (Juliari P Batubara) selaku Menteri Sosial menunjuk MJS (tersangka) dan AW (tersangka) sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee komisi dari setiap-setiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS (tersangka)," kata Firli saat jumpa pers di Gedung KPK, Minggu dini hari tadi.
Firli melanjutkan, untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket Bansos.
Selanjutnya oleh MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan juga PT RPI (Rajawali Parama Indonesia) yang diduga milik MJS.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar," katanya.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko tidak dibacakan) dan SN selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Mensos
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," katanya.
Advertisement
Jadi Tersangka, Ini Harta yang Dimiliki Juliari
Menteri Sosial Juliari Batubara dijerat sebagai tersangka kasus dugaan suap dana bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan laman harta kekayaan penyelenggara negara yang diakses melalui situs elhkpn.kpk.go.id, Wakil Bendahara Umum PDIP periode 2019-2024 itu memiliki harta sebanyak Rp 47,18 miliar. Harta tersebut dia laporkan pada 30 April 2020 untuk laporan periodik 2019.
Pemasok kekayaan Juliari paling besar berasal dari harta tidak bergerak berupa aset dan bangunan yang tersebar di berbagai lokasi. Di antaranya Badung (Bali), Simalungun (Sumatera Utara), Bogor (Jawa Barat), dan Jakarta. Nilai total 11 aset tanah dan bangunannya total Rp 48.118.042.150.
Sementara untuk harta bergerak, Juliari melaporkan hanya memiliki satu alat transportasi berupa mobil Land Rover Jeep tahun 2008, senilai Rp 618.750.000.
Harta bergerak lainnya yang dilaporkan Juliari senilai Rp 1.161.000.000. Surat berharga senilai Rp 4.658.000.000. Sementara kas dan setara kasnya, Rp 10.217.711.716.
Total, Juliari memiliki harta Rp 64.773.503.866. Meski demikian, dia memiliki utang senilai Rp 17.584.845.719. Sehingga jumlah total hartanya adalah Rp 47.188.658.147.
Terancam Hukuman Mati?
Ketua KPK Firli Bahuri juga menyatakan, ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kita paham bahwa di dalam ketentuan UU 31 tahun 99 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Dalam beberapa kesempatan Filri juga kerap mengancam semua pihak agar tak menyalahgunakan bantuan sosial, sebab ancaman hukumannya adalah mati. Apalagi, Menurut Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi virus Corona Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.
"Kita paham juga bahwa pandemi Covid-19 ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana nonalam, sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini, apa yang kita lakukan, kita masih akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi Covid-19," kata Firli.
Dia menyatakan, tim penyidik akan bekerja lebih keras untuk bisa membuktikan adanya pelanggaran dalam Pasal 2 UU Tipikor yang dilakukan Juliari. Namun menurut Firli, untuk saat ini, Juliari baru dijerat dengan Pasal 12 UU Tipikor.
Advertisement