Jakarta - Bantuan sosial alias bansos penanganan Covid-19 bikin heboh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka terkait kasus korupsi program ini, salah satunya Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Empat tersangka lainnya adalah pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, serta Ardian I M dan Harry Sidabuke selaku pihak swasta.
Juliari diduga menerima uang suap sebesar Rp 17 miliar dari dua pelaksanaan paket bantuan sosial (bansos), terkait sembako penanganan Covid-19. Sebelumnya, pengadaan bantuan sosial untuk penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 memiliki nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan berlangsung dalam dua periode.
Advertisement
Dalam kasus korupsi ini, Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dalam proyek bansos penanganan Covid-19. Keduanya lalu menunjuk langsung para rekanan yang dilibatkan dalam proyek bansos itu.
Dari upaya itu, disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang mesti disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial lewat Matheus dan Adi. Menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp 10 ribu per paket dari nilai Rp 300 ribu per paket bansos.
Matheus dan Adi membuat kontrak pekerjaan pada Mei-November 2020 dengan sejumlah suplier sebagai rekanan, yang di antaranya adalah Ardian I M dan Harry Sidabuke (swasta) dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
Firli menjelaskan, Juliari diyakini mengetahui penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan di mana hal itu juga disetujui Adi. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama fee yang diterima diduga mencapai Rp 12 miliar, di mana pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi dengan jumlah sekitar Rp 8,2 Miliar.
Berdasarkan keterangan KPK, uang itu selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari sekaligus Sekretatis di Kemensos. Uang hasil suap tersebut digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
Kemudian pada pelaksanaan paket bansos sembako periode kedua, uang fee terkumpul sebanyak Rp 8,8 miliar dari bulan Oktober-November 2020. Uang dari fee itu juga dipakai untuk keperluan pribadi Juliari.
Bansos Terbesar
Bansos yang dikelola Kementerian Sosial kali ini adalah bansos terbesar dari pemerintah pusat, yang ditujukan untuk warga terdampak pandemi Covid-19, terutama bagi mereka yang masuk golongan warga kurang mampu.
Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah pusat menganggarkan dana lebih dari Rp 431 triliun. Kementerian Sosial memperoleh anggaran bansos terbesar dari pemerintah pusat.
Seperti dilansir Antara, Kemensos mengalokasikan anggaran tersebut untuk sejumlah program yang terbagi dalam paket-paket bantuan pemerintah untuk perlindungan sosial. Realisasinya bantuan perlindungan sosial pemerintah pusat hingga per 30 November 2020 yakni Rp 207,8 triliun atau 88,9 persen dari pagu anggaran senilai Rp 233,69 triliun.
Program bansos sendiri meliputi PKH (Program Keluarga Harapan) Rp 36,71 triliun, kartu sembako Rp 39,71 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp 6,44 triliun, dan bantuan sembako non-Jabodetabek Rp 33,33 triliun. Selain itu, terdapat bansos tunai penerima sembako Rp 4,5 triliun, serta bansos beras untuk penerima PKH Rp 5,26 triliun.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Potensi Hukuman Mati
Untuk kasus korupsi bansos ini, Juliari dikenakan pelanggaran Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Pasal tentang suap itu memuat ancaman hukuman penjara antara satu hingga 20 tahun.
Adapun selaku pemberi suap, Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur swasta, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Noor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beleid pasal itu berbunyi: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Ketua KPK, Firli Bahuri dalam kepada wartawan di Jakarta pada Minggu (6/12/2020), menuturkan, pihaknya bakal mendalami agar bisa punya cukup bukti menjerat Juliari dan sejumlah pelaku dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ancaman hukuman mati.
Sebelum OTT kasus bansos Kemensos, Firli pernah menyatakan bahwa korupsi pada situasi bencana Covid-19 termasuk kejahatan berat, di mana para pelakunya bisa diancaman hukuman mati.
Menko Polhukam, Mahfud MD juga sempat mengatakan agar anggaran negara untuk pandemi tidak diselewengkan, sebab apabila ada pihak yang terbukti menyalahgunakan anggaran bencana, maka dapat dihukum mati.
Didukung Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo pada Desember 2019 juga mendukung penerapan hukuman mati untuk koruptor jika ada kehendak kuat dari masyarakat. Dalam kasus korupsi bansos ini, sebagian masyarakat menginginkan agar pelaku dihukum mati, karena ada pasal yang mengaturnya.
Tapi, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana Bondan, mengatakan, untuk memakai Pasal 2 ayat (2) UU Noor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati, perlu pendalaman dan pembuktian lebih lanjut dalam kasus korupsi bansos Kemensos ini.
"Setelah OTT kemudian didalami, termasuk apakah mungkin dikenakan pasal lain, terutama Pasal 2 ayat 2, yang masyarakat ingin ancaman pidananya mati. Kita mesti bedakan, dana bansos dikorupsi, atau korupsi terkait dana bansos. Kalau dana bansos di korupsi, itu yang pasal 2 ayat 2 dengan ancaman pidana mati, karena dana penanggulangan bansos," terang Ganjar ketika dihubungi Liputan6.com.
"Sebagian orang menganggap atau menduga ini ada kaitannya dengan dana bansos. Saya setuju, bisa ada kaitan dengan dana bansos. Tapi, belum tentu dana bansosnya yang dikorupsi. Makanya, harus dipastikan<' dia melanjutkan.
Harus Ada Mark Up
Menurut Ganjar, untuk dapat menerapkan Pasal 2 ayat 2, harus dipastikan ada mark up atau spec down di kasus bansos Kemensos ini. Tapi, dia menilai, yang terpenting saat ini dari peristiwa serah terima uang, pelaku sudah bisa ditangkap dengan memakai pasal suap.
"Sekarang tinggal didalami, apa betul sekadar suap atau ternyata ada konstruksi lain yang bisa dikembangkan, sehingga bisa dikenakan pasal lain, terutama pasal 2 ayat 2. Ada dua model tuh, jadi angkanya mark up Rp 300 ribu, padahal harusnya Rp 290 ribu. Atau jangan-jangan model spec down, ajukan Rp 300 ribu, tapi nilai bansosnya Rp 250 ribu, karena mau kasih Rp 10 ribu ke pejabat. Kalau begitu, baru kita bicara pasal 2 ayat 2," paparnya.
"Tapi, kalau perhitungan bansos hanya sekadar dijadikan dasar hitung jatah, mereka mengitung, 'Buat nyuap pejabat berapa ya?' Nah, itu berarti enggak ada kaitan sama dana bansos. Tidak ada mark up atau spec down, itu namanya korupsi terkait dana bansos. Itu yang harus dibedakan."
Advertisement
Celah Korupsi di Bansos
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong KPK menelusuri kemungkinan Mensos dan pejabat lain di Kemensos turut menerima suap pada pengadaan paket sembako bansos penanggulangan bencana Covid-19.
Peneliti ICW, Dewi Anggraini, menduga praktik serupa telah terjadi sejak lama, mengingat bansos sembako Covid-19 sudah berlangsung sejak April 2020. ICW juga mendukung agar KPK menelusuri praktek korusp Pengadaan Barang Jasa (PBJ) serupa di kementerian atau lembaga lain yang juga menangani PBJ penanggulangan Covid-19.
"ICW mendorong Kemensos dan kementerian atau lembaga lain serta pemerintah daerah terbuka dalam PBJ penanganan Covid-19, khususnya terkait rencana, realisasi, dan distribusi pengadaan," ujar Dewi dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/12/2020).
Selain itu, Dewi berpendapat, OTT yang dilakukan KPK terhadap pejabat Kemensos dan penetapan tersangka kepada Juliari, dapat dijadikan momentum oleh pemerintah untuk perbaikan PBJ dalam penanganan pandemi Covid-19.
ICW sendiri sejak awal program bansos dan penanggulangan bencana Covid-19, telah memetakan potensi masalah dan menyampaikan rekomendasi kepada kementerian terkait, termasuk Kementerian Sosial. Salah satu potensi masalahnya yaitu terkait PBJ yang dilakukan dengan metode penunjukan langsung dan distribusinya.
Masalah Distribusi
Dewi menyebutkan, ICW menemukan adanya masalah distribusi bansos seperti terdapat pemotongan, pungutan liar, inclusion, dan exclusion error akibat pendataan yang tidak update sampai urusan politisasi.
Sementara itu, Pakar Pidana UI Ganjar Laksmana Bondan, mengatakan, bansos berupa barang dua kali lebih rentan dikorupsi ketimbang bantuan berupa uang. Sebab, nilai barang bansos bisa di-mark up dan kualitas barangnya dikurangi.
"Jadi, kalau di kasus pengadaan barang dan jasa, itu kuncinya penyalahgunaannya ada tiga; kualitas barang tidak sesuai, harga kemahalan, ada komisi untuk pejabat. Nah, negara jadi dirampok tiga kali kalau begitu," beber Ganjar.
Dia mengambil contoh, misalnya beras yang diberikan untuk bansos seharusnya rojolele, tapi diganti dengan beras yang kualitasnya di bawah rojolele dan tentu dengan harga lebih murah. Akan tetapi, harga yang dilaporkan untuk pengadaan tetap menggunakan harga rojolele.
"Jadi, kualitas barang tidak sesuai, harganya juga kemahalan. Harus kasih komisi lagi untuk oknum pejabat. Jadi, ini komisi atau uang suap? Kalau komisi, kena ini pasal 2 ayat 2 dengan ancaman hukuman mati," jelas pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, yang masih aktif mengajar di UI ini.
Tutup Celah
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mengatakan, untuk menutup celah korupsi di Kementrian Sosial, hal utama yang harus dilakukan adalah pembaruan data orang miskin.
"Apapun bentuk bantuannya, yang penting data itu harus update, karena korupsi berangkat dari data. Sejak zaman order baru, data orang miskin tidak jelas. Untuk tahun ini yang dipakai tahun 2015, jadi gampang dimanipulasi," ucap Agus saat dihubungi Liputan6.com.
"Sebetulnya yang mengelola data itu siapa? Kementrian Sosial, BPS atau Menteri Keuangan? Berdasarkan Perpres 39 tahun 2018 itu ada di Bapenas, namanya Satu Data Indonesia, tapi sampai hari ini tidak jelas. Jadi, ketidakjelasan data itu membuat pemberian bantuan sosial jadi kacau."
Agus memberi contoh pembagian bansos di daerah tempat tinggalnya. Ketika bantuan pertama datang pada bulan Maret, data yang dipakai masih 2015. "Orang miskin jumlahnya di daerah saya ada 315, tapi bansos yang datang tidak sesuai, karena data yang dipakai data lama."
Menurut Agus, data yang dipakai untuk bansos juga harusnya berdasarkan domisili, bukan NIK. "Kalau berdasarkan NIK, orang bisa dapat dua kali. Karena NIK dia di RT 1, dan domisili di RT 3, jadi bisa dapat dua kali, kacau lagi."
Sejak Awal Bermasalah
Di mata Agus Pambagio, bansos dari Kementerian Sosial sejak awal memang bermasalah.
"Jumlahnya tidak pernah cocok, isi atau mereknya berbeda-beda, makin lama makin buruk kualitasnya, jadi rasanya juga tidak enak dan saya khawatir itu tidak juga belum ada izin BPOM. Setelah itu, warga harus tanda tangan kwitansi kosong. Kalau tidak tanda tangan, tidak datang lagi bansos bulan depan."
"Tadinya, mie instan merek X, lalu kecapnya yang terjamin kualitasnya di pasaran. Kok bisa berubah? Karena vendornya habis diperas oleh oknum. Tentu vendornya cari untung tambahan, caranya dengan menukar barang. Kenapa begitu? Karena tidak ada yang mengawasi."
"Jadi, korupsinya sampai kemana-mana, tapi awalnya dari data. Semakin amburadulnya data, semakin enak Kementrian Sosial korupsi."
"Saya menduga, Mensos ini kan baru dan dia juga bukan orang miskin yang cari duit. Bisa kena KPK, pasti dia dibohongi bawahannya. Dan itu yang harus diwaspadai KPK, supaya dicari siapa sebenarnya otaknya," ucap Agus.
Harus Transparan
Setelah kasus korupsi bansos di Kemensos terkuak, ICW mendorong agar Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) setiap kementerian dikelola secara transparan, seperti dengan menginformasikan perencanaan pengadaan di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan mempublikasikan realisasi pengadaan.
Apabila dikelola secara transparan, publik bisa mengawasi apakah PBJ sudah dilaksanakan dengan mematuhi peraturan dan ketentuan yang ada. Selain itu, harus ada pihak ketiga yang mengaudit dan mengawasi pengadaan bansos ini.
Menurut Ganjar, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) punya tugas untuk pengawasan dan audit tersebut. Namun, dia mengakui audit tidak dapat dilakukan sekonyong-konyong, karena ada periode tertentu yang ketika berakhir baru dapat diaudit.
"Misalnya tahun anggaran berakhir, itu diaudit. Kecuali ada audit proyek. Satu proyek atau program selesai bisa diaudit. Nah, itu bisa yang mana saja, tinggal yang kita lihat begini. Bagaimana aturan main di Kemensos. Apa dan bagaimana proses penyaluran bansos. Dari penentuan nilainya, siapa yang dapat menyalurkan bansos sampai bagaimana pelaksanaannya," kata Ganjar.
"Nah, itu bagian-bagiannya tertentu bisa diaudit sendiri-sendiri atau diaudit keseluruhan. Sehingga kita lihat apakah sudah pernah ada audit terhadap sebagian atau keseluruhan prosesnya. Kan begini, kan sudah sekian lama ini bansos, pasti ada yang sudah selesai dong. Kalau secara keseluruhan mungkin belum, tapi tentu ada yang sudah selesai. Untuk apa, untuk evaluasi dan segala macam. Jadi harus diaudit semua itu. Barangnya sesuai atau tidak dengan nilainya."
Advertisement