Sukses

HEADLINE: Ada Potensi Sengketa Hasil Pilkada 2020, Bagaimana Persiapannya?

Jika perhitungan suara usai, para calon kepala daerah yang tak puas bisa menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, telah menggelar pemungutan suara Pilkada 2020 pada Rabu, 9 Desember 2020. Hingga saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih menghitung perolehan suara para calon kepala daerah.

Jika perhitungan suara usai, para calon kepala daerah yang tak puas bisa menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Lalu bagaimana persiapan penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghadapi sengketa hasil Pilkada 2020?

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri sudah mempersiapkan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) untuk menindaklanjuti sengketa Pilkada 2020. Selain itu, MK juga sudah mempersiapkan regulasi dan mengadakan bimbingan teknis hukum acara perselisihan hasil pilkada untuk para penyelenggara dan peserta pilkada. 

"Sudah banyak hal yang dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan, yaitu regulasi, bimtek untuk penyelenggara pilkada dan peserta, SDM, sarana dan prasarana persidangan, protokol kesehatan, aplikasi berbasis elektronik, dan lain-lain," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (11/12/2020).

Sementara untuk mengatasi membludaknya pengajuan sengketa hasil pilkada, MK juga sudah menyediakan Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (SIMPEL) dan dapat di akses di simpel.mkri.id.

"Kita juga siapkan lokasi dan petugas penerima permohonan yang datang langsung dengan pembatasan jumlah kehadiran serta pemberlakukan protokol kesehatan secara ketat," kata Fajar.

Adapun, peserta pilkada dapat mengajukan permohonan sengketa hasil Pilkada pada 16 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB untuk provinsi. Sementara untuk kabupaten/kota dapat dilakukan pada 13 Desember 2020 hingga 5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB.

Namun, tidak semua gugatan pasangan calon yang tak puas dengan hasil Pilkada 2020 bisa diterima MK. Sebab ada syarat selisih perolehan suara yang harus terpenuhi.

Berdasar Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota setidaknya selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen dari total suara sah jika provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa.

Namun, jika provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk 2 juta-6 juta jiwa, maka selisih perolehan suara harus paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah. Kemudian, jika provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk 6 juta-12 juta jiwa, maka selisih perolehan suara harus paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah.

Sementara provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.

Kemudian di level pemilihan bupati dan wali kota, paslon yang dapat mengajukan gugatan ke MK jika punya selisih suara sebesar 2 persen dari total suara sah jika kabupaten/kota tersebut memiliki jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa.

Jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa-500 ribu jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah.

Lalu jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu jiwa-1 juta jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah.

Namun, jika kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa, maka selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.

Bila selisih suara di luar rentang perhitungan di atas, maka dipastikan MK tidak akan menerima permohonan tersebut.

Bukan hanya MK, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi sengketa hasil pilkada. Komisioner KPU I Dewa Raka Sandi mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. 

"Rakor ini sudah kita laksanakan," kata Dewa kepada Liputan6.com.

Dewa menegaskan, KPU hanya menunggu apakah akan ada gugatan hasil pilkada atau tidak. Jika ada gugatan hasil pilkada di suatu daerah, kata Dewa maka KPU akan memberikan supervisi kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota yang menjadi pihak termohon.

Persiapan hadapi sengketa Pilkada 2020 ini pun sebenarnya sudah disiapkan KPU sebelum pencoblosan. Saat itu, KPU meminta agar setiap peristiwa ditiap tahapan pemilihan dicatat dengan baik. Kronologi ini penting sebagai bahan untuk disampaikan di persidangan sengketa.

KPU juga sudah berpesan kepada KPU provinsi dan kabupaten kota untuk selalu bekerja cermat meskipun ada atau tidak ada sengketa hasil pemilihan. Persiapan harus dilakukan sejak dini dengan bekerja rapi, sehingga apabila dibutuhkan data terkait sengketa dapat dengan mudah ditemukan. "Selebihnya tentu harus solid dari komisioner dan sekretariat. Pembagian tugas menjadi penting," kata Dewa.

Kumpulkan Bukti

Selain KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun sudah mempersiapkan diri untuk megantisipasi sengketa hasil pemilu.

Dalam sengketas hasil pemilu, Bawaslu hanya akan menjadi pemberi keterangan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Untuk itu, Bawaslu RI telah meminta jajaran Bawaslu Provinsi, Kabupaten/Kota menyiapkan formulir model A laporan hasil pengawasan (form A) sebagai bahan untuk menyusun keterangan tertulis jika ada sengketa perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi.

"Kita Bawaslu sebagai pemberi keterangan di MK harus mempersiapkan segalanya. Dan yang disampaikan form A hasil pengawasan," ucap Ketua Bawaslu Abhan seperti dikutip dari laman Bawaslu.

Alasannya ungkap Abhan, form A akan mempermudah keterangan Bawaslu di hadapan Majelis Hakim MK saat sidang PHP.

Maka dari itu lanjut Abhan, Divisi Hukum Bawaslu sebagai leading sector dalam menangani perselisihan hasil pemilihan di MK, harus berkoordinasi dengan dua divisi lainnya, yakni divisi pengawasan dan penindakan Bawaslu.

"Karena dari hasil koordinasi dengan 2 divisi itulah baru kita bisa menjelaskan. Sebab form A sangat menentukan ketetangan kita," tegasnya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Gugatan di MK Bakal Ramai?

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menduga, sengketa hasil Pilkada 2020 yang akan digugat ke MK bakal ramai. Mengingat ada 270 daerah yang menggelar pemilihan kepada daerah pada 9 Desember 2020 lalu.

"Orang yang ikut Pilkada 0,0 persen saja yang main-main, selebihnya serius, dan orang tidak pernah mau kalah, jadi itu akan ramai di MK," kata Margarito kepada Liputan6.com.

Untuk itu, kata Margarito, MK akan menyaring permohonan gugatan dengan mengkalkulasi selisih suara yang digugat para paslon. Jika selisih suara memenuhi syarat seperti pada Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, maka akan ditindak lanjuti. Namun, jika selisihnya tidak memenuhi syarat maka MK akan menolak.

"Suka atau tidak, baru akan diperiksa kalau selisih suaranya terlihat tidak jauh, baru hal sifat prosedur itu didalami, begitu dunia peradilan hukum pemilu kita," kata dia.

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari juga berpendapat sengketa Pilkada 2020 bakal ramai. Dia yakin banyak hasil pilkada yang memiliki selisih tipis. Dia menduga, hal itu karena banyak politik uang dan pelanggaran kampanye di tengah pandemi Covid-19.

"Jadi bukan tidak mungkin dari catatan yang ada akan digunakan untuk mengajukan perkara ke MK," kata Feri kepada Liputan6.com.

Sebenarnya, kata dia, KPU saat ini sudah menggunakan Sirekap berbasis elektronik yang menguntungkan penyelenggara pemilu untuk membuktikan bahwa kecurangan tidak terjadi. Hal ini juga untuk meminimalisir orang melakukan perselisihan hasil pemilu.

Sementara menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahayangan, Asep Warlan selama ini banyak calon kepala daerah yang gagal saat menggugat sengketa hasil pilkada.

"Ada memang punya bukti kuat meyakinkan, tapi mungkin KPU datanya lebih kuat dari si penggugat, padahal kita tau dalam statistik banyak yang kalah. Memang ada yang menang, tapi secara kuantitatif banyak yang tidak berhasil," kata Asep kepada Liputan6.com.

Sementara ada pula yang nekat mengajukan gugatan ke MK meski selisih perolehan suara besar. Hal ini karena ada beberapa alasan, pertama karena ingin coba-coba. Ada pula paslon yang nekat menggugat ke MK hanya ingin memberikan kesan bahwa mereka kalah karena gugatannya ditolak oleh MK.

"Ketiga bagi investor, sudah menyumbang dana sedemikian rupa, tapi kan selisih suaranya begitu, ya bilang aja ada kecurangan, ini dalih-dalihnya," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Jangan Kerahkan Massa

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mewanti-wanti agar pasangan calon yang tak puas dengan hasil Pilkada 2020 menempuh jalur hukum. 

"Apabila ini adalah sengketa hasil pemilihan silakan nanti untuk menyampaikan aspirasinya untuk diselesaikan melalui MK," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Akmal Malik dalam konferensi persnya, Jumat (11/12/2020).

Akmal mengatakan, ada beberapa jenis sengketa di pemilihan kepala daerah yaitu, administrasi, pidana dan sengketa hasil pemilihan.

Apabila yang diperkarakan terkait hasil pilkada bisa dibawa ke pengadilan di MK. "Kepada pihak-pihak yang merasa tidak puas, dengan hasil pilkada, bisa menyalurkan aspirasinya melalui jalur hukum," ujar dia.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Bawaslu Abhan bahwa peserta pilkada yang merasa tidak puas dengan hasil resmi rekapitulasi KPU nanti, dipersilakan menempuh jalur hukum. Setiap paslon mempunyai hak untuk menyatakan keberatan terhadap hasil akhir penghitungan suara.

"Paslon silakan gunakan jalur-jalur hukum. Jangan kerahkan massa untuk menyatakan kekecewaan karena kalah bersaing dengan paslon lain," kata Abhan dalam keterangan pers.

Dia mengingatkan agar tak ada pengerahan massa pendukung. Sebab sangat berisiko. Ini berpotensi menimbulkan kerumunan yang berbahaya di tengah Pandemi Covid-19. Selain itu, riskan terjadi benturan antar pendukung. Hal tersebut harus diperhatikan oleh paslon.

"Paslon harus bisa meredam para pendukungnya. Tidak memberi arahan untuk turun ke jalan. Jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan," ungkap dia.

Â