Sukses

UU Cipta Kerja Dinilai Mengakomodir Kebutuhan Calon Pekerja dan Pekerja

Piter menggarisbawahi, untuk bisa tumbuh rata-rata 6 persen atau 6,8 persen setiap tahun, Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam meyakini, tujuan Pemerintahan Jokowi melahirkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) untuk meningkatkan investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan pekerjaan yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja dan pekerja.

"Mengapa pemerintah mengeluarkan UU Cipta Kerja? Indonesia butuh investasi sebanyak-banyaknya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Meningkatnya investasi ini juga akan memperbaiki kondisi dunia usaha. Jika dunia usaha membaik, maka akan memberikan manfaat bagi calon pekerja dan pekerja," kata Piter Abdullah dalam Webinar UU Cipta Kerja, Selasa (15/12/2020).

Menurutnya, saat ini Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi. Untuk memanfaatkan bonus demografi, ekonomi Indonesia harus tumbuh rata-rata 8 persen setiap tahun. Sebab, kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh dengan sedemikian tinggi, maka tidak bisa disebut bonus demografi, melainkan bencana demografi.

"Itu kenapa? Masyarakat kita itu didominasi oleh kelompok muda. Angkatannya masih milenial. Masih kuliah dan baru lulus. Kalau ekonomi kita tidak mampu tumbuh 8 persen setiap tahun maka setiap tahunnya akan menumpuk permasalahan. Menumpuk pengangguran baru. Jadi ini persoalan yang harus diselesaikan dan alasan-alasan kenapa kita sangat memerlukan UU Cipta kerja," terangnya.

Piter menggarisbawahi, untuk bisa tumbuh rata-rata 6 persen atau 6,8 persen setiap tahun, Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar. Sementara, angka investasi yang masuk tidak cukup untuk mendongkrak mencapai tingkatan yang diharapkan, yakni rata-rata 6 sampai 7 persen per tahun.

Makanya, untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, Indonesia harus tumbuh rata-rata 6,8 persen selama 10 tahun ke depan.

"Bayangkan, untuk 6 persen saja, dalam 10 tahun terakhir tidak pernah nyampai. Padahal ini rata-rata harus 6,8 persen. Ini artinya, ada waktunya kita tumbuh 5 persen, tapi ada waktunya kita harus tumbuh 6,8 persen. Jadi angka ini bukan main berat," kata Piter.

Solusinya, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi melejit seperti China yang bisa menembus angka rata-rata 10 persen setiap tahun, pemerintah harus membuat terobosan yang luar biasa, salah satunya menciptakan UU sapu jagat. Hanya dengan begitu, pemerintah bisa menyiapkan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk masyarakat Indonesia.

Ekonom dari Universitas Indonesia ini juga menyoroti, kenapa investasi di Indonesia tumbuh lambat? Menurutnya, karena banyak sekali masalah yang harus dibenahi, seperti perizinan usaha atau investasi, pembebasan lahan, ketenagakerjaan, isu lingkungan, koordinasi pusat-daerah, inkonsistensi pejabat pemerintah, dan banyak hal lainnya.

"Ini nampak sekali permasalahannya kenapa investasi kita tumbuhnya begitu-begitu saja. Investasi di Indonesia sangat menarik, tapi hambatannya sangat banyak. Persoalan yang begitu banyaknya itu, dimasukan semua dalam UU Omnibus Law. Begitu banyaknya pasal-pasal dan UU yang harus secara bersamaan diperbaiki. Kalau diperbaiki satu per satu, itu butuh berapa presiden," jelasnya.

Rentetan persoalan itulah, yang menjadikan alasan utama pemerintahan Jokowi begitu bersemangat untuk melanjutkan pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja. pembahasan ini,jelas dia, tidak bisa dilakukan secara parsial karena kebutuhannya begitu mendesak dan harus dilaksanakan secara serentak.

"Dan itu yang tertuang di dalam UU Cipta Kerja, semuanya sudah dirangkum dalam satu UU, dan itu merupakan satu trobosan yang luar biasa. Justru yang akan panen manfaat dari UU ini ya masyarakat. Yang akan memanen manfaat secara politik adalah pemerintahan mendatang karena sudah mendapatkan warisan sebuah UU yang begitu baik," jelasnya.

Piter juga menyinggung, apakah UU Cipta Kerja merugikan pekerja? Menurutnya, bicara UU Cipta Kerja tidak bisa terlepas dari perspektif pekerja dan calon pekerja. Artinya, UU Cipta Kerja jelas ada perspektif yang ditujukan untuk melindungi pekerja dan calon pekerja, baik dalam jangka pendek mapun jangka penjang.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Soal Nominal Pesangon

Berdasarkan data, Indonesia mengalami peningkatan angkatan kerja sebanyak 3 juta per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, di mana dari setiap 1 persen ekonomi hanya bisa menyerap pertumbuhan 250.000 angkatan kerja baru. Artinya, kalau pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, maka hanya bisa menyerap sekitar 1.250.000 angkatan kerja baru. Berarti, ada sekitar 1.750.000 masyarakat Indonesia yang baru lulus kuliah dan lulus SMK yang termasuk angkatan tenaga kerja baru yang tidak akan terserap.

"UU Cipta kerja ini adalah perspektif calon pekerja, itu utamanya. Karena dia akan menciptakan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Yang akan mengakomodasi kebutuhan calon pekerja, bukan pekerja. Setiap tahun berapa calon pekerja yang muncul, mereka harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan baru," jelasnya.

Piter juga menjelaskan, dalam UU Cipta Kerja, pesangon pekerja yang kena PHK memang dikurangi, tapi tidak merugikan bagi pekerja. Kenapa tidak merugikan? karena dibalik penurunan ini, ada kepastian bahwa itu akan terbayarkan. Menurutnya, mana yang lebih menguntungkan, dikasih iming-iming pesangon 32 kali tapi tidak bibayar atau pesangon 25 kali tapi pasti terbayar.

"Saya pasti milih yang 25 kali," tegasnya.

Kenapa ini pasti akan dibayar, tegas Piter, karena klausulnya tidak lagi menjadi perdata, tapi pidana. Artinya, kalau perusahaan tidak membayar pesangon maka dia terkena kasus pidana dan bisa dipidanakan. Dia juga menjelaskan perbedaan antara perdata dan pidana. Menurutnya, kalau perdata persoalannya bisa panjang dan bebannya ada di pekerja. Kalau perusahaannya tetap tidak bersedia membayar, maka pihak pekerja harus menuntut dan biayanya ada pada pihak penuntut.

"Tapi kalau itu pidana, maka pengusaha berhadapan dengan negara. Artinya, negara ada di depan para pekerja, melindungi pekerja, berhadapan dengan para pengusaha. Bagaimana mungkin kita mengatakan pemerintah tidak berpihak pada pekerja, ini kan jelas-jelas negara berpihak kepada pekerja. Dalam hal pesangon jumlahnya memang turun tapi diberikan kepastian," jelasnya.

UU Cipta Kerja juga melindungi pekerja dalam konteks PHK. Dalam Pasal 151 UU Cipta Kerja disebutkan, perusahaan pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. Dana kalaupun terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan penyelesaikan perselisihan hubungan industri. Artinya, Ini jelas sekali tidak ada ruang pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang kepada pekerja.

Dalam Pasal 153 disebutkan bahwa perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya. Ini merupakan bukti jika pemerintah melindungi pekerja.

"UU Ciptaker adalah UU yang sangat baik. UU ini memang belum sempurna tapi pemerintah sudah memberikan kesempatan untuk memberikan masukan. Masih ada proses yang masih berjalan, pembahasan turunan UU," pungkasnya.