Liputan6.com, Denpasar: Rangkaian pengeboman Bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005) memicu dampak luar biasa bagi Indonesia secara umum dan Pemerintah Provinsi Bali secara khusus. Peristiwa berdarah itu sampai disebut peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Kerugian terbesar dialami pemerintah Provinsi Bali pasca-Bom Bali I dan Bom Bali II tersebar di berbagai sektor. Di antaranya ekonomi, sosial, dan keamanan. Pada sektor ekonomi terjadi penurunan sangat besar pada jumlah pariwisata yang diperkirakan mencapai 57 persen. Penurunan itu disebabkan adanya travel warning dari sejumlah negara seperti Australia, Amerika dan sejumlah negara di Eropa.
Sebuah kehilangan yang sangat besar. Ini mengingat product domestic regional bruto (PDRB) Bali dominan dihasilkan dari pariwisata. Bahkan, hotel-hotel yang ada kebanyakan sudah kolaps karena rendahnya tingkat hunian.
Jumlah 57 persen itu terbagi dalam sub sektor hotel dan restoran, industri kecil dan perajinan, pertanian, transportasi, serta keuangan dan jasa-jasa. Tak dipungkiri efek dari sisi pariwisata ini juga berdampak pada sektor-sektor lain.
Adanya penurunan sektor pariwisata ini mengurangi penerimaan devisa negara. Di mana pada akhirnya menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia. Secara umum perekonomian nasional berdampak negatif. Upaya perbaikan menuju pemulihan ekonomi yang lebih cepat berhadapan dengan kendala yang semakin sulit. Di antaranya seperti kegiatan investasi, produksi dan ekspor terhambat.
Data lain menyebutkan usai ledakan Bom Bali I, PDB triwulan IV-2002 turun drastis menjadi 2,61 persen dibanding triwulan sebelumnya. Sektor pariwisata turun 0,9 persen. Namun di awal 2003, PDB sudah tumbuh kembali sebesar 2,04 persen, termasuk sektor pariwisata tumbuh 0,47 persen. Sedangkan pasca-Bom Bali II, terjadi penurunan pada subsektor perhotelan dan pariwisata dari sekitar 8 persen menjadi 6 persen.
Dampak lain makin buruknya sentimen investor dalam pasar saham. Indeks saham yang tercatat di BEJ anjlok cukup tajam dan berada pada posisi terendah dalam dua tahun terakhir. Dalam analisisnya, Bank Dunia mengatakan stabilitas ekonomi dan kepercayaan konsumen bukan hanya di Indonesia, tapi juga merambah ke seluruh kawasan Asia Tenggara hingga Pasifik.
Belum lagi fluktuasi nilai tukar rupiah di pasar uang hingga menyentuh level psikologis di atas Rp 9.000 per dollar AS. Kondisi ini menyulitkan dunia usaha mengembangkan usaha karena adanya risiko ketidakpastian sangat tinggi.
Selama 2,5 tahun usai tragedi bom Bali, tak tampak adanya perbaikan dalam keadaan ekonomi rumah tangga di Bali. Pada periode ini, jumlah pengangguran meningkat sebanyak 3,5 persen. Begitu pula terjadi penurunan jumlah jam kerja sebesar 4,2 persen, penurunan upah riil 47 persen, dan pendapatan rumah tangga menjadi 22,6 persen.
Berada pada kondisi di titik terendah, memaksa masyarakat Bali mengadopsi sejumlah strategi untuk bertahan hidup. Berdasarkan hasil riset untuk bertahan hidup ada beberapa masyarakat berganti status pekerjaan, lapangan pekerjaan, dan menambah jam kerja.
Dalam hal perubahan status dan lapangan pekerjaan, banyak dilakoni kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi. Sedangkan dalam hal menambah jam kerja banyak diadopsi oleh rumah tangga. Di mana hasilnya mampu memberikan hasil positif pada peningkatan kesejahteraan jangka pendek atau menengah.
Berikutnya dalam hal keamanan. Pemerintah Indonesia langsung bergerak cepat. Dalam hitungan hari, mereka mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan No 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang membacakan penerbitan Perpu Antiteorisme itu. Saat itu pembacaan didampingi para menteri dan pejabat terkait pada Sabtu, 19 Oktober 2002 dini hari termasuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan semasa dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. Perpu pertama berlaku umum, sedangkan Perpu kedua khusus untuk mengusut peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Dengan begitu Perpu kedua berlaku surut.
Perpu itu ditandatangani mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebelum diumumkan, Megawati menegaskan, alasan utama lahirnya Perpu Antiterorisme adalah "pemerintah membutuhkan landasan hukum untuk melakukan tindakan guna memerangi terorisme. Tanpa landasan hukum, banyak kendala yang akan dihadapi oleh pemerintah."
Kala itu Yusril menegaskan, Perpu tak ditujukan untuk menangkap tokoh-tokoh Islam garis keras. Menurut Yusril, Perpu ini sangat lunak dibandingkan Undang-undang Subversif di era Orde Baru atau RUU Antiteroris sekalipun. Ia pun meyakinkan, penggunaan Perpu itu sifatnya sementara sambil menunggu diundangkannya RUU Antiterorisme.
Ada yang memuji langkah cepat ini, namun tak sedikit yang khawatir. Alasannya Perpu ini membahayakan demokrasi. Dilihat dari pasal-pasalnya yang longgar, dikhawatirkan bisa menjerat banyak orang dengan tuduhan pelaku teror.
Sementara itu walaupun disayangkan baru muncul saat bom Bali, setidaknya diumumkannya Perpu Antiterorisme mengedepankan perhatian pemerintah pada kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity).(AIS/dari berbagai sumber)
Kerugian terbesar dialami pemerintah Provinsi Bali pasca-Bom Bali I dan Bom Bali II tersebar di berbagai sektor. Di antaranya ekonomi, sosial, dan keamanan. Pada sektor ekonomi terjadi penurunan sangat besar pada jumlah pariwisata yang diperkirakan mencapai 57 persen. Penurunan itu disebabkan adanya travel warning dari sejumlah negara seperti Australia, Amerika dan sejumlah negara di Eropa.
Sebuah kehilangan yang sangat besar. Ini mengingat product domestic regional bruto (PDRB) Bali dominan dihasilkan dari pariwisata. Bahkan, hotel-hotel yang ada kebanyakan sudah kolaps karena rendahnya tingkat hunian.
Jumlah 57 persen itu terbagi dalam sub sektor hotel dan restoran, industri kecil dan perajinan, pertanian, transportasi, serta keuangan dan jasa-jasa. Tak dipungkiri efek dari sisi pariwisata ini juga berdampak pada sektor-sektor lain.
Adanya penurunan sektor pariwisata ini mengurangi penerimaan devisa negara. Di mana pada akhirnya menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia. Secara umum perekonomian nasional berdampak negatif. Upaya perbaikan menuju pemulihan ekonomi yang lebih cepat berhadapan dengan kendala yang semakin sulit. Di antaranya seperti kegiatan investasi, produksi dan ekspor terhambat.
Data lain menyebutkan usai ledakan Bom Bali I, PDB triwulan IV-2002 turun drastis menjadi 2,61 persen dibanding triwulan sebelumnya. Sektor pariwisata turun 0,9 persen. Namun di awal 2003, PDB sudah tumbuh kembali sebesar 2,04 persen, termasuk sektor pariwisata tumbuh 0,47 persen. Sedangkan pasca-Bom Bali II, terjadi penurunan pada subsektor perhotelan dan pariwisata dari sekitar 8 persen menjadi 6 persen.
Dampak lain makin buruknya sentimen investor dalam pasar saham. Indeks saham yang tercatat di BEJ anjlok cukup tajam dan berada pada posisi terendah dalam dua tahun terakhir. Dalam analisisnya, Bank Dunia mengatakan stabilitas ekonomi dan kepercayaan konsumen bukan hanya di Indonesia, tapi juga merambah ke seluruh kawasan Asia Tenggara hingga Pasifik.
Belum lagi fluktuasi nilai tukar rupiah di pasar uang hingga menyentuh level psikologis di atas Rp 9.000 per dollar AS. Kondisi ini menyulitkan dunia usaha mengembangkan usaha karena adanya risiko ketidakpastian sangat tinggi.
Selama 2,5 tahun usai tragedi bom Bali, tak tampak adanya perbaikan dalam keadaan ekonomi rumah tangga di Bali. Pada periode ini, jumlah pengangguran meningkat sebanyak 3,5 persen. Begitu pula terjadi penurunan jumlah jam kerja sebesar 4,2 persen, penurunan upah riil 47 persen, dan pendapatan rumah tangga menjadi 22,6 persen.
Berada pada kondisi di titik terendah, memaksa masyarakat Bali mengadopsi sejumlah strategi untuk bertahan hidup. Berdasarkan hasil riset untuk bertahan hidup ada beberapa masyarakat berganti status pekerjaan, lapangan pekerjaan, dan menambah jam kerja.
Dalam hal perubahan status dan lapangan pekerjaan, banyak dilakoni kepala rumah tangga yang berpendidikan tinggi. Sedangkan dalam hal menambah jam kerja banyak diadopsi oleh rumah tangga. Di mana hasilnya mampu memberikan hasil positif pada peningkatan kesejahteraan jangka pendek atau menengah.
Berikutnya dalam hal keamanan. Pemerintah Indonesia langsung bergerak cepat. Dalam hitungan hari, mereka mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan No 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1 Tahun 2002.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang membacakan penerbitan Perpu Antiteorisme itu. Saat itu pembacaan didampingi para menteri dan pejabat terkait pada Sabtu, 19 Oktober 2002 dini hari termasuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan semasa dijabat Susilo Bambang Yudhoyono. Perpu pertama berlaku umum, sedangkan Perpu kedua khusus untuk mengusut peledakan bom di Legian, Kuta, Bali. Dengan begitu Perpu kedua berlaku surut.
Perpu itu ditandatangani mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebelum diumumkan, Megawati menegaskan, alasan utama lahirnya Perpu Antiterorisme adalah "pemerintah membutuhkan landasan hukum untuk melakukan tindakan guna memerangi terorisme. Tanpa landasan hukum, banyak kendala yang akan dihadapi oleh pemerintah."
Kala itu Yusril menegaskan, Perpu tak ditujukan untuk menangkap tokoh-tokoh Islam garis keras. Menurut Yusril, Perpu ini sangat lunak dibandingkan Undang-undang Subversif di era Orde Baru atau RUU Antiteroris sekalipun. Ia pun meyakinkan, penggunaan Perpu itu sifatnya sementara sambil menunggu diundangkannya RUU Antiterorisme.
Ada yang memuji langkah cepat ini, namun tak sedikit yang khawatir. Alasannya Perpu ini membahayakan demokrasi. Dilihat dari pasal-pasalnya yang longgar, dikhawatirkan bisa menjerat banyak orang dengan tuduhan pelaku teror.
Sementara itu walaupun disayangkan baru muncul saat bom Bali, setidaknya diumumkannya Perpu Antiterorisme mengedepankan perhatian pemerintah pada kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity).(AIS/dari berbagai sumber)