Liputan6.com, Jakarta - Rencana pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur diputuskan pemerintah untuk ditunda. Pasalnya, pemerintah saat ini masih fokus dalam penanganan pandemi virus Corona atau Covid-19.
Namun, sejatinya perpindahan ibu kota Indonesia bukanlah hal yang baru. Faktanya, ibu kota Indonesia sudah beberapa kali berpindah dari Jakarta. Dengan alasan keterpaksaan serta untuk mengamankan eksistensi pemerintah, Jakarta sempat tercerabut dari statusnya sebagai ibu kota RI meski hanya untuk sementara.
Baca Juga
Pertama kali ibu kota RI pindah saat keamanan Jakarta terancam akibat ulah Belanda yang kembali datang ke Indonesia membonceng Sekutu. Pada 29 September 1945, Belanda berhasil menduduki Jakarta. Situasi ini membuat eksistensi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional menjadi lemah.
Advertisement
Karena itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII pada 2 Januari 1946 mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar Ibu Kota pindah ke Yogyakarta. Tawaran ini diterima oleh Presiden Sukarno.
"Bapak saya yang meminta ibu kota dipindahkan ke Yogya," ujar Arumanta, anak kedua Sultan yang bergelar Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo, mengutip Tempo edisi 17 Agustus 2015.
Tawaran itu pun langsung direspons oleh Sukarno. Sebab sehari sebelumnya bersama para menteri telah menggelar sidang untuk rencana pemindahan sementara ibu kota Indonesia. Akhirnya Sukarno menerima tawaran dari Sultan Hamengku Buwono.
"Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari Saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak," ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Pada 3 Januari 1946 jelang tengah malam, sebuah gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 dan dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng).
Pada 4 Januari dinihari, kereta api tersebut berangkat membawa Sukarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan.
Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII yang menunggu kedatangan Sukarno di Stasiun Tugu, Yogyakarta sejak dini hari, juga diliputi ketegangan.
Akhirnya, pada Jumat 4 Januari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB rombongan tiba di Yogyakarta. Pada hari kedatangan Sukarno itu, ibu kota NKRI secara resmi pindah ke Yogyakarta dan Presiden mulai berkantor di Gedung Agung atau Istana Yogyakarta.
Namun, posisi Yogyakarta tak sepenuhnya selalu aman. Belanda tetap berupaya untuk melumpuhkan pemerintah dengan cara menangkap pemimpin republik. Karena itu, pada akhir 1948 Belanda kembali melancarkan agresi keduanya dengan menyerang Yogyakarta.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Berkantor di Bukittinggi
Dalam waktu sekejap ibu kota RI itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang ketika itu berdomisili di Yogyakarta untuk mengendalikan pemerintahan ditangkap dan diasingkan.
Pada hari yang sama, di Bukitinggi, Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran RI mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk merundingkan situasi terkini. Bersama beberapa tokoh lain, mereka mendeklarasikan PDRI.
Sementara beberapa jam sebelum Sukarno-Hatta ditangkap, digelar pula sidang kabinet di Yogyakarta. Dua keputusan dihasilkan. Pertama, Sukarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan.
Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membentuk pemerintah Republik Darurat.
"Pembentukan PDRI oleh Sjafruddin didasarkan pada inisiatifnya sendiri," tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik. Alasannya, hasil rapat kabinet itu tak pernah diterima Sjafruddin karena para petinggi RI dan staf keburu ditahan Belanda.
Ibu kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Dan pada 10 Juli 1949 Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogyakarta. Sjafruddin bertindak sebagai inspektur upacara penyambutan para pemimpin RI yang akhirnya dibebaskan Belanda dan kembali ke Yogya.
Selanjutnya digelarlah Sidang Kabinet Sukarno-Hatta untuk yang pertama kalinya sejak Agresi II Belanda. Agenda pokok pada sidang tersebut adalah penyerahan Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Sukarno-Hatta.
Sekitar setahun kemudian, atau pada 17 Agustus 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sekaligus menjadikan Jakarta kembali sebagai ibu kota RI.
Sama seperti Konstitusi RIS, UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 menyebut: Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat kedudukan ibu kota negara kembali kabur. Baru pada 1960-an Jakarta mendapat status Daerah Khusus Ibu Kota melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1961 dan Kemudian UU No 10 Tahun 1964.
Advertisement