Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Dan rupanya, PP Kebiri Kimia ini sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi sejak 7 Desember 2020 lalu.
Baca Juga
PP Kebiri Kimia ini disahkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Advertisement
"Bahwa untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O16 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang," demikian bunyi pertimbangannya.
Dalam aturan ini, ada tiga kategori pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang dapat dihukum dengan aturan baru tersebut. Pertama, terhadap pelaku pidana persetubuhan kepada anak.
Kedua, pelaku persetubuhan terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman yang memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang juga pelaku persetubuhan.
Ketiga, pelaku perbutan cabul terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman, memaksa melakukan tipu muslihat, dengan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Berikut deretan hal terkait PP Kebiri Kimia yang sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Isi PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia
Dalam BAB I ketentuan umum pada pasal I disebutkan :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
3. Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak adalah pelaku tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
4. Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya atau dengan Orang Lain, yang selanjutnya disebut Pelaku Persetubuhan adalah terpidana atau orang yang telah selesai menjalani pidana pokok atas tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
5. Pelaku Tindak Pidana Perbuatan Cabul kepada Anak dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Seksual, Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan, atau Membujuk Anak untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul, yang selanjutnya disebut Pelaku Perbuatan Cabul adalah terpidana atau orang yang telah selesai menjalani pidana pokok atas tindak pidana perbuatan cabul kepada Anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, mlakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Kemudian, pada BAB II soal tindakan bagian kesatu disebutkan pada pasal 2:
1. Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan oengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Perbuatan Cabul berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
3. Pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Selanjutnya, Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia pada paragraf satu disebutkan:
Pasal 5
Tindakan Kebiri Kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 6
Tindakan Kebiri Kimia dilakukan melalui tahapan:a. penilaian klinis;b. kesimpulan; danc. pelaksanaan.
Kemudian, pada paragraf dua disebutkan terkait Penilaian Klinis:
Pasal 7
(1) Penilaian klinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan oleh tim yang terdiri dari petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri.
(2) Penilaian klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:a. wawancara klinis dan psikiatri;b. pemeriksaan fisik; danc. pemeriksaan penunjang.
(3) Penilaian klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum menyampaikan pemberitahuan kepada jaksa;
b. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum terpidana selesai menjalanipidana pokok;
c. dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, jaksa menyampaikan pemberitahuandan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk dilakukan penilaianklinis;
d. penilaian klinis dimulai paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Â
Advertisement
Tanggapan Kementerian PPPA
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak telah disahkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Hal ini disambut baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Karena dinilai bisa memberi efek jera.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar mengatakan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat merusak masa depan Indonesia. Karena itu, pelaku harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia.
"Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan," kata Nahar, Senin (4/1/2021).
Nahar menuturkan, dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Sementara, tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.
"Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia," tutur dia.
Selain itu, menurut dia, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia. Namun, lanjut Nahar, harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.
"Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik," kata Nahar.
Nahar menuturkan, tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
"Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 1 (satu) orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia," tegas Nahar.
Â
Pernyataan ICJR
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritisi PP Nomor 70 Tahun 2020 yang salah satunya soal kebiri kimia. Dinilainya, hal ini akan memakan anggaran yang besar.
"Sistem ini tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan. Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, dalam keterangannya, Senin (4/1/2021).
Pasalnya, selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia.
Sedangkan, jika diperbandingan anggaran untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, masih minim.
"Fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana," jelas dia.
Erasmus mencatat, berdasar data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat. Pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan signifikan.
"Anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp.148 Milyar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK disediakan Rp 54,5 Milyar, padahal kebutuhan korban meningkat. Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 Miliar," ungkap dia.
Karena itu, adanya PP 70/2020, Erasmus menilai negara seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru untuk penghukuman pelaku.
Padahal yang harus diutamakan, menurut Erasmus, adalah para korban yang masih harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.
"Ini menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara," kata Erasmus.
Advertisement