Sukses

HEADLINE: Heboh Temuan Drone Bawah Laut di Selayar, Alat Spionase Asing?

Keberadaan seaglider yang menjadi polemik. Pemerintah diminta untuk menyelesaikannya.

Liputan6.com, Jakarta Nama Kepulauan Selayar di Sulawesi Selatan mendadak menjadi perbincangan. Musababnya adalah akan penemuan benda yang sempat disebut drone bawah laut yang ditemukan nelayan bernama Saeruddin saat memancing di Kepulauan Selayar pada akhir Desember 2020. Bukan hanya pulaunya yang mendadak menjadi buah bibir, tapi juga keberadaan alat tersebut juga menimbulkan banyak sorotan. Pihak TNI Angkatan Laut (TNI AL) langsung bergerak dan meneliti temuan tersebut.

Kepala Staf TNI AL Laksamana TNI Yudo Margono mengatakan, benda tersebut bernama seaglider yang memiliki kecanggihan dalm operasinya. Biasanya alat tersebut digunakan untuk keperluan survei dan data oseanograf atau bawah laut, karena seaglider merupakan alat perekam data bawah laut dan dapat diakses dari manapun.

"Alat ini banyak digunakan untuk keperluan survei atau untuk mencari data oseanografi di laut, di bawah lautan. Ini bisa diakses melalui website oleh semua yang bisa mengakses data," kata Yudo Margono, saat konferensi pers di Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidrosal) TNI AL, Ancol, Jakarta Utara, Senin (4/1/2021).

Yudo mengatakan, industri manapun bisa menggunakan alat ini. Industri perikanan misalnya, alat ini digunakan untuk mencari ikan. Kemudian pada industri pertambangan biasa menggunakan alat ini untuk keperluan pengeboran.

"Tergantung siapa yang memakai," kata dia.

Sesuai namanya, underwater seaglider hanya bisa mendeteksi data-data benda di bawah laut saja. Termasuk kedalaman air laut, salinitas, arus, dan data-data lain yang berkaitan dengan laut.

Lebih lanjut lagi, seaglider ini lebih familiar digunakan untuk bisa mengarahkan kapal penangkap ikan. Sebab, kata Yudo, seaglider bisa dengan cepat mendeteksi organisme bawah laut seperti ikan-ikan.

"Data yang dikumpulkan dari underwater seaglider yaitu, oksigen untuk mengetahui kadar oksigen di bawah laut, kemudian batimetri ini untuk keperluan industri," ucap dia.

"Kemudian kemampuan accoustic recording ini untuk merekam keberadaan ikan dan hewan bawah laut seperti lumba-lumba. Seaglider juga bisa untuk kegiatan industri perikanan, di mana kalau banyak plankton, maka tandanya banyak ikan, sehingga bisa mengarahkan kapal-kapalnya," sambung dia.

Berdasarkan data yang diterima dari TNI AL kepada Liputan6.com Selasa (5/1/2021), seaglider tersebut memiliki spesifikasi badan utama terbuat dari aluminium, dengan dua sayap masing-masing berukuran 50 cm. Lalu panjang body 225 cm, propeller 18 cm, panjang antena belakang 93 cm, terdapat instrumen mirip kamera terletak di body, dan tidak ditemukan ciri-ciri atau tulisan negara pembuat.

"Saya tidak bisa menentukan siapa pemiliknya. karena datanya maupun tulisan (nama perusahaan atau negara pembuat) di luarnya ini tidak ada," kata Yudo.

Dia pun menegaskan, seaglider tidak bisa mendeteksi kapal selam ataupun kapal yang berada di atas permukaan air.

"Hanya (mengambil) data-data bawah air," tegas Yudo.

Meski demikian, Yudo tak menepis bahwa alat ini bisa dikontrol dari jarak jauh. Walaupun disinyalir seaglider yang ditemukan hanyut terbawa arus.

"Alat ini bisa dikendalikan. Tapi, dia tidak bisa melihat posisi kapal kita," kata Yudo.

 

 

Disorot Media Asing

Tidak hanya ramai diperbincangkan di Indonesia, media asing asal Inggris juga membahas penemuan alat tersebut. Media Inggris The Guardian, menyoroti temuan seaglider itu dengan berita berjudul "Indonesian fisher finds drone submarine on possible covert mission".

Dipublikasikan pada 31 Desember 2020 lalu, The Guardian dalam beritanya menuliskan bahwa "Seorang nelayan Indonesia telah menemukan, apa yang menurut para ahli kemungkinan besar adalah drone bawah laut China di perairan pada rute maritim strategis dari Laut China Selatan ke Australia".

Selain itu, media Inggris tersebut juga mengutip pendapat dari pengamat militer yang menyebutkan bahwa pesawat tak berawak itu adalah Sea Wing UUV China (atau Haiyi).

"Pesawat layang bawah air dikembangkan oleh institut otomatisasi Shenyang di Akademi Ilmu Pengetahuan China, dan dideskripsikan sebagai pengumpulan data termasuk suhu air laut, salinitas, kekeruhan, dan tingkat oksigen. Informasi tentang arus dan arah gerakan dikirimkan secara real time," demikian kutipan dalam laporan The Guardian.

Selain itu, laporan The Guardian tersebut juga menyoroti temuan seaglider serupa di Indonesia, yang ditemukan pada 2019 lalu.

"Varian lain dari Sea Wing UUV ditemukan oleh nelayan Indonesia pada Maret 2019 di Kepulauan Riau yang lebih dekat ke Laut Cina Selatan, dan satu lagi pada Januari tahun ini (2020) di Jawa Timur," kata laporan itu.

Laporan itu melanjutkan, "Pada Desember 2016, sebuah kapal angkatan laut China menemukan dan menyita drone bawah air AS di perairan internasional dekat garis pantainya yang sedang dalam proses pemulihan oleh Angkatan Laut AS".

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Butuh Waktu Satu Bulan

Meski belum diketahui namanya, pihak TNI AL berusaha untuk mengungkap siapa pemilik tersebut. Disebutkan penyelidikan ini akan memakan waktu 1 bulan.

"Satu bulan (untuk menyelidiki drone bawah laut tersebut)," kata Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Julius Widjodjono kepada Liputan6.com, Selasa (5/1/2021).

Saat ditegaskan apakah memang bukan alat spionase atau mata-mata, Julius hanya memberikan data Argo Float untuk memperlihatkan apa saja yang berada di perairan yuridiksi NKRI dan sekitarnya, tanpa menjelaskan lagi maksudnya.

Argo Flot merupakan instrumen yang bergerak mengikuti arus bawah laut yang akan muncul ke permukaan dan akan mengirimkan data ke satelit.

TNI AL berencana untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait seaglider ini bersama Kementerian Riset dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Nanti kita akan teliti lebih dalam lagi di Pushidrosal dan kita koordinasikan dengan Kemristek dan BPPT. Sehingga kita bisa meneliti lebih dalam alat tersebut," kata KSAL Laksamana TNI Yudo Margono.

Dia menegaskan, bahwa sampai saat ini belum ada negara yang mengklaim alat tersebut. Sehingga akan dilaporkan pihak Kementerian Luar Negeri.

Dia menegaskan, bahwa alat ini bukanlah untuk spionase atau mata-mata. "Jadi alat ini lebih pada untuk riset, riset bawah laut. Karena memang alat ini tidak bisa mendeteksi kapal. jadi bukan untuk kegiatan mata-mata dan sebagainya," ungkap Yudo.

"Jadi jangan nanti salah persepsi bahwa seolah-olah alat ini untuk kegiatan mata-mata, dan sebagainya," kata dia.

Karena, itu Kementerian Pertahan mengajak publik tidak berpolemik yang kontraproduktif. Baik Kemhan maupun TNI AL akan menangani permasalahan tersebut.

"Untuk lebih rinci pihak TNI AL melalui Pusat Hidrografi dan Oseanografi akan menyelidiki lebih lanjut drone tersebut,” kata Juru Bicara Menteri Pertahanan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak.

 

3 dari 4 halaman

Diduga Punya Tujuan Buruk

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, sulit melihat ada tujuan baik dari keberadaan seaglider di perairan Indonesia.

"Sulit untuk mengatakan bahwa penggunaan seaglider itu bukan sesuatu yang disengaja bahkan direncanakan. Lokasi penemuan perangkat itu berada di kawasan perairan teritorial kita dan tidak ada klaim bahwa Indonesia memiliki perangkat tersebut," kata Khairul kepada Liputan6.com, Selasa (5/1/2021).

"Siapapun pemiliknya, menurut saya, perangkat tersebut telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk, berpotensi merugikan kepentingan nasional dan mengancam kedaulatan kita," lanjut dia.

Dia meyakini, alat tersebut tidak langsung digunakan untuk melakukan spionase. Namun, memang memiliki manfaat untuk kepentingan intelijen.

"Seaglider ini tentu memiliki manfaat yang tidak sedikit jika digunakan untuk kepentingan intelijen dan pengamanan terutama untuk operasi-operasi dan pergerakan bawah air. Selain data dan informasi strategis menyangkut kedalaman dan lapisan laut yang tentu sangat berguna bagi pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan," jelas Khairul.

Karena itu, dia meminta pemerintah harus menyampaikan protes keras melalui saluran diplomatik jika sudah mengetahui pemilik seaglider tersebut.

"Jika negara atau pihak penggunanya sudah diketahui, langkah yang harus ditempuh pemerintah pastinya adalah menggunakan saluran diplomatik untuk menyampaikan protes dan peringatan keras," tutur Khairul.

Dia juga berharap dengan momentum ditemukannya drone bawah laut ini, bisa membuat pemerintah dan stakeholder lainnya mencari cara agar tidak terjadi kejadian yang serupa.

"Selanjutnya, pemerintah dan DPR juga harus segera mendiskusikan langkah yang mesti diambil untuk meningkatkan kemampuan menutup celah rawan ini, dari aspek regulasi hingga kebutuhan perangkat deteksi dan penangkalannya," ungkap Khairul.

Senada, pengamat pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis (LSPSSI) Beni Sukadis memandang perlu meningkatkan sistem pengawasan.

"Perkuat sistem pengawasan ISR (Inteligence, Surveilance dan Reconaisance) yaitu memperbaiki dan meningkatkan radar laut (atas dan bawah laut)," kata Beni kepada Liputan6.com, Selasa (5/1/2021).

Karena itu, agar bisa menerapkan pengawasan yang ideal maka diperlukan kebijakan pertahanan yang baik dan peningkatan kualitas SDM yang memadai.

"Diperlukan kebijakan pertahanan yang koheren meliputi pengadaan dan peningkatan SDM bidang pengawasan hal terkait oleh Kemhan atau militer," jelas Beni.

Pasalnya, dengan kejadian ditemukannya seaglider ini melihat laut Indonesia sangat terbuka.

"Saya lihat wilayah laut atau maritim sangat terbuka bagi lalu lintas kapal permukaan dan bawah permukaan, karena ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) termasuk lintas pelayaran internasional bagi kapal-kapal asing," kata Beni.

 

4 dari 4 halaman

Termasuk Bagian dari Spionase

Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono melihat keberadaan seaglider justru hal yang berbahaya dan termasuk ilegal. Karena ada pihak yang mencoba mengumpulkan data dari negara Indonesia.

"Tujuannya untuk apa? kepentingannya untuk apa? Itu kan melakukan pelanggaran hukum karena memasuki wilayah Indonesia melanggar hukum internasional tentang pelanggaran terhadap kedaulatan kita," kata Dave kepada Liputan6.com, Selasa (5/1/2021).

Menurut dia, dengan data apa saja yang terkandung di laut kita, juga dianggap bentuk spionase atau mata-mata. "Spionase bukan hanya memata-matai kegiatan negara. Bisa juga melihat sumber daya alam itu juga bagian dari spionase," jelas Dave.

Politisi Golkar ini menduga ini perbuatan dari pihak luar. "Kalau peneliti Indonesia tidak mungkin seramai ini dong, pasti udah diakui kalau misalnya dari Indonesia. Yang pasti dari luar, cuma sekarang lagi dipastikan siapa pemiliknya, teknologinya seperti apa," tutur Dave.

"Kalau kita memiliki bukti mereka itu mengumpulkan data, ya kita harus menuntut mereka minta maaf secara publik," jelas dia.

Dia mengungkapkan hal ini bukan barang baru. Bahkan pernah ada empat seaglider ditemukan di perairan Indonesia.

"Ada satu yang ada tulisan aksara Chinanya, satu lagi juga yang bahasa Inggris. Kita mengasumsikan itu dari negara lain. Jadi ini ya bukan hal yang baru," kata Dave.

Karena itu, sekarang yang harus dilakukan pastikan terlebih dahulu pemilikinya siapa, data yang diambil apa saja dan dikirim kemana.

"Nanti kalau kita sudah tahu pasti ini milik siapa dan untuk apa, ya kita harus memberikan nota diplomatik ke negara tersebut mengapa aada alat ini, untuk apa tujuan anda mengirim alat ini," tutur Dave.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Willy Aditya menuturkan, seaglider ini memiliki alat perekam untuk memperoleh data yang berada di lautan.

Karena itu penting bagi pemerintah meminta pemilik atau yang mengoperasikan drone untuk menjelaskan sejauh apa data yang telah diambil dan kepentingannya.

"Jika terbukti pemilik atau pihak yang mengoperasikan drone terbukti bukan berbendera Indonesia, maka wajib bagi pemerintah untuk menuntut pengembalian data dan penghapusan simpanan data di pemilik drone," ungkap Willy.

Politisi NasDem ini menuturkan, secara prinsipil operasional peralatan seperti yang ditemukan di Selayar ini harus memiliki izin karena beroperasi di perairan kedaulatan indonesia.

"Dengan demikian investigasi Kemenhan, TNI dan aparat pemerintah lainnya harus bisa mengungkap secara gamblang. Asal muasal, apa yang dilakukan, penanggung jawab, dan seterusnya. Dari dasar inilah tindakan lanjutan secara diplomatik dapat dilakukan" kata dia.