Liputan6.com, Jakarta - Indonesia termasuk salah satu negara pengguna minyak sawit yang cukup banyak. Pada 2019, penggunaan minyak goreng di Tanah Air mencapai 13 juta ton per tahun atau setara dengan 16,2 juta kiloliter per tahun. Sedangkan potensi minyak jelantah setiap tahunnya 3 juta kiloliter.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan bahwa minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) memiliki berbagai kegunaan, terutama untuk biodiesel.
Baca Juga
"Kalau bisa kita kelola (minyak jelantah) dengan baik, bisa memenuhi sebagian kebutuhan biodiesel nasional," ucap Andriah dalam webinar Katadata bertema Peluang Minyak Jelantah Sebagai Alternatif Bahan Baku Biodiesel, Kamis (7/1/2021).
Advertisement
Selain itu, pengembangan biodiesel berbasis minyak jelantah memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk diekspor. Dipasarkan di luar negeri pun memiliki peluang yang cukup besar.
Dengan memanfaatkan minyak jelantah, biaya produksi pun bisa lebih hemat 35 persen, dibandingkan dengan biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).
"Tapi, ini harus dilihat lagi, karena kita lihat dari beberapa industri yang ada tidak bisa sustain. Ada hal-hal yang memengaruhi biaya operasionalnya," ungkap Andriah.
Sementara itu, untuk pemanfaatan minyak jelantah sebagai feedstock biorefinery, menurut VP Strategic Planing Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional Prayitno masih ada hal yang harus dipikirkan.
"Untuk UCO yang menjadi salah satu PR-nya bagaimana kita mengumpulkan minyak jelantah untuk skala industri, termasuk logistik dan handling. Kita bisa benchmark dari perusahaan di luar (negeri), bagaimana mereka mengumpulkan minyak jelantah," jelas Prayitno.
"Untuk CPO, kita perlu jaminan feedstock serta semacam kebijakan atau support dari stakeholder untuk memastikan secara bisnis juga, baik bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan ini," sambungnya.
Apabila sekitar 1,2 juta kilo biodiesel dari kelapa sawit diganti dengan minyak jelantah yang dikumpulkan dari sektor rumah tangga, maka bisa menghemat sekitar Rp 4,2 triliun. Angka itu sesuai dengan angka data produksi biodiesel dari 2020. Namun, ada tantangan untuk mewujudkan hal tersebut.
"Kita enggak menutup mata pengumpulan use cooking oil dari sektor rumah tangga akan sangat susah dilakukan, bukan berarti susah itu enggak bisa dilakukan," pungkas Tenny Kristiana, Researcher ICCT untuk Program Bahan Bakar.
Pada 2018, studi The International Council on Clean Transportation (ICCT) menyebutkan produksi minyak jelantah dari restoran, hotel, hingga sekolah mencapai 157 juta liter untuk wilayah perkotaan saja. Adapun produksi dari sektor rumah tangga bahkan mencapai 1.638 juta liter.
Meski demikian, minyak jelantah adalah salah satu limbah minyak kelapa sawit yang keberadaannya membahayakan lingkungan dan kesehatan. Mengutip kajian ICCT, berdasarkan survei yang dilakukan pada 2017 menemukan bahwa 51% minyak jelantah rumah tangga di Tangerang menjadi limbah yang mencemari lingkungan.
Sebesar 39% terbuang di selokan dan 4% mencemari tanah. Hal tersebut juga terjadi di Bogor (2015) di mana 51% of UCO rumah tangga di Bogor menjadi limbah selokan sedangkan 17% mencemari tanah.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ancaman Kesehatan
Di sisi kesehatan, minyak jelantah juga menjadi ancaman bagi tinggginya jumlah penyakit kronis layaknya jantung, kolesterol, stroke, hingga kanker. Minyak goreng sawit berbahaya bagi kesehatan jika digunakan kembali untuk memasak dalam bentuk jelantah karena proses pemanasan yang lama ataupun berulang akan menyebabkan oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang menghasilkan radikal bebas senyawa peroksida yang bersifat toksis bagi sel tubuh.
Di sisi lain, pemerintah sedang menggalakan program Bahan Bakar Nabati (BBN) melalui produksi biodiesel untuk mewujudkan ketahanan energi masa depan. Bahan baku pembuatan biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO) yang dapat menghasilkan bahan bakar pengganti solar.
Bahkan Pada Desember 2019, Presiden Jokowi meluncurkan program Biodiesel 30 persen untuk mendukung program mengurangi impor energi. Adapun pada 2020, pemerintah kian ambisius untuk menggenjot biodiesel kualitas B40 hingga B50.
Oleh karena itu, limbah minyak jelantah yang melimpah dapat dimanfaatkan menjadi berkah untuk mendukung program pemerintah sebagai alternatif bahan baku biodiesel.
Berdasarkan data ICCT dari total produksi minyak jelantah 2018, mampu berkontribusi terhadap 35% produksi biodiesel nasional. Tentu fakta tersebut merupakan potensi yang cukup besar. Selain itu, penggunaan minyak jelantah lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Advertisement