Sukses

5 Pernyataan LBH Pers Terkait Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Sepanjang 2020

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi menyebut, sebagian besar kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh aparat kepolisian.

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan terhadap jurnalis bukan hal baru dalam dunia pers di Tanah Air. Setiap tahunnya, kabar adanya tindak kekerasan yang dialami awak media kerap terdengar.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers bahkan menyebut, tingkat kekerasan terhadap jurnalis meningkat sebesar 30 persen lebih pada 2020. 

"Meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yaitu (lebih dari) 30 persen," kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudi dalam melalui siaran daring, Selasa (12/1/2021).

Adapun aktor di balik kekerasan terhadap jurnalis tersebut mayoritas dilakukan oleh aparat kepolisian. Terutama saat tengah terjadi aksi demonstrasi. 

Berikut deretan pernyataan LBH Pers terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, dihimpun Liputan6.com: 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 6 halaman

117 Kasus Sepanjang 2020

Ade menuturkan, kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020 mencapai 117 kasus. Menurutnya angka ini tertinggi sejak era pasca-reformasi.

"Tahun 2020 jumlah kekerasannya paling banyak pasca-reformasi. Jadi ya artinya tahun 2020 tahun yang terburuk pascareformasi, bukan hanya di era Jokowi saja. Memang dari 1998 sampai sini yang melebihi angka 100 (kasus) itu tahun 2020," ucap Ade.

 

3 dari 6 halaman

Terjadi di Area Demostrasi

Lebih lanjut dia mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis sebagain besar terjadi di arena demonstrasi. Angkanya lebih dari 70 kasus jurnalis yang mengalami kekerasan saat meliput aksi demonstrasi.

"Meliput demonstrasi Omnibus Law gitu ya itu menjadi kasus yang terbanyak, bahkan lebih dari 70 kasus itu berasal dari meliput demonstrasi Omnibus Law," jelas Ade.

 

 

4 dari 6 halaman

Kenapa Kerap Jadi Sasaran Kekerasan?

Ade menduga sebenarnya aparat di lapangan tidak menargetkan jurnalis, tetapi karena jurnalis sedang mendokumentasikan sebuah peristiwa kekerasan, maka mereka pun kerap turut menjadi sasaran kekerasan pula.

"Baik itu menghapus (file), alatnya dirampas, atau bahkan ditangkap itu terjadi. Dan di sebelumnya (2019) tidak ada penangkapan, tapi di tahun 2020 ada penangkapan dan saya pikir ini jadi hal yang cukup berbahaya ya," kata Direktur LBH Pers ini.

5 dari 6 halaman

Polisi Jadi Aktor Kekerasan Terhadap Jurnalis

Menurut Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi, sebagian besar kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh aparat kepolisian.

"Pelaku kekerasan yang terbanyak polisi ya. Kenapa itu polisi? Karena tadi sangat berkaitan dengan kekerasan yang terjadi saat meliput demonstrasi dan di demonstrasi itu berhadapan antara massa dengan kepolisian. Sehingga ya cukup masuk akal ketika pelakunya adalah kepolisian," jelas Ade melalui siaran daring, Selasa (12/1/2021).

Ade mengungkap, terjadi kenaikan sebanyak 32 persen kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2020. Sehingga LBH Pers mencatat pada 2020 kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia mencapai 117 kasus.

6 dari 6 halaman

Kriminalisasi dan Pemenjaraan Jurnalis

Direktur LBH Pers Ade Wahyudi mengungkapkan, bahwa sepanjang 2020, terdapat 10 jurnalis yang diskriminalisasi. Dua di antaranya sudah divonis penjara.

"Kemudian kriminalisasi ada dua kasus, kriminalisasi ini dua kasus itu divonis oleh pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Buton dan Pengadilan Negeri Kota Baru," kata Ade saat rilis Laporan Tahunan LBH Pers, Selasa (12/1/2021).

Ade menilai, pemenjaraan terhadap dua jurnalis tersebut merupakan sebuah preseden buruk bagi dunia pers Tanah Air.

"Dan semuanya itu dipenjara, divonis bersalah. Ini menjadi preseden yang sangat buruk bagi tahun 2020 karena ada dua jurnalis yang divonis pidana," ujar Ade.

Dampaknya, kata Ade, bakal menggangu kerja-kerja jurnalistik jika pers dapat dikriminalisasi. Sementara untuk delapan kasus lainnya masih dalam proses.

"Dari 10 kasus ini semuanya menggunakan Undang-Undang ITE, Pasal 27 Ayat 3 (tentang) pencemaran nama baik dan penghinaan dan Pasal 28 Ayat 2 terkait dengan ujaran kebencian," kata dia.

 

(Fifiyanti Abdurahman)