Liputan6.com, Jakarta - Rezim orde baru (Orba) kerap membungkam para pengkritiknya, tak terkecuali media massa. Sejarah hari ini mencatat, 43 tahun silam Presiden Soeharto lewat Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) memberedel tidak hanya satu surat kabar, melainkan tujuh.
Ketujuh surat kabar tersebut adalah Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi.
Mulanya, ketika itu Jumat malam, 20 Januari 1978, Kantor Kompas yang ada di Palmerah, Jakarta Barat masih ramai wartawan yang sibuk menyelesaikan berita. Deadline menanti mereka.
Advertisement
Namun pada pukul 20.00 WIB, sebuah telepon berdering di meja redaksi. Kompas menerima telepon dari Letkol Anas Malik, Kepala Penerangan Laksusda Jaya yang menyatakan Kompas dilarang terbit.
"Saya minta semua wartawan merampungkan tulisannya," kata wakil pemimpin redaksi P Swantoro seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 28 Januari 1978.
Meski dilarang, Kompas dan koran lain tetap lanjut menulis, menyelesaikan berita sesuai deadline hari itu. “Mereka tetap mengetik sekalipun tak boleh terbit esoknya. Untuk dokumentasi,” ujar Swantoro.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dianggap Menghasut dan Menggangu Stabilitas Nasional
Penyebab larangan terbit tersebut hanya karena pemberitaan mereka dianggap “menghasut” rakyat oleh rezim Orba.
Adapun pertimbangan Kopkamtib itu disebutkan karena, "pemberitaan dalam harian-harian itu dianggap telah menjurus kepada sifat-sifat menghasut, yang langsung maupun tidak langsung sudah merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban." kutipan Malah Tempo.
Kepala Kopkamtib kala itu, Sudomo menyatakan, pelarangan tersebut demi menjaga masyarakat dari kabar menyesatkan. “Tindakan itu dilakukan untuk memelihara ketenteraman umum dan menghindarkan tersebarnya berita-berita yang menyesatkan masyarakat,” ujarnya
Menurut Sudomo, pemberedelan tersebut bukan untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara saja.
Namun sembari menunggu perkembangan, Kopkamtib tetap mempertimbangkan untuk melakukan pencabutan ijin terbit majalah dan koran-koran tersebut.
“Itu memang berlaku untuk sementara, sambil menunggu proses lebih lanjut perlu tidaknya dilakukan pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT),” katanya.
Advertisement
Kartu Kuning Pencabutan SIT
Menteri Penerangan kala itu, Sudharmono menyatakan, bahwa larangan terbit itu sebagai peringatan awal atau "kartu kuning" agar tak terjadi pencabutan SIT.
Sudharmono mengklaim, pihaknya sebelumnya sudah berbicara dengan para pemimpin redaksi suratkabar. “Untuk untuk meminta pengertian mereka agar menghindari pemberitaan yang dianggapnya bisa mengganggu stabilitas nasional,” katanya.
Terkait nasib ribuan karyawan yang bergantung pada keberlanjutan surat kabar tersebut, pemerintah menyatakan demi keamanan nasional, pelarangan itu yang terbaik.
“"Mana yang lebih penting: rakyat 120 juta atau 1.000 orang. Tentu yang 120 juta, dong." Sampai kapan? Inilah pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang,” kata Kepala Puspen Hankam, Brigjen Daryono dalam Majalan Tempo.
Meski sempat ada ancaman pencabutan izin terbit, akhirnya pelarangan itu hanya berlangsung dua pekan.
Melunaknya sikap pemerintah terjadi setelah para pemimpin redaksi membuat kesepakatan untuk mau memelihara stabilitas nasional.
Meski demikian, rezim Presiden Soeharto masih menganggap pers yang kritis ini sebagai hambatan serius dan sangat mengganggu. Tahun-tahun setelahnya, Orba masih terus mencoba memadamkan kritik dengan cara pemberedelan.