Banjarmasin - Indonesia terpukul. Rentetan bencana alam yang menimpa sejumlah daerah pada awal 2021 memberi kesan bahwa negeri Zamrud Khatulistiwa ini sedang tidak baik-baik saja.
Bencana alam yang melanda Indonesia di bulan pertama tahun Kerbau Logam ini di antaranya banjir, gempa, tanah longsor, dan erupsi gunung. Sederet bencana yang terjadi di Tanah Air itu salah satunya dipicu cuaca buruk.
Baca Juga
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca buruk masih akan terus berlangsung hingga Maret 2021. Cuaca buruk diprediksi akan dialami lebih dari 10 provinsi di Indonesia, mencakup sebagian besar Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, sampai Papua.
Advertisement
Bencana tanah longsor terjadi di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat pada Sabtu, 9 Januari 2021 sekitar pukul 15.00 WIB. Bahkan longsor terjadi dua kali di hari yang sama. Ketika longsor terjadi, Desa Cihanjuang tengah diguyur hujan lebat.
Tim SAR Gabungan kembali menemukan tujuh korban meninggal dunia akibat longsor yang terjadi di Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat pada Sabtu (16/1). Semua korban tewas telah ditemukan yang berjumlah 40 orang.
Bencana banjir tercatat banyak melanda beberapa daerah di Indonesia. Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sejauh ini mengalami banjir yang terparah di awal tahun ini.
Cuaca buruk yang tengah terjadi membuat dampak banjir semakin meluas. Setidaknya ribuan rumah terendam, puluhan ribu jiwa terdampak, serta jalan atau akses transportasi terputus akibat banjir Kalimantan Selatan.
Berdasarkan catatan BNPB, peristiwa banjir di Kalsel meliputi wilayah Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Balangan.
Selain itu, banjir juga terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan dan Banyuasin, Sumatera Selatan. Di samping itu, tujuh kecamatan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, juga dilaporkan terendam banjir setelah hujan deras sehingga membuat aliran sungai meluap.
Di Maluku Utara pun tercatat mengalami bencana banjir pada Sabtu (16/1/2021). BPBD Halmahera Utara mengungkapkan sedikitnya 2.863 orang dari empat kecamatan harus mengungsi karena terendam banjir.
Kabupaten Pidie dan Aceh Timur, Provinsi Aceh juga dilaporkan mengalami bencana banjir awal tahun 2021. Di Aceh Timur terdapat 509 unit rumah terendam banjir, sedangkan di Pidie setidaknya enam kecamatan terkena banjir.
Kabupaten Jember, Jawa Timur, juga diterpa banjir bandang dan banjir genangan sejak Selasa (12/1/2021), hingga membuat sebanyak 3.986 kepala keluarga terdampak. Teranyar, banjir bandang terjadi di area Gunung Mas, Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Selasa (19/1/2021) pagi WIB.
Sementara itu, pada Kamis, (14/1/2021) bencana gempa bumi terjadi di wilayah Majene, Mamuju dan sekitarnya, di Provinsi Sulawesi Barat dengan kekuatan 5,9 magnitudo.Lalu, giliran Majene yang diguncang gempa berkekuatan 6,2 magnitudo pada Jumat (15/1/2021) pukul 01.28 WIB.
Menurut BNPB, hingga Senin ((18/1/2021) korban jiwa akibat gempa Magnitudo 6,2 di Sulawesi Barat bertambah menjadi 81 orang. Ribuan bangunan di Sulawesi Barat juga rusak akibat gempa tersebut.
Erupsi di Sinabung dan Semeru
Di sisi lain, erupsi juga terjadi Gunung Sinabung dan Semeru. Pada Sabtu (16/1/2021) sore WIB, Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengeluarkan awan panas guguran sejauh 4,5 km. Masyarakat di sekitar Gunung Semeru sudah diminta waspada untuk menghadapi potensi bencana yang bisa ditimbulkan.
Untuk Gunung Sinabung di Sumatera Utara, erupsi terjadi pada Minggu (17/1/2021) sore WIB. Menurut BPBD Kabupaten Karo, Gunung Sinabung menyemburkan debu setinggi lebih kurang 500 meter.
Gunung Sinabung juga sempat berada dalam status Level III (Siaga) dan warga sekitar telah diperingatkan untuk tidak melakukan aktivitas di lokasi dalam radius 3 km dari Gunung Sinabung.
Selain itu, Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, juga erupsi pada 17 Januari 2021 dengan meluncurkan lontaran batuan pijar, hembusan awan panas akibat dari semburan lava yang menyembur dari kubah lava.
Bukan rahasia lagi bahwa fenomena La Nina di Indonesia seringkali terjadi pada bulan November, Desember, Januari, Februari, bahkan sampai Maret. Fenomena La Nina tahun ini pun memang sudah diprediksi dan berpotensi menyebabkan bencana alam.
La Nina adalah anomali sistem iklim global yang terjadi dengan periode ulang berkisar antara 2-7 tahun di Samudra Pasifik dan atmosfer, langit di atasnya berubah dari keadaan netral (normal) serta minimal berlangsung selama 2 bulan. Dalam fenomena La Nina yang terjadi yakni pendinginan yang tidak biasa, yaitu anomali suhunya melebihi -0.5 derajat celcius di area yang sama. Fenomena La Nina diprediksi akan menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia.
Saksikan Video Berikut Ini
Banjir Kalsel sebagai Darurat Ruang dan Bencana Ekologis
Banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan memang tergolong sangat parah. BNPB mencatat 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan terdampak banjir dengan pengungsi yang menembus angka 100 ribu orang.
Tidak sedikit yang mempertanyakan penyebab banjir parah Kalimantan Selatan. Ada yang menyebut bahwa banjir Kalsel akibat dari area hutan yang semakin berkurang dan wilayah pertambangan batu bara serta perkebunan kelapa sawit yang terus meluas.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), menganalisa penyebab banjir yang merendam ribuan bangunan di Kalimantan Selatan. Hasil analisa tersebut menunjukkan adanya curah hujan tinggi dan turunnya lahan luas hutan primer.
LAPAN melaporkan, terdapat alih fungsi lahan yang signifikan antara 2010-2020. Sebagai contoh, hutan primer di Kalimantan Selatan berkurang 13 ribu hektar, hutan sekunder berkurang 116 ribu hektar, sawah berkurang 146 ribu hektar, dan semak belukar berkurang 47 ribu hektar.
Di sisi lain, area perkebunan bertambah 219 ribu hektar dalam 10 tahun terakhir. Menurut data LAPAN, sekarang ada 650 ribu hektar perkebunan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mengungkapkan, dari total luas wilayah Kalimantan Selatan yang mencapai 3,7 juta hektar, hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Dari data Walhi, luas hutan primer Kalsel hanya mencapai 89.169 hektar, sedangkan luas hutan sekunder sebesar 581.188 hektar. Di sisi lain, wilayah yang telah memperoleh izin tambang malah sudah menyentuh 1.219.461 hektar, sementara untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 620.081 hektar.
"Kalsel dengan luas 3,7 juta Ha, ada 13 Kab/Kota, 50 persen Kalsel sudah dibebani ijin tambang 33 persen dan perkebunan kelapa sawit 17 persen belum HTI dan HPH," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, usai dihubungi Liputan6.com.
Tata Kelola Lingkungan Carut Marut
Tata kelola lingkungan dan SDA di Kalsel dinilai carut marut. Selain itu, daya tampung dan daya dukung lingkungan di Kalsel juga rusak, termasuk tutupan lahan dan DAS (Daerah Aliran Sungai). BMKG sendiri mengklaim sudah memprediksi banjir kali ini menyusul cuaca yang terjadi beberapa hari terakhir.
"Dan pemerintah lagi-lagi tidak siap. Dan melihat kondisi yang ada ini, kami mendesak pemerintah segera turun tangan dan menerapkan status tanggap darurat. Bahkan ini sudah menjadi darurat bencana di Kalimantan Selatan," ujar Kisworo.
"Saya telah berulang kali memperingatkan bahwa Kalimantan Selatan dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Terjadi konflik agraria, karena mayoritas pemilik tambang maupun kebun sawit merupakan perusahaan besar di Indonesia."
Namun, pandangan Walhi soal penyebab banjir Kalsel ditepis oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya. Menurut Siti Nurbaya, banjir yang melanda Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, Kalsel, penyebab utamanya karena anomali cuaca ekstrem.
Data yang disampaikan Kemenhut menyebut bahwa curah hujan yang tinggi menjadi penyebab utama musibah banjir yang terjadi di beberapa wilayah Kalimantan Selatan. Siti Nurbaya juga membandingkan curah hujan harian tahun ini dengan tahun sebelumnya.
"Normal curah hujan bulan Januari 2020 sebesar 394 mm. Sedangkan curah hujan harian 9-13 Januari 2021 sebesar 461 mm selama lima hari," terang Siti Nurbaya dalam keterangan diterima wartawan, Selasa (19/1/2021).
Siti Nurbaya memaparkan, total sebanyak 2,08 milyar m3 volume air hujan masuk ke sungai Barito, padahal dalam kondisi normal hanya 238 juta m3. Sedangkan di Kabupaten Tanah laut debit sungai mencapai 645,56 m3 per detik, padahal kapasitas hanya 410,73 m3/detik.
Sementara di Kabupaten Banjar debit sungai 211,59 m3/detik padahal kapasitas hanya 47,99 m3/detik dan di Kabuaten Hulu Sungai Tengah tercatat debit sungai mencapai 333, 79 m3/detik, padahal kapasitas cuma 93,42 m3/detik.
Kondisi ekstrem banjir seperti ini pernah terjadi pada tahun 1928 di DTA Barabai. Menurut Kemenhut, kejadian ini mungkin saja merupakan periode ulang seratus tahun (dalam analisis iklim biasa dihitung periode ulang 50 tahun, 100 tahun dll untuk memperhitungkan kapasitas dam yang akan dibangun).
Penyebab banjir lainnya menurut Kemenhut yakni sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar. Daerah banjir berada pada titik pertemuan 2 anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander (lekukan sungai besar) serta fisiografi-nya berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.
Saat ini, Kemenhut tengah mempelajari potensi kondisi Rob. Siti Nurbaya menyatakan, persebaran kawasan DAS yang saat ini sebesar 40 persen berada di kawasan hutan dan 60 persen di kawasan yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Siti Nurbaya menyimpulkan, perizinan kebun belum tampak sebagai faktor utama, tapi hal itu masih dipelajari secara mendalam. Menurut dia, perizinan tambang juga secara luasan hanya 37 ribu hektar dari areal izin 55 ribu hektar sejak 2008.
Sementara itu, menurut Pakar Manajemen Risiko Iklim, Adaptasi & Mitigasi Perubahan Iklim IPB (Institut Pertanian Bogor), Prof. Dr. Rizaldi Boer, menjelaskan, penyebab banjir di Kalsel dampak dari berbagai macam faktor.
Faktor iklim dan faktor kerusakan lingkungan yang pasti sama-sama berkontribusi. Tapi, Rizaldi mengatakan, iklim dengan curah hujan sangat tinggi sesungguhnya sudah diprediksi sebelumnya.
"Fenomena La Nina sedang berlangsung. Artinya memang kondisi curah hujan yang tinggi itu sudah diprediksi dari awal tahun sudah dibicarakan. Sudah ada beberapa kali diskusi dan seminar juga disampaikan, memang prediksi awal dinyatakan kering, tapi ternyata itu memang basah dan sekarang sudah berjalan. Situasi yang seperti sekarang ini, hujan yang tinggi intensitasnya itu memang sudah diprediksi jauh sebelumnya," jelas Rizaldi ketika dihubungi Liputan6.com.
Rizaldi menuturkan, kendati dari sisi intensitas hujan meningkat, tapi di sisi lain kerusakan lingkungan dari kemampuan ekosistem hutan kita dalam menahan hujan yang intensitas tinggi itu sudah menurun besar. Sebab, wilayah-wilayah tangkapan hujan di Indonesia memang sudah mengalami kerusakan.
"Tentu kemampuan untuk menahan air hujan yang besar itu juga berkurang, akibatnya limpasan semakin tinggi apalagi dikombinasikan dengan kejadian rob. Ini bertemu lah dua massa air yang besar, dari pantai juga meningkat kemudian dari atas dari wilayah upstream ke bawah juga tak tertahan akhirnya lahir banjir yang besar."
"Jadi kalau sekarang kan intensitas hujan kita lebih tinggi dari normal, karena memang kondisi global menyebabkan hujan di Indonesia itu lebih tinggi dari biasanya. Kalau seandainya kita ibaratkan, saya pegang cangkir, kalau cangkit itu kita berikan air yang cukup, tidak akan melimpah, tapi jika curah hujan lebih besar ya pasti melimpah, karena kemampuan menampungnya itu sudah terlewati. Jadi daya dukungnya itu sudah terlampaui. Akibatnya akan melimpah. Sekarang ini hujan berat tahun ini sudah melewati daya dukungnya. Sehingga menimbulkan bencana," beber Rizaldi Boer.
Menurut BMKG sendiri, saat ini memang terjadi peningkatan curah hujan akibat fenomena gelombang atmosfer ekuator MJO (Madden Julian Oscillation), yang sedang aktif di Samudera Hindia.
Advertisement
Investasi Sebelum Gempa
Pakar tektonik Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengakui Indonesia memiliki potensi sumber gempa yang banyak. Tapi, kata dia, dampaknya sebenarnya bisa diminimalisir.
"Jangan dianggap sesuatu yang linear. Kalau potensi gempa besar, maka bencananya juga akan besar. Kalau bencana itu pilihan, karena kita punya kemampuan untuk mengurangi dampaknya," kata Irwan kepada Liputan6.com.
Dia menjelaskan, untuk mengurangi dampak bencana gempa, maka yang harus dilakukan adalah "Investasi".
"Investasi di sini maksudnya adalah sesuatu yang harus kita lakukan duluan, sebelum bencananya terjadi. Pertama, kita harus mengetahui sumber gempa dan itu bisa dilakukan dengan riset yang baik. Seperti di Majene dan Mamuju, ada dua kemungkinan sumber gempa. Sampai sekarang kita belum tahu pasti sumber gempanya yang mana. Tapi kan yang seperti itu harusnya bisa kita ketahui sebelum bencananya terjadi."
Kedua, kata Irwan, memahami risiko gempa. "Jadi, kalau kita sudah tahu ada sumber gempa di suatu daerah, kita sudah harus tahu dampaknya kira-kira seperti apa. Ketika kita sudah mengetahui dampaknya seperti apa, kita bisa paham, kita harus membangun seperti apa, membangun kantor Gubernur atau rumah sakit seperti apa, sehingga tidak sampai retak atau rusak."
Pria jebolan Nagoya University tersebut mengatakan, investasi lain yang bisa dilakukan sifatnya adalah non struktural seperti menyiapkan masyarakat, melatih masyarakat, membuat jalur evakuasi dan masih banyak lagi.
Irwan percaya, Indonesia sebenarnya memiliki banyak periset atau ahli gempa yang bagus. Namun, mereka butuh dukungan negara. "Jangan yang terjadi kebalikannya, kalau kebalikannya, biasanya perisetnya yang berusaha cari funding sendiri."
"Kalau bencana gempa terjadi, kita harus berusaha maksimal menyelamatkan masyarakat, itu no question. Tapi kan sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu sebelum bencana gempa. Jadi, yang sudah terjadi, biarlah jadi pembelajaran yang sangat sangat mahal. Tapi kita harus menjamin di masa depan, ini tak boleh terjadi lagi," ucapnya.
Mitigasi Masyarakat di Wilayah Bencana
Masyarakat di wilayah-wilayah yang sudah sering terjadi bencana biasanya sudah mulai adaptif dengan kondisi yang ada. Pakar Manajemen Risiko Iklim, Adaptasi & Mitigasi Perubahan Iklim IPB, Rizaldi Boer, melihat masyarakat menyesuaikan dengan kondisi adanya perubahan iklim.
Dia mengambil contoh bagaimana wilayah-wilayah langganan bencana di Jakarta, rumah-rumah yang kena banjir biasanya, dibuat dua lantai oleh masyarakat. Barang-barang berharga akan diletakkan di lantai teratas, sehingga ketika terjadi banjir, lebih aman.
Namun, apabila perubahan itu semakin melewati hasil perhitungan masyarakat, dampaknya akan lebih besar. Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Oppoptunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM – SEAP) IPB ini berpendapat, hal itu bisa jadi ukuran sejauhmana kemampuan dari ekosistem untuk mendukung perubahan yang terjadi atau menampung perubahan yang terjadi.
"Itu akan memengaruhi sesering apa wilayah itu akan terkena bencana. Semakin rendah daya dukung dan daya tampungnya, akan semakin sering dia (daerah itu) terkena bencana. Daya dukung dan daya tampung ini bisa berubah dengan dilakukan upaya-upaya perbaikan ekosistem," ujar Rizaldi Boer.
"Jadi kesadaran masyarakat bukan hanya yang di lokasi itu saja, tapi bagaimana dia juga menyadari pentingnya untuk memperbaiki wilayah-wilayah yang memang berkontribusi terhadap kondisi yang ada di wilayahnya. Selama ini kita kenal adanya pembayaran terhadap jasa lingkungan atau payment for environmental services, bagaimana pemerintah daerah yang berada di daerah yang berada di wilayah hilir itu membayar daerah yang berada di wilayah hulu, yang berkontribusi dalam menjaga perbaikan wilayah tangkapan hujannya."
Rizaldi Boer mengambil contoh bagaimana Pemda Cirebon membayar Kabupaten Kuningan karena Kabupaten Kuningan merupakan wilayah yang memang memberikan jasa lingkungan air bersih. Dia menilai skema-skema seperti itu akan cukup menarik untuk dikembangkan secara meluas dan menjadi sebuah kebijakan.
"Jadi kesadaran itu tidak cukup kepada wilayah yang masyarakatnya di sekitar, tapi kalau masyarakat yang ada di hulu tidak sadar juga ya sama saja kan. Sementara yang terkena dampak kan biasanya berada di wilayah hilir," kata pria kelahiran Bandung, Jawa Barat ini.
Setelah bencana banjir parah yang menimpa Kalimantan Selatan, tentu perlu dilakukan perbaikan ekosistem. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka akan terjadi terus bencana banjir seperti di Kalsel.
"Maka itu harus dikombinasikan antara intervensi yang sifatnya struktural dengan non-struktural. Kalau yang struktural itu ya memang harus dikembangkan kemampuan untuk membangun saluran-saluran penampung banjir. Jadi dengan infrastruktur. Jadi bangunan-bangunan pengendalian banjir itu harus dibangun," jelas Rizaldi Boer.
"Kalau seandainya upaya untuk memperbaiki ekosistem ini tidak bisa berjalan dengan baik, ya tentu akhirnya harus masuk intervensi yang sifatnya struktural. Jadi dengan struktur fisik mengendalikan banjir tersebut. Itu akan menjadi sangat mahal," bebernya.
Jika tidak ingin keluar biaya yang sangat mahal dalam intervensi yang sifatnya struktural, maka bentuk-bentuk adaptasi yang berbasis ekosistem itu yang digalakkan. Ekosistem harus dijaga dengan pemanfaatan yang tidak sampai melewati daya dukungnya.
"Jadi ada batas-batas yang harus kita perhatikan supaya fungsi ekosistem dalam memberikan layanan jasa lingkungan itu masih bisa berjalan. Termasuk dengan dukungan tata air dan ekologinya," ucap pria berusia 60 tahun ini.
Advertisement
Mandat
Dalam proses penyusunan tata ruang, menurut Rizaldi Boer, terdapat mandat di mana kajian lingkungan hidup strategis mesti didahului. Kajian tersebut mempelajari daya dukung dan daya tampung dari ekosistem yaitu dijadikan pertimbangan mendasar dalam penetapan tata ruangnya.
"Mana wilayah-wilayah yang harus dijadikan zona lindung, mana yang tidak. Yang jadi persoalan, bisa saja pada wilayah-wilayah yang memang sudah harus diarahkan sebagai zona lindung, itu sudah diakupasi oleh masyarakat. Itu kan sulit," kata Rizaldi.
Untuk mengantisipasi wilayah-wilayah yang sudah diakupasi oleh masyarakat, sesungguhnya masih bisa dimanfaatkan. Rizaldi mengungkapkan, pemanfaatannya itu menggunakan prinsip-prinsip konservasi seperti, penggunaan tanaman pertanian di wilayah tersebut.
"Jangan pertanian monokultur atau tanaman semusim. Jadi, bagaimana dikembangkan tanaman yang bisa diintregasikan dengan hutan atau yang dikenal dengan sistem agroforestri. Itu sudah terjadi pada wilayah-wilayah di Bandung dan pengalengan, yang merupakan wilayah tangkapan hujan."
"Petani di sana yang biasanya menanam tanaman kentang, sekarang sudah mau beralih ke tanaman agroforestri, seperti tanaman berbasis kopi yang dilestarikan bersama tanaman hutan. Itu bisa memperbaiki kondisi kerusakan lahan pada wilayah-wilayah tangkapan hujan tersebut," imbuhnya.
Rizaldi menerangkan, upaya penerapan memang harus dilakukan dengan pengelolaan area atau wilayah yang berbasis lanskap serta memperhatikan tata ruang menyeluruh. Saat ini, Indonesia tidak bisa menghindari keterlanjuran lahan yang sudah rusak. "Kita sudah banyak sekali keterlanjuran, sekarang bagaimana keterlanjuran yang sudah ada itu, mungkin enggak kita perbaiki? Kalau sudah tidak mungkin, yang pasti akan ada realokasi. Tapi, jika seandainya bisa dipulihkan lagi, masih bisa dimanfaatkan, tapi ada upaya-upaya pemulihan kondisi yang ada di wilayah tersebut sehingga daya dukungnya menjadi lebih baik."
Indikator Kinerja
Selanjutnya, Rizaldi menyarankan ketika dalam proses alokasi anggaran penyusunan tata ruang, sudah digunakan indikator-indikator kinerja yang berbasis lingkungan. Misalnya, indikator dari kondisi frekuensi terjadinya banjir yang terjadi dalam setahun sebelumnya.
"Banjir kan indikator, kalau dalam setahun bisa turun menjadi sekian, itu dijadikan indikator untuk menentukan sebesar apa kemampuan wilayah itu dalam memperbaiki kondisi lingkungan dan akan mempengaruhi kebijakan pengalokasian anggaran yang diberikan," paparnya. "Jadi, sudah mulai menggunakan indikator kinerja ekosistem atau ekologi, yang dijadikan sebagai dasar dalam penyediaan alokasi anggaran, itu tidak hanya dari sisi ekonominya saja, tapi juga sudah memasukkan indikator lingkungan. Tentu itu juga menggerakkan," tambah Rizaldi.
Program Kampung Iklim yang digerakaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilai salah satu upaya yang bisa sangat berkontribusi dalam perbaikan ekosistem. Bukan hanya terhadap ekonomi masyarakat, tetapi juga memperbaiki kondisi lingkungan, mengatasi persoalan perubahan iklim, baik dari sisi emisi maupun adaptasi.