Sukses

Special Content: Kewenangan Super SWF Indonesia, Butuh Transparansi dan Supervisi Cegah Penyimpangan

Lembaga Pengelola Investasi (LPI) diharapkan menjadi sumber biaya alternatif, untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap dana jangka pendek.

Jakarta - Indonesia mulai awal tahun ini memiliki SWF (Sovereign Wealth Fund) atau pengelolaan investasi dana abadi. Lembaga Pengelola Investasi (LPI) itu diberi nama Indonesia Investment Authority (INA).

Lembaga ini diharapkan menjadi sumber biaya alternatif, untuk mengurangi ketergantungan terhadap dana jangka pendek. LPI bertujuan menghimpun dana abadi, yang berpotensi menjadi alternatif pembiayaan jangka panjang sehingga Indonesia bisa lebih mandiri.

Pembentukan SWF atau LPI ini untuk mengelola dana investasi dari luar maupun dalam negeri. LPI juga menawarkan aneka potensi dalam negeri kepada investor.

Bukan rahasia lagi, selama ini pembiayaan pembangunan Indonesia didominasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta pinjaman bilateral. Keinginan pemerintah dengan hadirnya LPI adalah membuat skema dan pola baru dalam pembiayaan.

Payung hukum utamanya pun sudah ada, yakni Undang-Undang (UU) No 11/ 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Sejumlah beleid turunannya juga sudah dilahirkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 73/2020 Tentang Modal Awal LPI. PP ini mengatur bahwa modal awal LPI ini merupakan salah satu bentuk Kekayaan Negara Yang Dipisahkan.

Untuk tahap awal, pemerintah telah menggelontorkan dana modal sebesar Rp15 triliun yang berasal dari APBN. Targetnya selama 2021, modal pemerintah untuk LPI mencapai Rp75 triliun. Selanjutnya, payung hukum kedua untuk LPI yakni PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang LPI yang mengatur mengenai tata kelola dan operasionalisasi LPI.

Tata kelola dan operasionalisasi LPI ini diadaptasi dari praktik-praktik lembaga sejenis bereputasi terbaik di dunia sehingga mampu mengedepankan prinsip independensi, transparansi, dan akuntabilitas. Payung hukum ketiga adalah Keputusan Presiden Nomor 128/P Tahun 2020 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Dewan Pengawas LPI dari Unsur Profesional.

Anggota DPR Komisi XI, Heri Gunawan, berpendapat, LPI merupakan amanat Undang-Undang. Dia menyebut, selama ini beberapa perusahaan perusahaan Badan Layanan Umum (BLU) yang berada di bawah Kemenkeu tidak berjalan seperti, Pusat Investasi Pemerintah (PIP), sehingga kehadiran LPI diharapkan bisa lebih efektif.

"Intinya, kita enggak punya uang ini. Tapi kan ada beberapa proyek infrastruktur harus jalan. Di satu sisi kita punya kebutuhan terkait masalah penutup untuk APBN dan untuk terkait masalah PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Uang kita enggak ada, kalau pun uang ada dari SBN (Surat Berharga Negara), ini hanya akan bisa untuk menutupi PEN saja kan, untuk APBN," terang Heri Gunawan saat dihubungi Liputan6.com.

"Kalau ditanya prioritas yang mana, ya infrastruktur, kalau tidak bisa dijalankan seperti program pemerintah yang sudah berjalan, kan masih banyak nih yang belum selesai, itu harus diselesaikan. Kalau enggak nanti nganggur," tambahnya.

 

SWF sesungguhnya bukan barang baru di dunia. Ide awal SWF sendiri berfokus pada pengelolaan surplus neraca berjalan yang dipisahkan dari neraca pemerintah, untuk kemudian dikelola sebagai dana investasi. Beberapa negara di dunia malah sudah lebih dulu membentuk SWF seperti, Kuwait, Uni Emirat Arab, Norwegia, Tiongkok, Singapura, dan Hong Kong.

Indonesia sendiri telah menggunakan pendekatan SWF dalam pengelolaan aset negara lewat Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Bedanya, LPI yang baru dibentuk ini bertanggung jawab langsung terhadap presiden.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan urgensi di balik pendirian Lembaga Pengelola Investasi. Sri Mulyani mengungkapkan, LPI dibutuhkan demi menciptakan berbagai instrumen inovatif dan institusi yang dapat meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan.

Menurut wanita berusia 58 tahun ini, Indonesia memerlukan dana dalam upaya meningkatkan kemampuan menyejahterakan masyarakatnya. Sri Mulyani menyebut Indonesia tidak bisa hanya bersandar kepada instrumen utang untuk pembiayaan pembangunan.

"Kalau dikaitkan dengan visi Indonesia menjadi kekuatan dunia nomor lima, maka total investasi untuk infrastruktur berdasarkan estimasi RPJMN bisa mencapai Rp 6.445 triliun, itu dibutuhkan melalui APBN, BUMN, maupun berbagai instrumen kerja sama lain," beber Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi Keuangan DPR, Senin (25/1/2021).

"Kalau ingin terus meningkatkan dengan hanya bersandar kepada instrumen utang, kita akan mengalami kondisi leverage yang semakin tinggi. Kapasitas pembiayaan APBN maupun BUMN saat ini terlihat dalam neraca, terutama BUMN, adalah sudah cukup tinggi exposure dari leveragenya."

Mitra Strategis

Sri Mulyani menerangkan, upaya meningkatkan pendanaan domestik dalam rangka melanjutkan pembangunan begitu diperlukan. Selain itu, wanita kelahiran Bandar Lampung ini mengungkapkan adanya ketertarikan beberapa investor asing menanamkan modal di Indonesia, tapi memerlukan mitra strategis yang kuat dan terpercaya secara hukum serta kelembagaan.

Sovereign Wealth Fund dapat memberikan laba kepada pemerintah dalam bentuk dividen. Adapun maksimal dividen yang diberikan ke pemerintah adalah 30 persen dari laba. Tapi, LPI harus menyisihkan 10 persen dari laba sebagai cadangan wajib. Menurut Sri Mulyani, dividen kepada pemerintah bisa diberikan apabila ada kelebihan dari akumulasi laba ditahan mencapai 50 persen dari modal awal LPI.

Mengapa Indonesia bersikeras soal SWF? Presiden Joko Widodo menyebut, pembentukan lembaga ini sangat diperlukan untuk memenuhi pembiayaan yang semakin besar di masa depan. Selain itu, langkah ini juga agar tingkat FDI (Foreign Direct Investment) Indonesia menanjak serta menurunkan rasio utang terhadap PDB Indonesia.

Jokowi berharap Indonesia Investment Authority (INA) akan menjadi mitra strategis investasi yang kuat secara hukum maupun kelembagaan. INA akan memperoleh Rp75 triliun dengan rincian yang terdiri dari Rp15 triliun dari APBN dan sisanya akan disuntik bertahap bisa dalam bentuk dana tunai, barang milik negara, piutang negara dan/atau saham negara di BUMN atau perseroan terbatas, dan sumber lainnya.

"Saya tadi bisik-bisik ke Bu Menkeu, awal-awal ini mungkin satu sampai dua bulan ini target yang masuk ke SWF kita berapa? Dijawab Bu Menkeu ya kira-kira USD 20 miliar. Duit yang gede banget," ungkap Jokowi dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK) 2021 di Jakarta yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jumat (15/1/2021).

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 5 halaman

Kewenangan Super LPI

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), SWF merupakan dana investasi spesial dibuat atau dimiliki pemerintah demi menguasai aset-aset asing untuk tujuan jangka panjang. Tujuan tersebut antara lain terkait kepentingan: (1) stabilisasi keuangan; (2) menabung untuk generasi masa depan; (3) cadangan investasi korporasi; (4) dana pengembangan; dan (5) pengelolaan dana cadangan pensiun.

LPI dibentuk oleh undang-undang dan peraturan khusus. Itu artinya lembaga Sovereign Wealth Fund ini memiliki fleksibilitas dan diskresi yang lebih luas dalam menjalankan skema investasi komersial.

Pemerintah juga memiliki fleksibilitas lebih besar dalam mengelola aset-aset BUMN melalui LPI. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola aset negara yang dipisahkan, LPI memiliki enam kewenangan utama, yaitu: (1) penempatan dana dalam instrumen keuangan; (2) pengelolaan aset; (3) bekerja sama dengan pihak lain, termasuk entitas dana perwalian (trust fund); (4) menentukan calon mitra investasi; (5) memberikan dan menerima pinjaman; dan (6) menatausahakan aset.

LPI punya kewenangan sangat besar, yang idealnya menjadikan SWF Indonesia ini penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah. LPI pun bisa memakai dana yang dihimpunnya untuk diinvestasikan di badan hukum asing atau di proyek negara lain.

Secara badan hukum, LPI merupakan lembaga khusus di luar pemerintah (sui generis) yang punya struktur mirip dengan perseroan terbatas. Dengan kewenangan khusus untuk mengatur aset dan kerja sama sendiri, LPI memiliki keleluasaan mengelola investasi tanpa harus terhambat birokrasi dan regulasi.

Badan Hukum Privat

Selain itu, walaupun sepenuhnya dimiliki pemerintah, tapi LPI adalah badan hukum privat yang tanggung jawab dan kepemilikan asetnya dipisahkan. Dengan demikian, apabila terjadi sengketa hukum baik di tingkat domestik atau internasional, LPI bisa disejajarkan dengan korporasi atau badan hukum privat yang lain. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara sebagai pemilik modal LPI hanya terbatas kepemilikan modal.

LPI diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan akuisisi, pengelolaan aset, restrukturisasi perusahaan, hingga divestasi. LPI juga dapat menunjuk mitra investasi yang memenuhi kriteria tertentu. LPI juga dapat mengalihkan aset yang dimilikinya untuk dapat dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan. Artinya, aset negara atau BUMN yang dialihkan ke LPI dapat dialihkan kembali sebagai setoran modal LPI ke perusahaan patungan.

LPI tidak hanya bisa mencari pinjaman, tetapi juga bisa memberikan pinjaman, yang tentu saja harus disertai dengan penjaminan dan analisis risiko yang layak. Dalam hal kerja sama dengan skema trust fund, LPI dapat memberikan atau menerima kuasa kepada entitas dana perwalian.

Struktur manajemen LPI bersifat dua tingkat (two-tier), terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Dewan Pengawas LPI diisi menteri keuangan, menteri BUMN, dan tiga orang dari unsur profesional. Mereka memberikan laporan pertanggungjawaban kepada presiden.

Pada Rabu (27/1/2021), Presiden Joko Widodo resmi melantik tiga dewan pengawas SWF Indonesia dari unsur profesional di Istana Negara. Ketiga nama dewan pengawas itu antara lain Haryanto Sahari (Komisaris Independen Bank Permata), Darwin Cyril Noerhadi (pendiri firma finansial Creador Indonesia), dan Yozua Makes (pendiri firma hukum Makes & Partners).

Sementara untuk Dewan Direksi LPI, mencakup lima orang dari unsur profesional, yang wajib menyampaikan laporan tahunan dan pertanggungjawaban kepada Dewan Pengawas. Proses seleksi calon Dewan Pengawas LPI dari unsur profesional sudah dimulai, demikian pula dengan seleksi Dewan Direksi. Pada April 2021, diharapkan Dewan Direksi dan Dewan Pengawas sudah terisi lengkap sehingga bisa beroperasi dan melakukan tugas-tugasnya.

Berbagai nama muncul sebagai kandidat CEO LPI, tapi yang diisukan calon terkuat tidak lain adalah keponakan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Pandu Patria Sjahrir. Pandu merupakan pengusaha tambang batu bara serta Komisaris di Bursa Efek Indonesia.

Luhut sendiri sudah menyebut bahwa CEO LPI akan diisi anak muda yang usianya sekitar 40 tahunan. Pandu sendiri lahir pada 1979, sehingga saat ini dia berarti berumur 41 tahun. Selain Pandu, mantan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Arief Budiman dan Presiden Direktur PT Credit Sekuritas Indonesia Rizal Gozali juga santer disebut sebagai kandidat.

Terobosan Baik

Dalam menyikapi kehadiran LPI, DPR khususnya Komisi XI sendiri menganggap SWF Indonesia ini pada prinsipnya adalah terobosan yang baik. Tapi, anggota DPR Komisi XI dari Partai Gerindra, Heri Gunawan, mempertanyakan kepemilikan Kantor Akuntan Publik (KAP) oleh Dewan Direksi LPI.

"Ini kan tidak lazim. Karena yang diaudit kan hasil kerja mereka, lazimnya kalau korporasi, penunjukan KAP itu oleh dewan komisaris, sementara kalau LPI harus pakai dewan pengawas. Ini yang menjadi salah satu catatan DPR," ujar Heri Gunawan ketika dihubungi Liputan6.com.

Heri juga berharap ada kejelasan tentang aturan main LPI ketika dibentuk. Politikus asal Sukabumi, Jawa Barat ini menilai perlunya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan aset yang dijadikan underline oleh LPI untuk mengetahui nilai sesungguhnya.

"Jangan sampai nanti yang dijadikan underline asetnya itu aset BUMN, malah nanti terjual, malah babak belur semua. Ini yang harus dicek dulu sama BPK. Pemeriksaan pendahuluan ini, bukan pemeriksaan setelahnya. Kan (pemeriksaan) setelahnya oleh KAP. Tapi start awal untuk pemeriksaan asetnya yang akan dijadikan underline ini oleh BPK," papar Heri.

"Saran kami (DPR) seperti itu. Untuk pemeriksaan pendahuluan atas aset ini yang akan dijadikan jaminan lah ceritanya. Jadi, skema SWF ini pada dasarnya sama dengan bekerjasama untuk menggadaikan aset, begitu lho. Dikerjasamakan untuk pihak ketiga. Aset negara dialihkan ke lembaga pengelola investasi itu bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga untuk meningkatkan nilai aset. Setelah menjadi aset di LPI, aset itu bisa dijadikan jaminan untuk penarikan pinjaman," kata pria berusia 51 tahun ini.

3 dari 5 halaman

Potensi Masalah

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai ada potensi masalah dari SWF di Indonesia.

"Pertama, masalah muncul ketika fungsi SWF di Indonesia relatif berbeda dengan SWF negara lain. Kalau di negara lain SWF untuk mengelola kelebihan surplus karena sumber daya alam, seperti negara-negara di Timur Tengah, mereka punya kelebihan ekspor minyak. Atau surplus dari mata uang asing seperti di Tiongkok dan Singapura. SWF-nya mengelola dana surplus itu," kata Bhima kepada Liputan6.com.

"Indonesia ini dalam posisi sebenarnya tidak mengalami surplus, baik dari sisi sumber daya alam yang diekspor atau surplus dari mata uang asing juga tidak. Ini yang mengakibatkan fungsi SWF di Indonesia sama sekali berbeda dengan negara lain. Jadi, tujuannya SWF di Indonesia menarik banyak investasi untuk membiayai proyek pemerintah, bukan mengelola dana surplus."

Kedua, Bhima juga mengingatkan masalah tata kelola. Ia berkaca pada SWF milik Malaysia yakni 1MDB, yang tersandung kasus korupsi internasional, dan melibatkan Mantan Perdana Menteri Najib Razak.

"Faktor tata kelola jadi hal yang penting. Bagaimana tata kelola ini benar-benar bisa transparansi, pengawasannya juga harusnya langsung dari BPK yang melakukan audit, bukan diserahkan kepada lembaga akuntan publik. Pemilihan Dewan Direksi juga tidak boleh terafiliasi dengan partai politik apapun, karena ini dana publik yang jumlahnya cukup besar."

Yang terakhir, kata Bhima, apakah benar dengan adanya SWF ini bisa menarik investasi dan jangan sampai proyek yang ditarik investasinya, justru proyek yang sama dengan proyek BUMN lainnya.

"Misalkan SWF menawarkan proyek jalan tol, ternyata itu juga ditawarkan ke BUMN, dan SWF menawarkan ini ke investor asing. Maka yang terjadi justru perebutan dana atau crowding out effect. Jadi, dana yang harusnya masuk ke swasta, malah tersedot ke lembaga pemerintah. Itu salah satu risiko yang harus diantisipasi," ucap Bhima.

Pria lulusan Universitas Bradford itu menjelaskan, pola penarikan investasi dari SWF di Indonesia juga lebih bersifat ke penerbitan utang, daripada penyertaan langsung.

"Jadi, bisa dibilang, SWF hanya akan menambah penerbitan hutang baru, atau sebagai kendaraan untuk menerbitkan hutang baru dengan jaminan yang lebih besar. Hutang yang tadinya lari pemerintah, sekarang kepada lembaga SWF, jadi sama saja, masih dalam konteks menambah tingkat hutang," ujarnya.

 

4 dari 5 halaman

Transparansi Untuk Cegah Penyimpangan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah sejak awal berusaha mencegah terjadinya penyimpangan dan mengantisipasi kerugian setelah Lembaga Pengelola Investasi (LPI) tersebut beroperasi dan menjalankan tugas-tugasnya.

Sri Mulyani menyadari tidak sedikit masyarakat yang khawatir LPI bisa bernasib seperti dana investasi di negara tetangga Malaysia, 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Alih-alih diawasi lembaga khusus, 1MDB justru hanya dipantau sendiri oleh Perdana Menteri Malaysia kala itu, Najib Razak, lalu terjadilah skandal korupsi 1MDB.

Perempuan beranak tiga ini menekankan bahwa perekrutan tiga nama calon Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi sudah (LPI) dilakukan secara matang. Ketiganya bahkan diminta oleh pemerintah untuk mewaspadai kasus skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB)

"1MDB disebutkan sebagai contoh yang harus diwaspadai, kami juga menyadari mengenai hal ini dan dalam proses rekrutmen kami untuk dewan pengawas kami secara spesifik menanyakan supaya set up LPI ini dan peran dewan pengawas untuk bisa mencegah tejadinya kasus 1MDB," kata dia dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (25/1/2021).

Wanita yang akrab disapa Ibu Ani ini memastikan LPI dijalankan secara profesional dan bebas dari aksi suap maupun korupsi. Untuk mencegah terjadinya skandal korupsi seperti di 1MDB, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mendesain Lembaga Pengelola Investasi secara kredibel dan transparan. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meminta masyarakat ikut memberi masukan dan melakukan pengawasan terhadap LPI. "Berapa injeksi modal yang dikasih pemerintah, bagaimana kerja sama fund ini kalau ada fund dari luar, apakah equity financing, atau project based, itu yang kita lakukan. Seberapa besar itu kita lakukan, treatment pajak seperti apa, kapan dividen dibagikan," ucap Sri Mulyani dalam kuliah umum FEB UI secara virtual, Rabu (18/11/2020).

Dia menekankan, ketiga nama yang direkomendasikan kepada Presiden Joko Widodo sudah melalui panitia seleksi, dan kemudian presiden memilih mereka yang tahu betul praktik tata kelola yang harus dihindari. Hal itu penting agar kasus seperti 1MDB tidak terjadi di Tanah Air.

"Karena itu pondasi transparansi akuntabilitas perlu dibangun. Terutama nanti di dalam keputusan awal dewas yang merupakan peraturan awal yang menjadi pondasi dewan direktur melaksanakan tugas," jelas Sri Mulyani.

Transparansi juga jelas akan menjadi perhatian investor. Pengelolaan LPI yang transparan juga perlu ditopang dengan peraturan teknis dan supervisi agar tidak rentan terabaikan. Janji profesional dan pakta integritas saja tidak cukup bagi LPI.

Sebab, potensi untuk terjadinya tindak pidana korupsi terbuka lebar, mengingat dana kelolaan LPI yang begitu besar. Pada kenyataannya, tidak ada yang menjamin perusahaan-perusahaan pelat merah terbebas dari gratifikasi dan korupsi.

Selain itu, LPI juga mesti terbebas dari intervensi politik dan kepentingan pihak-pihak tertentu yang sering kali justru menjerumuskan. Ini mengapa publik wajib mengawasi transparansi LPI, mulai dan penyusunan regulasi, seleksi direksi dan komisaris, hingga tahapan tender dan pelaksanaan investasi (pengelolaan aset negara).

LPI juga dikhawatirkan menjadi lembaga super tanpa pengawasan yang memadai dari DPR. Sebab, LPI tidak tunduk pada UU tentang BUMN dan UU tentang keuangan negara, tetapi mengikuti UU Cipta Kerja Pasal 164 ayat 2 yang berbunyi: "Sepanjang diatur dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga."

Untuk keperluan (perubahan) penyertaan modal, LPI tidak perlu sepengetahuan dan persetujuan DPR, karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, menurut UU BUMN, setiap keperluan penyertaan modal BUMN mesti lebih dulu ditetapkan dalam APBN, yang berarti lewat pengawasan dan persetujuan DPR.

Rencana Matang

Anggota DPR Komisi XI, Heri Gunawan, meminta LPI dibuat dengan rencana yang matang. Hal itu demi memastikan keberhasilan skema dana aset yang dibangun agar tidak terjadi kerugian.

"Kalau rencananya enggak matang. Ini kan berbahaya. Kita support, tapi ada beberapa catatan. yang harus jadi perhatian dari pemerintah. Misalnya, bagaimana bila LPI ini mengalami kerugian. Yang namanya investasi kan tidak bisa lepas dari yang namanya kerugian. Contoh; Jiwasraya, Asabri, BPJS ketenagakerjaan misalnya. Kan akhirnya nanti ujung-ujungnya bisa pemerintah yang menutup kerugiannya melalui BMN lagi," jelas Heri.

Heri juga mempertanyakan, setelah pemerintah menaruh modal Rp15 triliun di LPI, dari rencana total 75 triliun selama 2021, aset negara mana yang akan dipakai menutupi sisa Rp60 triliun. Dia ingin ada transparansi mengenai dasar-dasar pembentukan LPI.

"Dari yang 60 T ini akan ditutupi oleh apa? Kalau misalnya ditutupi oleh barang milik negara (BMN), barang berupa apa? Saham pada BUMN, BUMN yang mana? Kan BMN pada 2019 setelah dilakukan revaluasi itu lebih kurang ada Rp10 ribu triliun. Nah, ini juga harus ada prolog pemeriksaan pendahuluan oleh BPK. Itu saran dari DPR kepada Kementerian Keuangan," tuturnya.

"Kenapa seperti itu? Supaya kita mengerti. Ini barang awalnya berapa sih yang dijadikan baseline-nya. Nanti ini kan asetnya ini akan relative price to ratio di bursa efek itu, kan normalnya 3-4 kali dari market value-nya. Dengan kata lain, valuasi untuk SWF ini bisa mencapai kurang lebih Rp7000 triliun, kalau dollar senilai 14 ribuan rupiah."

5 dari 5 halaman

INFOGRAFIS