Sukses

6 Hal Terkait Merosotnya Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020

Sebelumnya pada 2019, posisi Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) berada di peringkat 85 dengan rata-rata skor adalah 43.

Liputan6.com, Jakarta - Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia pada 2020.

Hasilnya, pada skala 0-100, Indonesia mengantongi IPK 37. Angka itu turun tiga peringkat dari tahun lalu, yaitu 40.

"CPI Indonesia tahun 2020 ini kita berada pada skor 37 dengan ranking 102 dari 108 negara dan skor ini turun tiga poin dari tahun 2019 lalu," ujar Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko dalam konpers daring soal indeks persepsi korupsi Indonesia, Kamis, 28 Januari 2021.

Padahal, sebelumnya pada 2019, posisi Indonesia berada di peringkat 85 dengan rata-rata skor adalah 43.

Artinya, peringkat Indonesia anjlok hingga 17 poin dan berbagi posisi 102 bersama Gambia di Afrika Barat.

Turunnya peringkat Indonesia ini pun mendapat perhatian. Misalnya saja Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

KPK menilai, angka 37 atau berkurang tiga poin dari tahun sebelumnya menjadi cambuk bagi penegak hukum untuk terus bertanggung jawab memberantas korupsi tidak hanya dibebankan kepada institusinya.

"Korupsi itu bukan hanya beban KPK, bukan hanya beban penegak hukum lainnya, tetapi sesungguhnya beban bangsa kita semua," ujar Wakil KPK Nurul Ghufron.

Berikut deretan hal terkait peringkat Indonesia Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) 2020 dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 8 halaman

Merosotnya Peringkat Indonesia hingga Setara Gambia

Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia pada 2020.

Hasilnya, pada skala 0-100, Indonesia mengantongi IPK 37. Turun tiga peringkat dari tahun lalu, yaitu 40.

"CPI Indonesia tahun 2020 ini kita berada pada skor 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun tiga poin dari tahun 2019 lalu," kata Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko dalam konpers daring soal indeks persepsi korupsi Indonesia, Kamis, 28 Januari 2021.

Posisi Indonesia juga disebut ikut melorot menjadi peringkat 102 dari 108 negara. Atau kini berada pada ranking yang sama dengan negara Gambia.

"Tahun 2019, kita berada pada skor 40 dan ranking 85. Pada 2020 kita berada di skor 37 dan ranking 102. Negara yang mempunyai skor dan ranking sama dengan Indonesia adalah Gambia," jelas Wawan.

 

3 dari 8 halaman

5 Sumber Data

Wawan juga menyebut, apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di peringkat kelima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), bahkan di bawah Timor Leste (40).

Selain itu, lanjut Wawan, terdapat lima sumber data di mana Indonesia skornya turun dibandingkan tahun lalu.

Sumber data yang skornya turun adalah PRS International County Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Varieties of Democracy Project.

"Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha," kata Sekjen TII Danang Widoyoko.

 

4 dari 8 halaman

Kata ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti anjloknya indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia yang pada 2020 menjadi 37 poin pada skala 0-100 atau turun 3 peringkat dari tahun 2019.

Penurunan itu dinilai akibat politik hukum pemerintah yang semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan padahal dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir Indonesia selalu mengalami peningkatan terkait persepsi pemberantasan korupsi setiap tahun. Hanya paa 2013 dan 2017 yang stagnan di skor 32 dan 37, sedangkan sisanya selalu mengalami kenaikan.

"Untuk itu, merosotnya skor CPI 2020 Indonesia semestinya menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi Pemerintah yang selama ini diambil justru memperlemah agenda pemberantasan korupsi. Skor IPK 2020 juga dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata Kurnia dalam keteranganya yang dikutip Jumat (29/1/2021).

Menurutnya, pangkal persoalan utama pemberantasan korupsi di Indonesia yang terjadi belakangan, ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebijakan pemerintah sepanjang 2019 lalu. Ketika pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK).

Padahal sedari awal, kata Kurnia, masyarakat sudah mengingatkan bahwa kebijakan tersebut keliru dan berpotensi besar melemahkan agenda pemberantasan korupsi.

"Bahkan tak hanya itu, organisasi internasional seperti Koalisi United Nation Convention Against Corruption turut mengkritik langkah pemerintah. Namun, seruan penolakan itu diabaikan begitu saja," ucap dia.

Karena itu, lanjut Kurnia, walau hasil survei Transparency International Indonesia (TII) telah menjelaskan adanya penurunan kepercayaan publik pada agenda pemberantasan korupsi.

Namun hasil itu tidak dijadikan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan oleh pemerintah, sampai pada respons negatif dari masyarakat international atas keputusan-keputusan buruk pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di periode 2 tahun terakhir.

"Sebagaimana diketahui, terlepas dari perubahan regulasi kelembagaan KPK, sepanjang tahun 2020, pemerintah dan DPR juga mengundangkan beberapa aturan yang mementingkan kelompok oligarki dan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi," papar dia.

"Sebut saja misalnya Omnibus Law UU Cipta Kerja, tak bisa dipungkiri, pemerintah maupun DPR hanya mengakomodir kepentingan elite dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik," sambung Kurnia.

Padahal pada saat yang sama, Kurnia menilai legislasi yang dapat menjadi suplemen bagi penguatan pemberantasan korupsi, mulai dari revisi UU Tindak Pidana Korupsi, Rancangan UU Perampasan Aset, dan Rancangan UU Pembatasan Transaksi Tunai dapat dijadikan prioritas agenda. Namun, berbagai regulasi penting itu justru menggantung tanpa pembahasan.

Kedua, menurut Kurnia, kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi. Kesimpulan tersebut bukan tanpa dasar, merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis di sepanjang tahun 2020 lalu.

"Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan. Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul," sebut dia.

Ketiga, sambung Kurnia, menurunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi. Sejak Komisioner baru dilantik, praktis lembaga anti rasuah itu banyak melahirkan kontroversi ketimbang memperlihatkan prestasi.

"Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik Pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini. Padahal KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting pemberantasan korupsi yang menunjang kenaikan skor CPI Indonesia," jelas Kurnia.

 

5 dari 8 halaman

Penjelasan KPK

Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2020, ditanggapi serius oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron.

Menurutnya, angka 37 atau berkurang tiga poin dari tahun sebelumnya menjadi cambuk bagi penegak hukum untuk terus bertanggung jawab memberantas korupsi tidak hanya dibebankan kepada institusinya.

"Korupsi itu bukan hanya beban KPK, bukan hanya beban penegak hukum lainnya, tetapi sesungguhnya beban bangsa kita semua," kata Ghufron dalam peluncuran CPI Indonesia 2020 yang digelar Transperancy International Indonesia (TII) secara daring.

Ghufron melanjutkan, CPI 2020 menggunakan sembilan sumber data, lima di antaranya menjadi sumber kemerosotan paling besar.

Pertama PRS International Country Risk Guide, kedua IMD World Competitiveness Yearbook, ketiga Global Insight Country Risk Ratings, keempat PERC Asia Risk Guide, dan kelima Varieties of Democracy Project.

Selain itu, Ghufron menambahkan, tiga sumber data lainnya juga mengalami stagnan, pertama World Economic Forum Eos, kedua Bertelsmann Foundation Transformation Index, dan ketiga Economist Intelligence Unit Country Ratings.

"Tapi ada satu sumber yang meningkat, yakni World Justice Project-Rule of Law Index," ucap dia.

Melalui paparan data di atas, Ghufron menegaskan, pemberantasan korupsi tidak melulu soal mengenai penegakan hukum, tetapi juga mengenai kepastian dan kemudahan berusaha dan proses politik serta demokrasi yang bersih dari rasuah.

"KPK berharap, ini adalah momen kepada KPK untuk mengajak semuanya bahwa korupsi itu bukan hanya sektor penegakan hukum tapi ternyata korupsi masuk di semua sektor," Ghufron menandasi.

 

6 dari 8 halaman

Menko Polhukam Bicara

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md angkat bicara mengenai hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang turun tiga poin, dari 40 menjadi 37 pada 2020.

Mahfud menilai penurunan Indeks Persepsi Korupsi tersebut menjadi yang terparah usai reformasi.

"Tahun 1999, 1998, 1997 kita mulai dari angka 20. Lalu tiap tahun naik terus sampai akhirnya di 2019 kita mencapai 40 meskipun, pernah punya ambisi di 2019 kita bisa mencapai 50. Tapi sampai 40 kita sudah gembira, rata-rata baik terus tiap tahun. Pernah turun, atau pernah stagnan, tetapi kejatuhan terparah sekarang," kata Mahfud dalam konpers Transparency International Indonesia (TII).

Mahfud menyebut hasil tersebut akan menjadi perhatiannya. Sebab, Presiden Jokowi telah memberinya tugas terkait pemberantasan korupsi, saat menunjuk sebagai Menko Polhukam.

"Ini penting bagi saya di Kemenko karena dulu saya ditugasi presiden mencakup empat hal di samping politik hukum dan keamanan yang bicara soal demokrasi, tetapi korupsi mendapat tekanan juga presiden. Pertama, perlindungan HAM, pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, dan penyelesaian atau netralisasi radikalisme," tutur Mahfud.

Namun, Mahfud merasa masih sedikit senang dengan hasil tersebut. Sebab, data TII baru sampai Oktober 2020. Sementara pada Desember 2020, KPK berhasil menangkap dua menteri koruptor.

"Saya agak gembira sedikit, data ini adalah data sampai Oktober 2020. Saya tidak tahu apakah penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi akan naik indeks persepsinya jika dicakupkan sampai Desember. Karena pada waktu itu kita menangkap dua orang, Menteri Kelautan dan Menteri Sosial yang dinyatakan terlibat korupsi gila-gilaan," ucap Mahfud.

Selain itu, dia memastikan pemerintah akan menjalankan rekomendasi TII terkait pemperantasan korupsi.

"Nah, rekomendasi-rekomendasi ini tentu saya bawa karena ini memperkuat, sebenarnya apa yang yang sudah kami rancang semua, tetapi memang pada tingkat implementasi sulit menghindari kebocoran-kebocoran, karena kadang kala koruptor itu ada di mana-mana," tandas Mahfud.

 

7 dari 8 halaman

Istana Buka Suara

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman merespons Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang turun ke angka 37.

Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tetap berkomitmen membentuk pemerintahan yang bersih tanpa korupsi.

"Pada intinya, Presiden Jokowi tegas untuk menciptakan pemerintahan antikorupsi," ucap Fadjroel kepada wartawan.

Menurutnya, Jokowi selaku menekankan kementerian/lembaga dan seluruh pelaksana kebijakan dan program pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi. Selain itu, Fadjroel menyebut Jokowi meminta jajarannya mendukung penegakan hukum.

"Mendukung lembaga penegakan hukum untuk menindak para pelaku korupsi sesuai regulasi, tanpa pandang bulu," tegas Fadjroel.

8 dari 8 halaman

Deret Panjang Anggota DPR & DPRD Terjerat Korupsi