Liputan6.com, Jakarta - Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi mendadak diminta menghadap Presiden Jokowi di Istana, Selasa sore, 26 Januari 2021 lalu. Dalam pertemuan itu, Muhadjir mengungkapkan, Presiden Jokowi meminta para menteri terkait agar mengubah strategi melawan pandemi covid-19 yang semakin mengamuk.
Virus covid-19 yang terdeteksi sejak Maret 2020 itu memang tanpa ampun terus menyerang banyak korban. Bahkan kasus positifnya telah menembus angka psikologis, 1.012.350 orang per 26 Januari 2021. Jumlah itu setelah ditambah kasus baru sebanyak 13.094 orang.
Menanggapi tren kasus yang kian naik, Presiden Jokowi, kata Muhadjir, berulang kali menekankan agar diterapkan karantina wilayah terbatas sampai tingkat mikro di lingkup RT dan RW. Itu dilakukan untuk mendalami kasus yang ada di suatu wilayah dan memisahkan masyarakat yang positif Covid-19 dengan melakukan isolasi mandiri atau isolasi kolektif.
Advertisement
Rencana penerapan karantina terbatas di tingkat RT-RW tersebut, menurut Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani, bukan sebagai usaha yang terlambat. Semua upaya intervensi dalam menekan laju keganasan virus covid-19 harus tetap dilakukan secara maksimal.
"Tidak ada kata terlambat," tegas Laura saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (29/1/2021).
Dia menilai penerapan karantina mikro didasari data banyaknya orang yang tidak mau melakukan isolasi mandiri. Dengan adanya karantina wilayah, dianggap dapat menjadi sarana pengawasan tingkat lokal.
"Karena sudah gagal melakukan isolasi mandiri, karena apa? Karena fasilitas isolasi mandiri bisa dikatakan kurang, akhirnya mau enggak mau isolasi di rumah. Isolasi di rumah kendalanya juga banyak, kadang orang menyepelekan jadi mengabaikan pentingnya isolasi mandiri. Tapi kalau dilakukan pengawasan adanya karantina wilayah, dan harus ada konsekuensi yang kemudian dilakukan misalkan memberikan logistik. Karena orang isolasi kemudian enggak ditengok akan menimbulkan keinginan untuk beraktivitas di luar," jelas Laura.
Dia menilai, penerapan karantina terbatas ini sebenarnya sudah diwacanakan sebelumnya namun belum dilaksanakan. Sehingga baru saat ini, wacana tersebut kembali didengungkan.
"Kalau karantina ini hampir mirip dengan yang namanya kampung tangguh, karena melakukan lockdown pada area kecil tingkat RT-RW. Tapi lagi-lagi kebijakan itu kurang maksimal dalam implementasinya," ujar Laura.
Untuk itu, Ia berharap wacana penerapan karantina terbatas ini harus dibarengi dengan aturan penjelasan secara detail. Sehingga tidak membingungkan masyarakat pada tingkat bawah.
"Kita berharap kebijakan yang dikeluarkan diberikan teknis secara detail, jadi definisi orang boleh melakukan karantina itu seperti apa. Definisi operasional. Jadi jangan membuat bingung. Karena kita enggak tau mana area yang harus melakukan karantina wilayah mana yang tidak. Apakah cukup dengan satu kasus akan melakukan karantina wilayah atau harus ada cluster dulu," jelas Laura.
"Definisi suatu daerah diperbolehkan melakukan karantina wilayah ini kan juga yang masih belum jelas," imbuh dia.
Efektif
Laura mengungkapkan, karantina terbatas tingkat RT-RW akan lebih efektik diterapkan bila sudah terlihat adanya kluster penyebaran virus di suatu wilayah. Kemudian kondisi itu dikuatkan dengan data valid sehingga memudahkan untuk diidentifikasi. Namun saat ini Ia menilai sulit dilakukan lantaran klasternya sulit untuk diidentifikasi karena kasusnya sudah tinggi.
"Kalau dulu misalnya ada klaster pondok pesantren, perkantoran, pasar, nah kalau sekarang mungkin membentuk klaster rumah tangga. Jadi salah satunya itu. Jadi kalau banyak keluarga yang terdampak, terpapar covid mungkin lebih baik melakukan karantina wilayah di daerah RT-RW itu," ujar dia.
Selain itu, lanjut Laura, yang terpenting pemerintah juga harus memperhatikan kebutuhan warga yang terkena karantina wilayah.
"Tahunya dari mana? Dari informasi yang diberikan pemerintah dari level RT-RW. Misalnya di suatu daerah, ada positif lima orang atau lebih, berapa keluarga, boleh karantina wilayah, lebih jelas. Artinya harus tahu dulu indikator wilayah yang akan melakukan lockdown atau karantina wilayah seperti apa, susunan orang-orang yang bertugas sebagai pengawas juga harus jelas, dan yang pasti adalah anggaran," terang Laura.
Kalau itu betul-betul dijalankan, lanjutnya, kebijakan tersebut akan efektif menekan angka kasus covid-19. Karena dengan diberlakukannya karantina wilayah, akan mengurangi mobilitas masyarakat.
"Intinya pemerintah level bawah harus tahu kondisi warganya seperti apa. Mengindetifikasi siapa yang kena. Karena data yang masuk ke Kemenkes agregat, jadi enggak tahu wilayah mana yang paling terdampak, mungkin wilayah besar tahu tapi kan wilayah besar enggak tahu," ucap dia.
Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah menyadari pentingnya pemantauan penanganan pandemi covid-19 ini yang menyentuh sampai dengan menyentuh tingkatan mikro yaitu RT/RW. Untuk itu, pemerintah akan kembali mengaktifkan posko covid-19 agar penanganannya bisa efektif dan menyentuh tingkat komunitas dan individu.
“(Pemerintah) menyadari potensi yang dimiliki oleh masyarakat dan bermodalkan gotong-royong. Maka pos komando (posko) yang terdiri dari berbagai unsur seperti BPBD, Satpol PP, TNI/Polri maupun masyarakat akan menjadi perpanjangan tangan Satgas di daerah yang sebelumnya sudah terbentuk,” katanya yang dikutip dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (29/1/2021).
Pengerahan aparat, jelas dia, akan membuat pengawasan protokol kesehatan di lingkungan RT-RW menjadi maksimal. Sebab penularan covid-19 masih terjadi hingga membentuk kluster-kluster keluarga yang baru.
Dengan karantina wilayah tingkat RT-RW ini, kata dia, pemerintah berharap dapat membuat masyarakat sadar akan pentingnya penerapan protokol kesehatan. Selain itu juga dapat membuat masyarakat terlibat dalam penanganan pandemi covid-19.
"Pada prinsipnya kita adalah bangsa yang unggul, yang mampu memanfaatkan dengan baik aset bangsa, yaitu masyarakat dengan nilai-nilai kegotongroyongannya," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Ada Dasar Hukum
Sementara itu, Epidemiolog UI Pandu Riono menilai istilah karantina wilayah terbatas hingga lingkup RT-RW tidak termuat dalam Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena itu, Ia menekankan agar pemerintah tidak menggunakan istilah yang tidak memiliki dasar hukumnya.
"Di dalam undang-undang kita ada karantina kan cuma ada karantina wilayah dan PSBB. Saya kan sudah bilang, jangan gunakan istilah baru yang tidak ada dasar hukumnya. Sekarang mau diketatkan lebih keras dasar hukumnya apa?" kata Pandu saat dihubungi Jumat, (29/1/2021).
Pandu menerangkan bahwa PSBB dan karantina wilayah memiliki konsekuensi yang berbeda. Pada karantina wilayah itu membawa konsekuensi pemerintah memberikan makan pada semua wilayah yang tinggal di wilayah tersebut. Hal ini sebagai intervensi sebagaimana yang dilakukan di Wuhan, China, tempat asal kasus COVID-19 bermula.
Terkait karantina terbatas yang dimaksud Jokowi, Pandu mengaku belum mengetahui mekanismenya. Karena itu, ia akan menunggunya setelah kebijakan itu diterapkan.
"Mungkin ingin diketatkan lagi. Ada pembatasan supaya mengurangi interaksi sosial. Kita nunggu operasionalnya saja seperti apa," kata Pandu.
Untuk menekan kasus COVID-19 saat ini, Pandu menilai lebih tepat dengan menerapkan PSBB. Meski momen terbaik sebaiknya dilakukan pada Maret 2020 lalu.
"Tapi itu bisa kita lakukan karena kehilangan momen jadi harus ditambah dengan tes, lacak dan menjalankan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan)," kata Pandu.
Sebenarnya, lanjut dia, jika pemerintah menerapkan PSBB secara betul-betul pada awal adanya pandemi covid-19, penderitaan pandemi di Indonesia tidak terlalu berkepanjangan.
"Kalau di bulan Maret betul-betul melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang betul, yang serius, dua bulan atau tiga bulan, itu akan lebih longgar. Enggak berkepanjangan seperti sekarang. Lebih baik menderita benar tiga bulan seperti di Wuhan. Baru ketika ada orang asing masuk diketatkan di tes," katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengakui karantina wilayah-RT/RW belum berjalan dengan baik di lapangan. Sebab itu pemerintah saat ini akan gencar kembali untuk melakukan hal tersebut untuk upaya strategi penanganan Covid-19.
"Itu kan merupakan perintah presiden sudah lama. Tapi di lapangan tidak jalan. Dulu dilakukan oleh Bu Risma dan Gugus Tugas Covidnya ketika Surabaya diamuk Covid. Sampai untuk tracking-testing-tracing (telusuri-uji-pilah) dibantu oleh BIN. Memang penyebaran Covid di Surabaya waktu itu bisa diredam," kata Muhadjir saat dikonfirmasi, Jumat (29/1/2021).
Dia menjelaskan nantinya pada karantina wilayah-RT-RW akan dilakukan lebih banyak peran RT dan RW sebagai informan bagi epidemologi. Serta membantu proses karantina di tingkat RT dan RW, hingga pelaksanaan isolasi mandiri.
"Kalau di level terendah ini tidak bisa ditangani baru dirujuk ke pusat isolasi dan pusat perawatan ringan. Adapun yang sedang dan berat langsung dirujuk ke Rumah Sakit," ungkap Muhadjir.
Dengan adanya karantina wilayah RT-RW, pemanfaatan hotel dan wisma untuk perawatan bisa jadi pilihan kedua jika RT dan RW hingga kelurahan tak mampu menanggulangi. Dia pun mengklaim hal itu akan memberikan dampak positif pada sektor ekonomi.
"Membuat pelaku bisnis di sektor perhotelan masih bisa sedikit bernafas. Pengelolaan suspek Covid pun jadi mudah, bisa langsung diangkut ke tempat-tempat itu . Hanya trade off-nya, strategi membendung penyebaran Covid mulai dari yang paling bawah seperti yang diperintahkan presiden kurang efektif. Upaya menciptakan RT,RW, dan kelurahan yang Tangguh Covid, tidak memenuhi target," beber Muhadjir.
Walaupun demikian, Muhadjir mengakui untuk mendorong RT hingga komunitas agar bekerja sama perlu dukungan biaya. Tetapi dia yakin, dengan gotong royong akan membuat pandemi di Indonesia berakhir.
"Memang untuk menggerakkan akar rumput, RT, RW, dan komunitas ini perlu dukungan pembiayaan. Tetapi saya percaya gotong royong sebagai Intisari dari pengamalan Pancasila masih hidup di dalam masyarakat Indonesia," ujar Muhadjir.
Advertisement
PSBB dan PPKM Tekan Angka Covid-19?
Pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, sejak 11-25 Januari 2021. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi mobilitas masyarakat. Keputusan itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Sebelum PPKM, pemerintah memakai istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan di berbagai daerah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa PPKM bukanlah pelarangan kegiatan dan lockdown.
"Sekali lagi, kita bukan melakukan lockdown, kita hanya pembatasan, bukan pelarangan," jelas Airlangga dalam konferensi pers di Youtube BNPB, Kamis (7/1/2021).
Adapun daerah-daerah yang menerapkan PPKM harus memenuhi empat parameter berikut:
1. Tingkat kematian pasien Covid-19 di atas rata-rata nasional atau 3 persen
2. Tingkat kesembuhan di bawah rata-rata nasional yakni, 82 persen
3. Tingkat kasus aktif virus corona di daerah tersebut di bawah rata-rata nasional yakni atau sekitar 14 persen
4. Tingkat keterisian tempat tidur (Bed Occupancy Rate) baik di ICU maupun ruang isolasi sudah di atas 70 persen
PSBB sendiri merupakan kebijakan tahun 2020 yang penerapannya dilakukan di sejumlah daerah. Sementara PPKM, kebijakan yang hanya akan diterapkan di beberapa daerah Jawa-Bali yang memenuhi empat parameter ditetapkan.
"Ini bukan seluruh Jawa dan Bali. Jadi bukan Jawa-Bali, tetapi penanganan secara mikro kabupaten/kota sesuai dengan kriteria tadi," ujar Airlangga.
Dia mengatakan kebijakan ini hanya membatasi kegiatan masyarakat, namun tidak dilarang. Airlangga menyebut sektor-sektor esensial seperti kesehatan, bahan pangan, energi, keuangan, logistik, hingga menyangkut kebutuhan sehari-hari masih dapat beroperasi 100 persen.
"Sektor esensial dibuka 100 persen dengan pengaturan jam operasi dan penerapan protokol kesehatan," katanya.
Menurut dia, pembatasan kegiatan masyarakat Jawa-Bali diterapkan untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19 pasca libur Natal dan Tahun Baru. Pasalnya, libur panjang berpotensi membuat kasus Covid-19 naik hingga 30 persen.
Hingga masa PPKM berakhir pada 25 Januari 2021, angka kasus covid-19 belum menurun drastis. Angkanya masih berkisar 10 ribuan kasus. Data covid-19.go.id mencatat kasus baru positif covid-19 saat itu mencapai 9.994 orang. Sementara yang sembuh 10.678 orang dan meninggal mencapai 297 kasus.
Selain itu, hasil evaluasi PPKM menunjukkan masih banyak provinsi yang berada di zona merah Corona. Karena itu, pemerintah pun memperpanjang kebijakan PPKM hingga 8 Februari 2021 mendatang. PPKM tahap kedua ini dikuatkan dengan Instruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
"Bapak Presiden meminta agar PPKM ini dilanjutkan dari tanggal 26 Januari sampai tanggal 8 Februari," ujar Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga dalam keterangan pers dari Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (21/1/2021).
PPKM jilid II ini diberlakukan di 7 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Yogya, Jatim, dan Bali. Selain itu juga diterapkan di 77 kabupaten/kota.
"Dan ini diatur dengan regulasi persyaratan yang ditetapkan dan hasil monitoringnya mengatakan bahwa beberapa daerah secara nasional ada 29 kabupaten/kota masih berisiko tinggi di 73 kabupaten/kota, 41 kabupaten/kota risiko sedang, dan 3 kabupaten/kota risiko tinggi," tutur Airlangga.
Dengan perpanjangan PPKM hingga 8 Februari 2021, diharapkan dapat memberikan dampak yang baik dalam menurunkan grafik kasus covid-19. Peran serta masyarakat dan semua elemen dalam menerapkan protokol kesehatan ketat menjadi senjata ampuh dalam memutus mata rantai wabah yang sudah hampir setahun ini merajalela.