Liputan6.com, Jakarta Keputusan DPR untuk memasukan draf Revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) dalam program legislasi nasional DPR 2021 tengah menjadi sorotan. Dengan berbagai perdebatan terkait keputusan perubahan terhadap Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menanggapi hal itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mempertanyakan adanya perubahan yang drastis dari sikap sejumlah fraksi partai di DPR, mengenai rencana revisi undang-undang tersebut.
Baca Juga
"Kalau diikuti, maka memang ada perubahan sikap yang cukup drastis ya karena meskipun ini belum disepakati tetapkan proses di Komisi II, kan bukan proses yang istilahnya hanya melibatkan fraksi-fraksi tertentu tetapi kan semua fraksi terlibat. Sampai akhirnya kemudian ada draft itu, meskipun di dalam draft itu ada beberapa hal yang kontroversial," kata Titi dalam acara diskusi yang disiarkan Smart FM dan Populi Center, Sabtu (30/1/2021).
Advertisement
Kemudian, Titi melihat ada kontradiksi dari sikap fraksi-fraksi partai politik selama pembahasan undang-undang pemilu tersebut yang telah masuk ke Prolegnas 2021.
"Kemudian di Prolegnas 2021 di ketuk palu di baleg DPR RI itu kan yang mengetuk palu untuk prioritas proses legislasi di dalamnya ada RUU Pemilu tentu bukan beberapa partai saja. Lalu tiba-tiba begitu beberapa partai mengatakan tidak perlu revisi UU Pemilu. Padahal kita perlu undang-undang yang ajeg," kata Titi.
Walaupun, lanjut Titi, politik itu dinamis akan tetapi jangan sampai para partai politik memperlihatkan sikap inkonsistensi dalam menaruh sikap posisinya terhadap revisi UU Pemilu.
"Tetapi, bukan berarti menunjukan inkonsistensi begitu kan, dinamis itu kan rasionalitas juga menunjukan komitmen yang sejalan dengan upaya kita untuk memperbaiki pemilu, itu mungkin. Jadi saya lihat ada perubahan sikap dari fraksi-fraksi dan saya cukup bisa memahami pemberitaan soal dinamika pembahasan RUU Pemilu," katanya.
Oleh karena itu, Titi berharap agar perubahan yang terjadi dalam revisi undang-undang tersebut tidak hanya sekedar menjadi kepentingan politik sesaat. Karena banyak yang harus diperbaiki, terlebih beban berat pada pelaksaan Pemilu Serentak 2019 yang banyak menelan korban jiwa dari penyelenggara.
"Padahal, saya rasa hampir tidak ada partai politik dan juga pihak yang pada akhir pemilu 2019 lalu, itu mengatakan hampir tidak ada yang tidak sepakat bahwa kita harus memperbaiki pemilu 2019. Jadi dengan adanya korban jiwa akibat kelelahan pemungutan penghitungan yang sangat berat, adanya polarisasi yang membelah masyarakat kita. Dan itu mendistorsi civil culture kita," jelasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hal yang Wajar
"Nampaknya hampir semua orang waktu itu sepakat kita harus tinjau ulang soal ambang batas pencalonan presiden, kita harus tinjau ulang pola keserentakan kita, kita harus tinjau ulang lagi bagaimana tata kelola administrasi pemilu kita. Pada akhir menjelang proses pemilu 2019 hampir semuanya evaluasinya seperti itu. Harus ada evaluasi, harus ada perbaikan," tambahnya.
Atas hal itu lah, Titi melihat bila perubahan undang-undang pemilu itu menyangkut terkait pelaksanaan itu menjadi hal yang wajar, ketika ada perbaikan setelah aturan itu berlangsung.
"Wajar bagi saya kita melakukan perbaikan revisi dalam UU Pemilu, karena mengapa. Yang pertama sebagai siklus pemilu, selesai pemilu ya memang kita harus mengevaluasi lalu kita mereview kembali pengaturan yang tidak kompetibel," jelasnya.
Reporter : Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka
Advertisement