Sukses

Terkait Revisi UU Pemilu, Pemerintah Diminta Konsisten Saat Gelar Pilkada Serentak 2020

Saat itu pemerintah bersikukuh melaksanakan pilkada serentak 2020 dengan berbagai argumen di tengah desakan untuk menundanya karena pandemi covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap beleid pemilu wajib diperhatikan. Pasalnya, menurut Pangi, pemerintah saat ini memiliki pemikiran berbeda, yakni menolak revisi UU Pemilu.

"Sikap ini tentu di luar nalar logika berpikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri, terutama saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda," tulis Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting melalui pesan singkat diterima, Senin (1/2/2021).

Menengok ke belakang, diketahui saat itu pemerintah bersikukuh melaksanakan pilkada serentak 2020 dengan berbagai argumen, di antaranya untuk menjaga hak konstitusi rakyat untuk dipilih dan memilih, kemudian alasan kuat pemerintah tidak mau ada plt yang menjabat secara bersamaan di 270 wilayah.

"Plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis karena situasi pandemi yang mengharuskan pejabat daerah mengambil kebijakan strategis," kenang Pangi terkait alasan penolakan penundaan Pilkada 2020.

Kendati saat ini, Pangi menilai pemerintah sedang dijangkiti penyakit amnesia. Sebab, dengan begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah digunakan untuk tetap melaksanakan pilkada di tahun 2020.

"Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak di tahun 2022 dan 2023? Bagaimana mungkin secara akal sehat pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024?" kata dia heran.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ada Kepentingan di Balik Penolakan?

Pangi meyakini, jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu, terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, maka publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan.

"Jika jalan ini dihambat, maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt," Pangi menandaskan.

Sebagai informasi, pada tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018, artinya akan ada 272 plt yang akan menduduki posisi kepala daerah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.