Sukses

HEADLINE: Heboh Isu Dongkel AHY dari Kursi Ketum Demokrat, Dipicu Konflik Internal?

Partai Demokrat kembali memulai babak baru di awal tahun 2021 dengan melempar isu pelengseran kursi ketua umumnya.

Liputan6.com, Jakarta Partai Demokrat memulai tahun 2021 dengan lemparan isu panas pelengseran kursi ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Tak tanggung, putra sulung Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, menuding ada campur tangan pihak Istana dalam upaya pelengseran dirinya tersebut. Sebuah ujian bagi AHY. 

AHY merasa terusik dengan sekelompok orang yang mewacanakan dirinya turun dari kursi ketua partai yang baru diduduki selama 11 bulan. Bukan saja dari Istana, upaya pendongkelan itu juga datang dari dalam partai berlambang bintang mercy. 

"Gerakan ini melibatkan pejabat penting pemerintahan yang secara fungsional berada dalam lingkar kekuasaan terdekat dengan Presiden Joko Widodo," kata AHY di kantor DPP Demokrat, Senin 1 Februari 2021.

Dia mengklaim meski tak menyebutkan nama, gerakan pendongkelan ini mendapatkan dukungan dari sejumlah menteri dan pejabat penting di pemerintahan Jokowi. Langkah yang diambil pun salah satunya melapor kepada Presiden Joko Widodo atau Jokwi dan meminta penjelasan mengenai orang lingkar Presiden yang ingin mengambil alih kekuasaan Partai Demokrat.

Tudingan AHY ini diperkuat oleh pernyataan Ketua DPD Partai Demokrat Kalimantan Selatan, Rusian. Dia menerima laporan sejumlah DPC Kalsel terkait adanya pertemuan dengan Kepala Staf Presiden Moeldoko di Jakarta, yang dibungkus dengan undangan politikus senior Demokrat Jhoni Allen Marbun (JAM) untuk datang ke Jakarta guna menerima bantuan untuk korban bencana banjir di Kalimantan Selatan.

"Ada sembilan DPC, mereka diundang dan berangkat ke Jakarta berkaitan bantuan banjir. Karena diundang kader senior mereka berangkat, mereka (berangkat) tanpa sepengetahuan saya," kata Rusian pada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).

Dalam laporan DPC kepadanya, pertemuan tersebut tidak membahas bantuan banjir. Melainkan terkait kelemahan-kelemahan partai. Di pertemun tersebut juga hadir Moeldoko. Ada pula mantan Bendahara Umum Demokrat 2010 Muhammad Nazaruddin.

"Nah pada saat sampai di sana, ternyata pembicaraan tidak sesuai apa yang disampaikan di awal. Pembicaraan melenceng sampai mengarah soal kelemahan partai. Disana ada JAM, ada Mantan Bendum 2010 dan inisial M yang berasal dari pemerintah," ungkap Rusian.

"Saat ini kita minta arahan DPP untuk langkah selanjutnya. Kita tetap solid," tegas Rusian.

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko angkat bicara terkait tudingan dirinya yang berupaya merebut tongkat komando Demokrat. Dia meminta apa yang dituduhkan dan menjadi bola liar di masyarakat tidak dikaitkan dengan urusan Presiden Jokowi.

"Masa gue ngopi harus izin Presiden? Gila apa. Ngopi-ngopi aja kok harus Presiden. Izin Presiden? Yah berlebihan, jangan begitu lah ya," kata Moeldoko, dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (3/2/2021).

Mantan Panglima TNI ini tidak menampik bila dirinya bertemu beberapa kader Demokrat. Namun dia tidak merinci pembahasan dalam pertemuan tersebut.

"Tidak terlalu penting. Intinya aku datang diajak ketemu. Wong saya biasa di kantor saya itu setiap hari menerima orang, menerima berbagai kelompok di kantor saya, biasa itu," tutur Moeldoko.

Dia mengaku tidak mengerti soal apa yang dibicarakan kader Demokrat yang menemuinya itu. Moeldoko mengaku dirinya orang luar, sehingga tak punya hak apa-apa terhadap partai tersebut.

"Saya ini orang luar, tidak punya hak apa-apa. Yang punya hak kan mereka di dalam, apa urusannya? Tidak ada urusannya, saya orang luar, tidak ngerti," kata Moeldoko.

Karena itu, dirinya memberi sinyal bahwa Presiden Jokowi tak perlu merespon soal Demokrat ini, karena tidak ada sangkut pautnya. "Ya tadi itu artikan sendiri lah nanti itu. Orang ngopi-ngopi kok lapor ke Presiden," tutur Moeldoko.

 

 

Bantah Ada Konflik Internal

Kepala Badan Komunikasi dan Strategi (Bakomstra) DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menepis, bahwa permasalahan Demokrat ini karena ada konflik internal. Dirinya tetap berpegang teguh bahwa memang ada gerakan politik yang ingin mengambil paksa tahta yang dikuasai AHY .

"Siapa kader dan mantan kader yang terlibat, bukanlah hal yang patut membuat kita semua risau. Melainkan adanya gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa, yang menurut kesaksian dan testimoni banyak pihak yang kami dapatkan, melibatkan pejabat penting pemerintahan, yang secara fungsional berada di dalam lingkar kekuasaan terdekat dengan Presiden Joko Widodo," kata Herzaky kepada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).

Dia juga mengklaim, bahwa tak ada pengurus daerah yang merasa keberatan dengan kepemimpinan AHY sebagaimana disampaikan oleh forum pendiri, bahkan menurutnya semua kader menolak pendongkelan ini.

Herzaky mengklaim bahwa kepengurusan solid. Salah satunya menerima surat pernyataan kesetiaan dan kebulatan tekad dari seluruh pimpinan di tingkat daerah dan cabang di seluruh Indonesia untuk tunduk dan patuh kepada Demokrat dan kepemimpinan hasil Kongres V yang sah.

"Dengan kata lain, Insya Allah, gerakan ini dapat ditumpas oleh kesetiaan dan kebulatan tekad seluruh pimpinan, baik di tingkat pusat maupun daerah dan cabang, serta para kader Demokrat lainnya di berbagai wilayah," kata Herzaky.

Dia juga menjelaskan, keinginan AHY meminta jawaban Jokowi karena diduga ingin masalah ini selesai dan meluruskan kabar yang memang ada kaitannya dengan Istana. 

"Jika praktek-praktek seperti ini dibiarkan, akan mengancam dan semakin merusak wajah demokrasi kita yang saat ini pun sedang mengalami kemunduran. Ke depannya, hal ini bisa saja terjadi pada partai politik lainnya. Dosa besar kita bagi bangsa ini, dan generasi mendatang, jika kita membiarkan ini terjadi dan berlalu begitu saja," kata Herzaky.

Menurut Wasekjen DPP Partai Demokrat Jovan Latuconsina, hal ini masalah serius terkait dengan integritas seseorang. Menurutnya, upaya pengambilalihan paksa ini bukan isapan jempol belaka. "Kita punya berita acara perkara berdasakan laporan lebih dari delapan orang kader kita, hasil dari pertemuan mereka dengan sejumlah mantan kader, yang ternyata di situ juga dihadiri oleh KSP Moeldoko," ungkap Jovan.

Dia juga menegaskan, terhadap oknum kader internal, tentu akan diproses sesuai konstitusi (AD/ART) partai. "Biarlah ini menjadi urusan internal partai kami. Sudah ada aturannya," kata Jovan.

Dia menuturkan, memang harus ada yang perlu diklarifikasi oleh Presiden. "Dalam pembicaraan dengan kader kami, terucap bahwa KSP Moeldoko sudah mendapat restu dari Presiden. Itulah mengapa Ketum PD AHY bersurat kepada Presiden, untuk mendapatkan klarifikasi, karena kita yakin ini hanya pencatutan nama," kata Jovanm

Langkah-langkah ini dilakukan karena seluruh Ketua DPC dan Ketua DPD Partai Demokrat di daerah marah. Mereka tidak terima kalau kepemimpinan yang sah, hasil aklamasi Kongres V Partai Demokrat tanggal 15 Maret 2020 yang lalu, diobrak abrik oleh oknum kader dan mantan kader, bahkan melibatkan pihak eksternal yang ada di lingkar kekuasaan.

"Bukanlah sifat seorang kesatria, jika hanya mau mengambil jalan pintas untuk mencapai keinginannya," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Krisis Kepercayaan Terhadap AHY

Pengamat politik dari Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, apa yang dialami oleh partai Demokrat karena adanya krisis internal di dalamnya. Bahkan dirinya menyebut ada krisis kepercayaan terhadap sosok AHY.

"Jadi krisis itu timbul karena gagal di Pilkada Jakarta 2017 kemudian tidak berhasil jadi cawapres di 2019 yang lalu. Nah, ini kan situasinya sangat berbeda dengan trennya SBY di tahun 2002, 2003, 2004, begitu tampil bertanding di pemilihan langsung, itu langsung menang bahkan makin berjaya di 2009," kata Qodari kepada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).

Jika dibandingan dengan prestasi ayahnya, AHY sangat jauh sekali, apalagi selalu mengalami kegagalan. "Jadi ya sebagian kader itu meragukan bahwa AHY bisa mendongkrak suara partai Demokrat," tutur Qodari.

Terbukti dari pemilu, hasil perolehan Demokrat terus menurun. Sehingga ada rasa kekhawatiran dari kader.

"Jadi kader-kader ini khawatir suara Demokrat akan makin melorot di 2024 dan Demokrat turun kelas jadi partai gurem katakanlah begitu. Bahkan, kalau PT-nya dinaikkan bisa-bisa tidak lolos," kata dia.

Bahkan, dia menilai bahwa sebagian kader tidak merasa nyaman dengan gaya pribadi AHY. "Ini bukan saya yang mengatakan karena saya tidak berinteraksi langsung dengan AHY tapi beberapa kader yang pernah bicara dengan saya. Bahkan karakter kepribadian Ibas itu lebih menarik bagi mereka, karena Ibas gayanya lebih terbuka, lebih egaliter, lebih ramah, lebih santun, sehingga itu membuat kader-kader merasa lebih nyaman," ungkap Qodari.

"Dan sebagian mencatat, Ibas dianggap lebih pantas untuk jadi ketua umum karena sudah lebih lama berprores di partai Demokrat dan pengalamannya sudah sangat lengkap. Hal ini membuat Ibas dianggap lebih tepat bagi partai Demokrat," lanjut dia.

Karena itu, dia menegaskan mulainya cara-cara SBY jangan digunakan untuk AHY. Jadi bukan menjadikan AHY seperti ayahandanya yang memiliki banyak prestasi. Dan menghilangkan citra Demokrat sebagai partai tertutup atau hanya milik segelintir keluarga saja.

"Sebetulnya strategi yang tepat bagi Demokrat lebih kepada penguatan organisasi. Jadi yang dicari bukan lagi seorang superstar ala SBY yang dibayangkan di AHY, tetapi seseorang yang lebih berkonsentrasi terhadap penguatan-penguatan institusi sehingga nanti partainya akan lebih awet, lebih permanen," kata Qodari.

Dia juga memandang isu yang dilemparkan dikaitkan dengan adanya campur tangan pemerintahan Jokowi ingin mengambil alih Demokrat. Karena, secara hitungan politik, koalisi Jokowi sudah gemuk.

"Menurut saya, pemerintah dan Pak Jokowi tidak punya keuntungan atau kepentingan apalagi yang disebut kepentingan mendesak untuk mengambil alih Demokrat. Karena pemerintah sekarang ini sudah didukung oleh sekitar 80 persen dari parpol yang punya kursi di DPR, kalau menghitung PAN ya walaupun tak punya menteri tapi saya melihat kecenderungannya ya dukung Pak Jokowi," jelas Qodari.

"Jadi memang agak meragukan sebetulnya Pak Jokowi mengambil alih," tegas dia.

Karena menurut dia, jika memang ingin membuat Demokrat mendukung pemerintah, paling realistis adalah memasukan orang internalnya ke pemerintahan. Bukan menggunakan Moeldoko untuk masuk dan menjadi ketua, karena terlalu sulit cara seperti itu.

Qodari menduga, apa yang dilakukan AHY dengan mengumumkan ke publik adalah mencari simpati untuk ke kalangan yang tidak suka dengan Jokowi. "Istilahnya memulung suara dari oposisi yang dalam tanda kutip ditinggalkan Gerindra dan Pak Prabowo yang bergabung dengan pemerintahan Pak Jokowi di 2019 ini. Karena kalau tidak ada target seperti ini, misalnya tidak ada figur dari luar yang cawe-cawe ke parpol tidak perlu sebut Pak Jokowi, sebut saja Moeldoko," kata dia.

Dia pun tak menepis jika ada kesan playing victim dimainkan oleh partai berlambang bintang mercy ini. Karena jika memang ada kader yang berbeda pandangan, atau menganggu partai, bisa diberikan sanksi sebagaimana AD/ART Demokrat. "Kesan playing victim itu muncul dari feednya Pak SBY entah disadari atau tidak, ketika beliau mengatakan ada tiga jenis tokoh. Yang Pasti Demokrat memposisikan sebagai the good," ungkap Qodari.

Senada, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas juga melihat konflik internal di tubuh Demokrat sudah terjadi lama sebelum pengangkatan AHY sebagai ketua umum. Karena itu, apa yang terjadi sekarang adalah ujian berat bagi AHY.

"Mereka saat ini sedang menguji kekuatan kepemimpinan AHY di Demokrat sejauh mana AHY bisa mengatasi situasi perbedaan pendapat dan perbedaan sikap politik di dalam tubuh Demokrat yang dimotori oleh mantan-mantan elit Demokrat sebelumnya. Jadi ini ujian cukup berat bagi AHY," kata Sirojuddin kepada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).

Dia mengutarakan, jika AHY bisa mengatasi masalah ini maka legitimasi sebagai Ketum Demokrat akan lebih kuat ke depannya. "Jika AHY gagal mengatasi situasi ini lalu gagal melakukan konsolidasi, gagal meyakinkan pengurus Demokrat dari pusat sampai daerah untuk loyal kepada dia, maka AHY menghadapi resiko masa depan yang tidak kecil," ungkap Sirojuddin.

Dia pun melihat tidak tepat jika kasus internal Demokrat ini dibawa keluar oleh AHY. Terlebih mengaitkan dengan Presiden. Namun, dia menduga ini cara AHY agar terjadi konsolidasi internal.

"Jadi target AHY dengan cara membuka itu ke publik, maka konsolidasi internal akan terjadi karena sama-sama merasa terancam oleh kehadiran musuh di luar, di hadapan mereka," tutur Sirojuddin.

Karena itu, dia memandang ini jelas bukan masalah eksternal karena belum ada indikasi kuat pemerintah ingin mengambil alih Demokrat. "Kalau menurut saya sih yang lebih jelas terlihat adalah konflik internal Demokrat. Saya belum melihat ada indikasi yang jelas bahwa itu adalah konspirasi yang dilakukan pemerintah. Saya kira untuk apa juga Presiden Jokowi misalnya, mengintervensi Demokrat, untuk apa," kata Sirojuddin.

Dia memandang, apa yang terjadi dengan Moeldoko adalah dirinya ditarik oleh para kader Demokrat yang kontra dengan keluarga SBY.

"Selama ini kan mereka tersingkirkan di demokrat. Oleh karena itu, tampaknya mereka sedang berusaha mencari kekuatan pengungkit yang memungkinkan mereka memiliki nilai tawar lebih besar di dalam internal pengurus partai Demokrat. Itu sebabnya mereka mendatangi Pak Moeldoko itu bagian dari taktik oposisi di dalam Demokrat untuk memperkuat posisi politik mereka," jelas Sirojuddin.

 

3 dari 3 halaman

Banyak Keluhan Terhadap AHY

Mantan kader Demokrat Ruhut Sitompul tak terkejut dengan sikap AHY seperti sekarang, sehingga menimbulkan adanya resistensi di internal Demokrat. Tanpa maksud untuk ikut campur, dia menceritakan memang ada kader di daerah merasa berbeda suasananya.

"Sebenarnya saya tidak mau mau ikut campur, tapi banyak yang datang ke saya mereka mengeluh kok beda dengan zaman abang dulu. Di daerah banyak mengelur, kayaknya karena lingkungan AHY juga. Lingkungan dia ini kan semua orang yang waktu zaman di Demokrat abis-abisan kan mereka belum Demokrat," kata Ruhut kepada Liputan6.com, Rabu (3/2/2021).

Dia meminta AHY untuk terus belajar berpolitik. Karena menurutnya tak mudah seseorang untuk berpartai. Jika memang ada kader yang menginginkan Moeldoko, AHY jangan lantas menyalahkan istana.

"Jadi AHY jangan salahkan istana, jangan salahkan Pak Moeldoko. Jangan juga nyerang Pak Mahfud. Kasian Pak Mahfud tidak tahu apa-apa," tutur Ruhut.

Dia menilai apa yang dilakukan AHY jelas tidak etis. "Tidak etis. Apa-apaan. Pak Jokowi itu Presiden apalagi ini lagi ada pandemi. Bantulah jangan mengeluh masalah intern. Intern selesaikan intern jangan dibawa keluar," kata dia.

Senada, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mengatakan, tidak tepat jika partai Demokrat menyeret Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam isu kudeta tersebut. Dia menuturkan, seharusnya Demokrat tidak mengumbar ke publik untuk mengetahui respon Jokowi. "Kalaupun ada yang ingin diketahui terkait sikap Presiden maka lebih baik menggunakan saluran-saluran tertutup," ungkap Arsul.

Dia menegaskan, apa yang dilakukan Kepala Staf Presiden Moeldoko terhadap Demokrat jangan dikaitkan dengan restu Jokowi. Karena dirinya meyakini itu urusan pribadi.

"Nah, kalo soalnya pribadi Pak Moeldoko, ya itu jangan kemudian otomatis dikaitkan dengan restu atau keinginan Presiden. Itu saya yakini menjadi urusan Pak Moeldoko pribadi. Ya silakan kalau mau diungkap apa yang sebenarnya terjadi," tutur Arsul.

Bahkan, menurut dia, ini hanya permasalahan soliditas partai. Hal ini pun bukan hanya terjadi di Demokrat tetapi PPP juga.

Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat menyatakan, tudingan kudeta menunjukkan bahwa internal Partai Demokrat lemah. "Masalah konsolidasi internal partai adalah tanggung jawab utama dari AHY sebagai ketum. Mohon maaf, ini justru menunjukkan kelemahan mas AHY yang tidak bisa menertibkan anggotanya," kata Djarot.

Djarot menyebut, apabila konsolidasi Demokrat kuat, maka tidak perlu khawatir ada intervensi dari luar atau dari pemerintahan. "Sekuat apapun intervensi tersebut," kata dia.

Mantan Gubernur DKI itu juga menilai, langkah AHY meminta klarifikasi kepada Presiden Jokowi juga tidak tepat alias salah alamat. "Berkirim surat ke presiden Jokowi yang menyangkut masalah persoalan konsolidasi internal partai, justru salah alamat," jelas Djarot.

Djarot menyarankan agar AHY berkirim surat terlebih dahulu ke Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. "Mungkin yang lebih tepat apabila AHY berkirim surat atau berkoordinasi dengan pak SBY selaku Ketua Badan Pembina PD," kata dia.